37. Menurut mu?

1K 115 5
                                    

Dalam hidup, tidak semua jawaban dari  pertanyaan kehidupan bisa langsung terjawab. Bisa jadi, saat dimana kita harus melalui hal pahit, putus asa, bahkan kehilangan orang yang kita sayangi adalah salah satu bentuk pendewasaan diri. Hal yang bisa membuat kita lebih menghargai sesuatu yang ada di sekitar kita. Karena bagi setiap orang, tarkadang ada yang baru menyadari jika sesuatu amat berharga saat dia telah kehilangan.

Sama seperti yang Ginatri rasakan. Setelah apa yang dia lalui, penyesalan itu datang padanya. Hal yang dia kira bisa berjalan mulus, nyatanya harus berantakan. Kini, dia juga harus sembunyi dari Gyandra. Menjaga jarak karena rasa malu, juga takut akan respon Gyandra. Dengan rasa yang kalut, dia beberapa kali menelpon Bian. Memintanya agar bertemu. Namun, selama itu pula Bian sulit di hubungi. Dia mendongak. Menyandarkan kepala pada kursi. "Brengsek! Dimana kau sialan?" geramnya.

Ginatri meringis. Dia menundukkan kepala dan memijatnya pelan. Masalah yang dihadapi membuatnya sakit kepala. Dering di telepon berbunyi. Segera dia ambil, tapi kembali dia simpan karena bukan dari orang yang di tunggunya. Kesal, dia mengambil tas dan keluar. Mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat pikirannya kembali tenang. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan pada Gyandra, keluarganya, juga penasaran akan respon mereka jika tahu bahwa dirinya ingin membatalkan pertunangan. Apakah mereka bisa memaklumi apa yang dia lakukan? Dan soal Leo?

"Ah, sialan!" teriaknya dengan menendang batu yang ada di hadapannya kesal. Nafasnya memburu. Beberapa orang melihat dengan tatapan heran, sebagian malah tidak peduli atau mungkin menganggapnya gila. Namun, Ginatri tidak peduli. Dia tetap berjalan tanpa tahu arah. Hatinya gundah. Langkah Ginatri terhenti. Dia duduk di sembarang tempat dan merenung. Ingatannya melayang. Terbesit keinginan untuk bertanya pada Gyandra, tapi urung. Bahkan dia berharap agar tidak bertemu dengan Gyandra beberapa hari ini. Pada Leo? Mustahil! Bagaimana mungkin dirinya harus bertanya pria lain pada orang yang dicintainya meskipun Leo mungkin memaklumi.

Ginatri berdiri. Dia melangkah dan menuju mobilnya. Kembali mencoba menghubungi Bian. Namun, nihil. Dia kembali mendapatkan hal kosong. Kesal, dia mengunjungi rumah Bian. Dan lebih murka lagi saat melihat Bian hanya diam di depan rumahnya. Dengan kesal, dia keluar dan membanting pintu mobilnya kasar. Dia menatap Bian tajam. "Gunanya handphone buat apa? Kemana aja kamu?" Amuknya begitu berada di depan Bian.

Bian mendongak. Dia menatap Ginatri datar dan berdiri. Melangkah masuk ke rumah dan kembali duduk. Jengah, Ginatri melempar tas dan mendekati Bian. "Bi! Aku nanya sama kamu! Kamu kemana aja selama ini, hah?" tanyanya lagi.

"Bukan urusan kamu! Kenapa kamu cari aku?" balas Bian lirih tapi dingin.

"Kamu..."

Wajah Ginatri melunak. Amarahnya meredup begitu sadar saat melihat wajah Bian yang pucat juga suaranya yang begitu lirih. "Kamu sakit?" tanyanya dengan mengulurkan tangan. Berusaha untuk mengecek keadaan Bian. Namun, Bian menepisnya dan menatap tajam. "Ngapain cari aku?" ulangnya dingin.

Ginatri berdecak. Dia menarik wajah Bian. "Kamu kemana aja? Kenapa susah di hubungi?" tanyanya dengan tangan yang mulai memeriksa keadaan Bian.

"Gak usah sok peduli. Ngapain cari aku?" ketusnya dengan melepaskan tangan Ginatri dari wajahnya. Ginatri menghela napasnya. "Kenapa? Aku 'kan tunangan kamu. Wajar kalo aku peduli."

Bian tersenyum malas. "Tunangan? Aku pikir kamu lupa kalo kamu udah ada yang punya sampe berani nemuin laki-laki lain," sindirnya. "Jadi? Gak perlu basa-basi. Ngapain kamu nyari aku?"

"Tentu saja karena aku peduli sama kamu?"

Bian meliriknya sekilas. "Yakin? Bukan karena mau ngomongin sesuatu?"

"Maksudmu?"

Bian mengangkat bahu. "Entahlah. Aku pikir kamu gak akan cari aku sampe kaya orang kebakaran jenggot kalo gak ada hal yang penting," desak Bian.

Ginatri mendesah. "Oke. Emang ada yang mau aku bicarakan sama kamu," ucapnya.

"Jadi?" Bian menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap Ginatri datar.

Ginatri gelisah. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, tapi dia tidak punya waktu lagi. Jika tidak sekarang, maka dia tidak tahu kapan bisa bertemu lagi dengannya. Dia menatap Bian tepat dimata dan menghela napasnya. Menghilangkan keraguan dalam diri. Dan berusaha untuk berani. "Bi, ayo kita batalin pertunangan kita!" ucapnya.

Bian tertawa. Dia menatap Ginatri dan menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Udah berhasil bikin papa kamu ngasih warisan apa udah berhasil bikin Leo balik ke kamu?"

Ginatri tersentak. "Maksud kamu?"

"Gak usah pura-pura bego atau kamu emang mau bego beneran? Kamu pikir aku gak tahu alasan kamu deketin aku?"

Ginatri menelan ludah. Otaknya berputar keras. Apa maksud Bian? Apa yang Dia tahu? Apa dia tahu jika dirinya hanya dimanfaatkan? Soal Leo atau soal Aida, bibinya.

"Maksudnya?"

Bian tertawa lagi. "Gina, Gina! Kamu pikir membatalkan pertunangan itu mudah seperti anak kemarin sore yang meminta putus dari kekasihnya," ucap Bian.

"Apa aku perlu bertahan jika orang yang yang menjadi tunanganku mencintai orang lain?" ucap Ginatri tidak ingin terus disudutkan oleh Bian.

"Lalu, bagaimana denganmu? Bukankah kamu juga mencintai orang lain?" ejek Bian.

Ginatri terdiam. Dia menelan ludah dan menatap Bian waspada. "Bukan aku, Bi, tapi kamu!"

Bian menatap Ginatri tajam. Wajah pucatnya terlihat lelah, tapi Ginatri sangsi jika dia masih bisa merasakan tekanan dari tatapannya. Namun, dia enggan mengakui. Dia mengatur napasnya dan berusaha terlihat tenang meskipun hatinya berdebar keras. "Kenapa jadi aku yang terlihat selingkuh disini? Bukankah yang mencintai orang lain itu kamu? Lantas kenapa aku yang disalahkan?"

Bian meliriknya malas. "Pulanglah sebelum aku membuatmu lebih malu. Aku akan menganggap pertemuan kita hari ini tidak pernah terjadi karena aku harus istirahat. Dan satu lagi...." Bian mendekat dan berbisik pada Ginatri. "Jangan kira aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan. Jika sekali saja kamu menyentuh Gya, jangan harap aku akan melepasmu!" ancamnya dingin.

Napas Ginatri memburu. Tubuhnya bergetar. Dia mengepalkan tangannya kuat. Berusaha menekan emosi juga takut yang mendadak menyerangnya. Sementara Bian meninggalkan Ginatri tanpa melihatnya lagi.

Bian membaringkan tubuhnya di kursi panjang. Satu tangannya dia gunakan untuk menutup mata dan mulai memejamkan mata, sedikit berharap bisa tidur barang sebentar. Namun, sebuah langkah kaki mengganggunya. Tanpa membuka mata, dia berkata ketus. "Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi? Kenapa masih di sini?"

"A... Aku. Aku cuma mau kasih laporan ini, Pak."

Bian terdiam. Dia yakin jika yang datang adalah Ginatri, tapi dia juga tidak sedang berhalusinasi karena mendengar suara Gyandra. Dia membuka mata dan terduduk. Matanya mengerjap tak percaya saat melihat Gyandra ada di depan mata. "Sejak kapan kamu disini?" tanyanya khawatir. Takut jika Gyandra mendengar apa yang dibicarakannya dengan Ginatri.

"Baru, Pak. Aku pikir bapak belum pulang karena tidak ada info apapun, terus aku kesini dan gak sengaja liat pintu rumah bapak terbuka. Aku kira ada maling, makanya aku lihat. Takut beneran rumah bapak kemalingan," jelas Gyandra.

Bian melihat Gyandra dan tersenyum. "Kemarilah," titahnya dengan menepuk sisi kursi disampingnya. Meminta Gyandra untuk duduk di sampingnya.
Gyandra menurut. Dia mendekat dan duduk disebelahnya. Memberikan dokumen yang dibawanya dan menatap Bian lekat.

Sadar dirinya di lihat begitu lekat, Bian berdehem. "Kenapa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang Gyandra berikan.

Gyandra terdiam. Dia masih menatap Bian lekat. Enggan bertanya, tapi rasa penasaran terus mengusiknya hingga mendorongnya untuk bertanya. "Kau... Baik-baik saja?"

Bian mendongak. Dia menatap Gyandra dan tersenyum. "Menurut mu?"


Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang