Setelah menempuh perjalanan lima jam lamanya, akhirnya mereka sampai juga di Puncak. Harusnya sih empat jam perjalanan, tapi karena tadi macetnya memakan waktu satu jam, jadinya mereka sampainya lebih lama. Oh iya, mobil Haidar itu ngikutin rombongannya yang kebanyakan pada naik motor. Caramel juga sempat liat Renjun yang naik motor sendirian. Ah, Caramel jadi bayangin kalau dia boncengan sama Renjun. Dia rela deh duduk di motor selama lima jam, asal sama Renjun. Bucin ya gini, nih.
Di Puncak, emang bener sih dingin banget. Bahkan Caramel aja sampai meluk lengannya Giselle. Giselle aja bibirnya udah menggigil.
“Gila, ini dingin banget,” kata Giselle. Dia gosok-gosok ke dua telapak tangannya.
“Kan gue udah bilang,” sahut Caramel.
Mereka semua–termasuk tongkrongannya Haidar–pada mencar. Kebanyakan sih nyari tempat yang cocok buat nyalain api unggun, buat menghangatkan badan. Caramel sih ngikutin Haidar. Udah ada Renjun sama Shotaro yang lagi nyiapin api unggun. Makanan sama minuman yang di buatin Dirga juga udah di bagiin ke anak-anak yang lain. Caramel sama Giselle duduk di kursi lipat, mereka masih menggigil kedinginan.
“Lo masih kedinginan, Mel?” tanya Haidar sambil menatap Caramel. Caramel mengangguk.
“Siniin tangan lo,” kata Haidar. Caramel memberikan tangannya ke Haidar, Haidar menghangatkan tangan Caramel dengan cara di genggam dan di gosok-gosok. “Cemen lo, kaya gini aja kedinginan.”
“Lo mikir lah, ini dingin banget!” seru Caramel ga terima.
Haidar ketawa, “dah ah, lo minum aja teh angetnya.” Haidar memberikan segelas teh hangat ke Caramel. Caramel langsung meminumnya. Dia menggenggam erat gelasnya.
Caramel memperhatikan Renjun yang sedang membakar jagung bersama Shotaro. Wajah Renjun terlihat sangat senang. Baru kali ini Caramel liat wajah senang Renjun, biasanya juga wajahnya jutek mulu. Apalagi kalau sama Caramel. Caramel jadi senyum-senyum sendiri liatin Renjun. Mana Renjun ganteng banget, meski tubuhnya keliatan mungil. Tapi Caramel tetep suka.
Giselle yang sadar sama arah pandangan Caramel cuma bisa geleng-geleng kepala. Dia tuh tau kalau Caramel itu bucin banget sama Renjun. Ah, tapi dia juga sadar sih kalau dirinya bucin.
“Mel,” panggil Giselle.
Caramel menoleh ke Giselle, “apa?”
“Lo ngapain sih seneng banget liatin Renjun?” tanya Giselle.
Caramel tersenyum, “ganteng, manis, lucu. Gimana ga betah buat liatin dia coba?”
“Bucin,” cibir Giselle.
“Gapapa, gue bucin berarti gue normal,” kata Caramel.
Giselle mengernyit, “maksud lo kalau ga bucin itu ga normal, gitu?”
“Hehehe, ngga gitu. Pokoknya gitu, lah.” Caramel menyengir.
Di sini mereka cuma buat refreshing, foto-foto, atau cuma diem aja buat tenangin pikiran. Anak-anak tongkrongan Haidar ada yang bawa gitar. Caramel tau orang yang bawa gitar itu, ga terlalu kenal ataupun deket. Cuma tau sekedar nama doang. Dia itu kakak tingkat Caramel. Ganteng, keturunan Kanada, yang pastinya terkenal di banyaknya anak kampus. Caramel sering denger namanya di puji-puji sama anak-anak kampus. Soalnya sifatnya terkenal ramah, itu bikin semua orang kagum sama dia.
Namanya Mark Albern. Dari namanya aja udah ganteng, apalagi orangnya. Anak fakultas hukum, hobinya main gitar di depan ruangan BEM, kalau ketemu orang pasti selalu senyum, katanya suka makan semangka. Banyak yang bilang kalau Mark itu masih sendirian, alias jomblo. Caramel sih sempat terpesona sama kegantengan Mark. Ya gimana dong? Mark ganteng banget, apalagi pas main gitar. Gantengnya nambah berkali-kali lipat. Coba aja Caramel ga suka sama Renjun, mungkin sekarang dia lagi bucinin seorang Mark Albern.
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] The End of Us (END)
Teen Fiction[End] [Follow sebelum baca] [Vote dan komen] [OC] "Gak bisa, ya?" tanya gadis itu dengan air mata yang menumpuk di sudut matanya yang siap tumpah kapan saja. "Enggak. I love you, but we can't be together," jawab laki-laki yang berdiri di hadapannya...