2. Kacau

3.9K 321 12
                                    


"Gya mana, Ma?"

Ginatri bertanya pada Ayu, ibunya saat tidak melihat sosok Gyandra di ruang meja makan.

"Baru aja berangkat. Katanya harus ikut interview," jelas Ayu.

Ginatri mengangguk dan mengambil selembar roti tawar. Mengoleskan selai kacang kesukaannya dan memakannya malas. Jika bukan karena perut yang memberontak lapar, ingin rasanya dia bergelung di dalam selimut mengingat badannya yang begitu lelah karena acara semalam juga drama antara Gyandra dan Rama.

Berbeda dengan Ginatri yang sedang menikmati sarapan paginya, Bian sedang memijit pelipisnya. Rasa pusing menyerang saat mengetahui jadwalnya tidak beraturan. Sekretaris yang seharusnya bisa menghandle semua kegiatan Bian, justru malah menjadi orang yang merusak jadwal hingga dia kehilangan beberapa proyek karena jadwal yang bentrok.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf," ucapnya penuh sesal.

Bian menatap sekretarisnya dengan nyalang dan mengepalkan tangan.

"Pergi!" usirnya.

"Tapi, Pak. Biarkan saya...."

"Pergi." balasnya penuh penekanan.

Dimas, yang tak lain adalah sekretaris baru Bian hanya mampu menatap nanar pada Bian. Memohon tidak ada artinya jika Bian sedang marah.
Bagaimana mungkin dia begitu ceroboh hingga membuat Bian mengusirnya tanpa ragu. Bersyukur tidak ada adegan benda melayang seperti di film-film yang pernah dia lihat, Dimas cukup tahu diri untuk tidak membuat atasannya bertambah marah.

Hari semakin panas seperti kemarahan Bian yang semakin menjadi ketika karyawan yang lainnya juga melakukan hal yang sama.

"Aku bayar kamu buat kerja dan dapetin untung! Bukan buat ngelakuin hal gak yang becus kaya gini!" Bentaknya pada salah satu karyawan yang salah memberikan laporan padanya. "Lihat ini! Masa laporan kaya gini aja kamu gak bisa! Otakmu taruh dimana?"

Suasana terasa mencekam saat Bian meluapkan amarahnya. Karyawan itu menunduk, tak mampu menatap Bian. Kaget juga takut dia rasakan saat melihat sisi lain seorang Biantara. Selama dirinya bekerja, baru kali ini dia melihat dan mendengar Bian memaki. Padahal, Bian yang dia kenal hanya diam atau berkata singkat saat marah.

"Sudahlah! Pergi dan jangan kembali sebelum kamu memperbaiki semuanya," titahnya.

"Baik, pak," ucap karyawan itu seraya bergegas meninggalkan ruangan.

Bian berjalan menuju mini bar sepeninggal karyawannya dan mengambil minuman. Hari ini benar-benar sial baginya. Dia duduk di sofa panjang untuk menenangkan setiap sarafnya yang begitu tegang. Namun, saat menutup mata, bukan ketenangan yang dia dapatkan melainkan bayangan Gyandra yang mengusik batinnya dengan tatapan terluka.

Bian membuka mata dan napasnya memburu. Tidak! Bian tidak akan peduli lagi pada wanita itu. Wanita sialan yang berani menipunya. Wanita sialan yang bahkan selalu membuatnya tidak bisa tidur dengan benar setiap malam.

"Demi tuhan! Pergilah dari hidupku!"

"Siapa yang harus pergi?"

Bian tersentak saat mendengar suara Ginatri. "Sayang, kapan kamu datang?" ucapnya sambil menghampiri Ginatri.

Ginatri melipat tangan di dada dan menatap Bian sebal. "Aku udah kasih tahu, juga udah telpon berkali-kali kalo aku kesini, tapi kamu gak angkat telpon. Sibuk apa sih?"

Bian tersenyum dan membawa Ginatri untuk duduk bersamanya. Bian juga mengambilkan minuman dan memberikannya pada Ginatri. "Maaf, telpon aku silent. Jadi tidak tahu kalo kamu nelpon. Ini, minumlah."

Ginatri menatap minuman yang diberikan Bian. Namun, wajah kusut Bian jauh lebih menarik perhatiannya meskipun meminum air dingin di tengah panasnya kota Cirebon terasa menggiurkan. Ginatri juga baru sadar jika keadaan kantor begitu berantakan tidak seperti biasanya.

"Kamu baik-baik saja, bukan ?" tanyanya khawatir.

Bian menghembuskan napas kasar. "Buruk," balasnya singkat dan merebahkan diri di samping Ginatri.
Bian menceritakan semua masalahnya pada Ginatri. Kesalahan sekretarisnya sampai masalah sepele yang dilakukan karyawannya saat memberikan kopi untuknya. Namun, siapa sangka Ginatri hanya tertawa dan menanggapinya dengan santai. Membuat Bian kembali kesal.

"Kamu nyebelin ya, yang . Bukannya hibur aku malah ngetawain gitu," rajuk nya pada Ginatri.

Ginatri mengusap surai Bian gemas."Buat apa aku belain kamu, toh itu urusanmu bukan urusanku. Lagian itu salah kamu 'kan ?"

"Kok aku sih?"

"Iyalah, salah kamu. Ngapain juga kamu nyuruh dia ubah jadwal. Udah tau susah buat nyamain jadwal. Malah main ubah aja. Sekretaris yang lama aja belum tentu bisa apalagi yang baru."

Bian menghela napasnya malas. Menyesal telah bercerita. Niat hati ingin melegakan diri, tapi apa daya. Yang dia dapat justru sebaliknya. Jika saja itu Gyandra, maka tidak akan begini ceritanya. Dia pasti akan menghibur Bian. Juga... aish sial!

Bian bangkit dan mengacak rambutnya kasar. Lagi-lagi dia mengingat wanita sialan itu.

"Ini gak bener!" batinnya frustasi. Bian berjalan ke meja kerjanya dan meraih beberapa lembar dokumen, menenggelamkan diri dalam lautan kerjaan untuk menghilangkan bayangan Gyandra dari pikirannya.

Ginatri yang melihat keadaan Bian hanya mampu menggelengkan kepalanya tanpa ada niat untuk menghentikan atau bahkan menghibur Bian lagi. "Kapan lagi bisa melihat Bian kacau," pikirnya.

Terkesan kekanakan, tapi Ginatri selalu menikmati sisi Bian yang seperti ini. Terlihat lebih manusiawi mengingat Bian selalu dingin dan datar pada setiap orang.
Jarum jam berdetak lambat. Menahan keduanya dalam kebisuan. Ginatri yang mulai bosan melirik Bian yang fokus membaca beberapa dokumen.

"Bi, kamu gak makan siang?" tanya Ginatri. Namun, Bian hanya melirik dan kembali fokus pada kertas dan membuat Ginatri mendengkus. Dia menghampiri Bian dan memeluknya dari belakang.

"Kamu marah yah," tanyanya lagi.
Bian tidak berkutik. Enggan menanggapi ucapan Ginatri. "Yang, kamu gak laper gitu ? Aku laper loh. Makan dulu, yuk," rayunya untuk meredam amarah Bian.

"Duluan aja, aku gak nafsu makan," balas Bian dingin. Ginatri memutar bola matanya malas. Sepertinya Ginatri butuh tenaga extra untuk meluluhkan Bian. Jika bukan karena rasa sayangnya pada Bian, mungkin saja dia enggan untuk merepotkan diri. Dengan sengaja dia memutar kursi agar berhadapan dengan Bian dan merebut kertas juga pulpen yang Bian pegang. Bian menatap Ginatri penuh tanya. Namun, Ginatri hanya tersenyum dan mulai menjalankan niatnya.

Dia duduk dipangkuan Bian dan mengalungkan tangannya dileher Bian. Dia memandang Bian dengan tatapan menggoda.

"Jangan coba-coba," ucap Bian dengan melihat sekitar, tapi tidak mencoba untuk menghentikan Ginatri.

"Kenapa?" Ginatri mulai membelai dada Bian perlahan.

"Demi Tuhan, Gina! Ini di kantor. Apa yang akan kamu lakukan?"
Bian mendesis tajam. Mencoba untuk melepas pelukan Ginatri, tapi tidak mudah. Jika saja suasana hatinya lebih ringan, mungkin Bian akan dengan senang melayani ulah Ginatri. Namun, keadaan Bian yang lelah juga hati yang buruk membuatnya enggan melakukan hal lebih. Terlebih ini di dalam kantor yang artinya siapapun bisa saja datang dan memergoki mereka meskipun ini jam istirahat.

Berbeda dengan Bian yang waspada, Ginatri terkesan menikmati keadaan mereka. Menggoda Bian bukanlah tujuannya, tapi melihat Bian yang panik, sepertinya bermain-main sebentar bukan masalah baginya.

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang