Gyandra membuka mata saat hangat matahari mengenai wajahnya. Dia mengernyit dan menutupi wajah dengan satu tangan sedangkan tangan satunya dia gunakan untuk meraba sampingnya mencari keberadaan Ginatri. Kosong. Dia memalingkan wajah dan melihat sisi sampingnya. Entah dimana kakaknya sekarang.
Gyandra bangun. Dia duduk disisi ranjang. Kilasan kejadian semalam menghampirinya bak air yang mengalir pelan. Dia memejamkan matanya. Menyesali kebodohannya yang tidak bisa menahan amarah hingga mengakui perasaannya di depan Bian juga Aida hingga membuatnya frustasi. Apa yang harus dia lakukan nanti saat bertemu Bian? Ah, bukan hanya Bian, tapi bagaimana dia harus menghadapi ayahnya? Aida pasti tidak akan melepaskannya kali ini. Terlebih dia juga telah berlaku tidak sopan padanya. Namun, bukankah itu pantas? Kenapa dia harus diam saja saat dihina? Bukankah tidak apa jika kita sesekali melawan?
Gyandra mengacak rambutnya frustasi. Dia berdiri. Tubuhnya memang sudah lebih baik, tapi tidak dengan pikirannya.
Setelah mandi dengan air hangat dan meminum obat, dia berniat untuk bersantai di ruang belakang rumah. Dia duduk dan membaca buku guna menghilangkan rasa jenuh. Dia juga sedikit penasaran saat tidak menemukan Aida."Sedang apa disini?"
Gyandra menoleh ke belakang dan menemukan Rama sedang menuju padanya. Gyandra meneguk ludah. Memaksakan diri untuk tersenyum saat Rama duduk di depannya. "Hanya bersantai, Pa."
Hening. Kedatangan Rama membuat Gyandra resah. Dia takut Rama akan marah padanya. Ingin menjelaskan, tapi dia juga tidak tahu harus memulai dari mana. Jujur saja, jangankan untuk menjelaskan, dia sendiri bahkan nyaris hanya berbicara seperlunya dengan Rama. Dia juga tidak mengerti kenapa Rama hanya diam saja tanpa mengatakan apapun padanya. Padahal dia yakin jika Rama pasti sudah mendengar pertengkarannya dengan Aida.
Rama melihat Gyandra yang hanya menunduk tersenyum miris. Rasa sakit hinggap saat dia tahu bahwa jarak diantara mereka begitu jauh. Jangankan menyuruhnya bermanja dan bercerita layaknya anak yang lain, dia bahkan merasa takut untuk melihatnya. "Apa sudah mendingan?"
Gyandra mendongak pelan saat Rama bertanya padanya. "Maksud papa?" tanyanya untuk memastikan apakah Rama benar-benar menanyakan kabarnya atau dia yang salah mendengar.
Rama tersenyum hangat. "Semalam kamu demam. Pasti sangat kelelahan bukan? Apa sekarang sudah mendingan?" tanyanya dengan menyentuh kening Gyandra.
Gyandra mematung. Merasa aneh dengan perhatian yang Rama berikan padanya. "Oh, iya. Mendingan, Pa."
"Syukurlah," ucapnya dengan melepas tangan dari Gyandra.
Hening kembali melanda. Kedatangan Rama membuat Gyandra serba salah. Dia bingung harus melakukan apa. Diam membuatnya salah tingkah, ingin berbicara, dia tidak tahu harus membicarakan apa. Jika pergi, mungkin Rama akan menganggapnya tidak sopan dan anak durhaka yang tidak menghormati orang tua. Sungguh keadaan yang membuatnya dilema.
"Maaf." Rama berucap lirih.
Gyandra tersentak. Dia memalingkan wajahnya pada Rama dan menatapnya tidak mengerti. Apa dia tidak salah dengar lagi? Sakit tidak membuat pendengarannya mulai berkurang 'kan? Rama yang biasanya terlihat dingin meminta maaf padanya.
"Maafin papa, Gya," ulang Rama.
Gyandra menunduk. "Maaf untuk apa, Pa?" tanyanya. Hatinya trenyuh saat dia mendongak dan melihat cara Rama memandangnya.
Rama mendekat. Dia menyentuh tangan Gyandra dan memegangnya erat. "Papa kira telah melakukan hal yang benar. Membesarkan anak-anak papa dengan benar. Papa kira, papa telah mengenal kalian dengan baik, tapi...." Rama memandang Gyandra dan tersenyum pahit. Dia menggelengkan kepalanya pelan. "Papa salah. Papa tidak tahu apapun tentang Gya. Banyak hal yang papa lewati. Bahkan kita kerap bertengkar dan tidak sejalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
General FictionKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?