22. Salahkah?

1.9K 180 13
                                    

Ginatri menghela napasnya sebal. Sia-sia saja dia menyuruh Gyandra untuk tidur. Setelah bercerita, Ayu memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan dia juga meminta Ginatri untuk kembali. Namun, keadaan Gyandra membuatnya urung. Dia memutuskan untuk tinggal dan menunggu sampai dia terlelap, tapi jangankan tidur. Gyandra bahkan selalu membuatnya gemas dengan bertanya hal yang tidak masuk akal. Jika bukan karena sedang sakit, mungkin dia sudah menjitak kepalanya. "Kamu gak mau tidur?" tanyanya untuk kesekian kali pada Gyandra. Gyandra menggeleng. Dia merapatkan diri dan memeluk Ginatri dari samping. "Kak, aku masih penasaran," tanyanya manja.

"Kalo kamu masih pengen tanya yang aneh-aneh mending kakak balik ke kamar."

"Bukan. Sebenarnya, aku udah lama pengen tanya, tapi aku gak berani," ujarnya berhasil menyita perhatian Ginatri.

"Penasaran kenapa?"

Gyandra ragu. Entah dia harus tetap bertanya atau membiarkan pertanyaannya berlalu seperti yang sudah-sudah. "Gak jadi deh," ujarnya dan berbalik memunggungi Ginatri.

Gemas, Ginatri membalikkan tubuhnya dan menjitak pelan. Gyandra mengadu. "Sakit, kak," protesnya pelan dengan mengusap keningnya.

"Lagian daritadi kamu bikin kakak gemes. Kenapa sih?"

Gyandra manyun. Dia menatap Ginatri. "Iya deh iya," ujarnya. Dia menghela napas. Rasa takut masih membayangi. Namun, rasa lelah karena penasaran mendorongnya untuk berani bertanya. Dia mendongak, menatap Ginatri penuh harap. "Kak, apa...." Gyandra berhenti. Dia menundukkan kepalanya. Keraguan kembali hadir. Dan saat Gyandra larut dalam pikirannya, Ginatri bangun. Dia menopang kepalanya pada satu tangan dan melihat Gyandra lembut. "Berisik 'kan?"

Gyandra mendongak pelan. "Maksud kakak?" tanyanya tidak mengerti.

Ginatri tersenyum dan menunjuk kening Gyandra. "Ini. Disini berisik 'kan? Daripada kamu membiarkan mereka menggema di kepala, bukankah lebih baik kamu katakan? Kakak tidak tahu apa yang membuatmu resah, tapi kakak harap kamu mau membaginya. Bahkan lebih bagus jika kita bisa mencari jalan keluarnya bersama," ujarnya dengan tersenyum lembut dan kembali berbaring.

Gyandra termenung. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan kakaknya. Mungkin akan lebih baik jika dia mengatakan semua yang ada dipikirannya. Dia menghela napas dan menghadap Ginatri.

"Kak, apa menjadi yang kedua adalah hal yang buruk? Maksudku, mungkin kita bisa memilih dan menentukan apa yang kita mau dalam hidup, tapi saat takdir berkata lain apakah kita pantas dihakimi? Bukankah semua yang terjadi diluar kemampuan kita? Bahkan aku bertanya dalam hati. Apakah memang aku harus mengalami semuanya? Bukankah setiap anak yang terlahir itu suci? Lantas, kenapa kami harus menanggung dosa yang bahkan tidak kami lakukan?" Gyandra mendekat dan memeluk tangan Ginatri. Dia membenamkan kepalanya. Seolah mencari perlindungan, tapi dia tidak tahu dari apa dia berlindung. Matanya panas, tapi ada rasa lega di dada saat dia bisa mengeluarkan unek-uneknya.

Ginatri tersenyum dia melihat Gyandra dan menghapus air matanya."Kebanyakan orang hanya menilai dari apa yang dia lihat, de. Mereka terbiasa menilai tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. Lantas menyalahkan dan membuatnya menjadi sebuah kebenaran."

"Bukankah itu tidak adil?" tanya Gyandra lirih.

Ginatri menggeleng. "Tidak! Memang tidak adil. Ketika kita tidak salah, lantas disalahkan itu sangat tidak adil, de. Kita harus diam saat kita ingin teriak, kita harus menahan saat kita marah. Kita tidak bisa menutup mata, juga mulut mereka dari apa yang ingin mereka lihat dan mereka ucapkan. Tidak semua yang tersenyum selalu baik, pun sebaliknya, tapi...." Ginatri menghadap Gyandra dan melihatnya lekat. "Kita bisa menutup mata dan telinga kita dari ucapan mereka. Selama kita benar, jangan takut akan penilaian orang lain pada kita. Lagipula, daripada kita mencari siapa yang salah, dan meratapi diri, bukankah lebih baik jika kita berdamai dengan keadaan? Setiap orang menuai apa yang mereka tabur, de. Tidak perlu mengotori tangan juga pikiran kita hanya karena hal yang tidak pernah kita lakukan."

Gyandra menatap Ginatri lekat. Ucapan kakaknya sedikit membuatnya lega. Malam ini, Gyandra menemukan sesuatu yang begitu berharga. Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Menempati porsinya masing-masing. Terlepas dari apa dan bagaimana dirinya lahir, apapun yang terjadi akan lebih baik jika dia menerima dirinya dan berbangga diri. Kualitas hidup bukan dari mana dia lahir tapi seberapa besar nilai kehidupan yang dia miliki.

"Ayo tidur!" Ajak Ginatri. Gyandra mengangguk. Ginatri menempelkan tangannya pada kening Gyandra dan memastikan panasnya turun. Dalam hati dia berpikir. Bagaimana mungkin dia memiliki adik yang polos dan manja seperti Gyandra. Padahal umur mereka sama dan hanya selang beberapa bulan. Entah naif atau bodoh. Namun, kejadian ini memberikan satu hal yang paling berarti baginya. Kejujuran dan kepercayaan. Hal yang paling sulit dia dapatkan dari adiknya meskipun dia berusaha sebaik mungkin untuk melakukannya.

Dengkuran halus terdengar dan Ginatri tersenyum. Sangat mudah bagi Gyandra untuk terlelap. Dia menoleh ke belakang dan menaikkan selimut yang Gyandra pakai.

Berbeda dengan Gyandra yang terlelap dalam damai, keadaan di ruang tamu begitu panas. Rama duduk dengan murka. Meskipun dia diam, hatinya bergejolak panas. Ayu duduk di samping Rama tanpa mengatakan apapun. Meskipun begitu, Rama tahu jika Ayu terluka juga marah. Rasa kecewa menghampirinya. Membutnya merasa gagal menjadi seorang suami juga ayah bagi anak-anaknya.

Rama menghela napas. Menahan diri agar tetap bijak. "Apa maumu, Da? Bukan sekali kamu melakukan ini. Kamu berniat membuat keluargaku hancur?" Rama menatap Aida.

Aida menatap Rama. "Aku hanya tidak ingin apa yang terjadi pada sahabatku, terjadi pada anaknya juga. Gya harus pergi dari sini, Mas. Ini demi Gina," ujarnya.

Rama memejamkan matanya. Kepalanya berdenyut sakit. Pusing memikirkan tingkah Aida yang menurutnya tidak masuk akal. "Dengar, Da. Urusan pribadi mereka itu bukan urusanmu. Kamu tidak berhak mengatur semuanya seolah kamu...."

"Mas! Kalo ini dibiarkan, maka semua akan terulang kembali. Gina akan bernasib sama seperti ibunya?" Serunya dengan menatap Ayu. "Aku dengar sendiri dia mengatakan cinta pada Bian," imbuhnya dengan mengalihkan pandangannya pada Rama.

"Bernasib sama? Kenapa mereka harus bernasib sama?" Ayu membuka suara. Dia menatap Aida dengan tatapan tidak suka. "Memang kenapa? Aku bukan perebut suami orang, begitupun anak-anak ku!"

"Berhentilah bersikap seolah kamu menyayangi Gina! Kamu pikir aku tidak tahu kalo kamu hanya pura-pura? Kamu juga sadar jika Gya menatap Bian dengan tatapan berbeda 'kan?"

"Jaga ucapan mu! Aku lebih tahu bagaimana anak-anak ku dibandingkan kamu! Dan apa katamu tadi? Pura-pura? Bagaimana mungkin aku...."

"Cukup!"

Rama berseru untuk menghentikan mereka. Dia menatap Ayu lekat. "Kemasi barang-barangmu!" ujarnya dan memalingkan wajah pada Aida. Ayu membeku sementara Aida tersenyum senang.

"Dan pulanglah besok subuh. Aku tidak mentolerir siapapun yang mencoba merusak rumah tanggaku, meskipun itu adikku sendiri."

Senyum di bibir Aida sirna, berganti dengan tatapan tidak mengerti. "Maksud Mas apa? Mas lebih percaya sama perempuan itu? Mas labih memilih mereka? Mas! Anak haram itu akan...."

"Cukup, Aida! Gya anakku dan dia bukan anak haram seperti yang kamu katakan. Kamu tahu itu 'kan?"

Aida tersentak saat Rama membentaknya. Tatapan tajam Rama membuat nyalinya ciut. Dia mengepalkan tangan dan pergi. Namun, sebelum pergi Aida menatap Rama tak kalah nyalang. "Lihat saja, Mas! Mas akan nyesel udah ngusir aku dari sini!"

Hallo, apa kabar? Semoga dalam keadaan baik dan sehat. Selamat  malam Minggu, selamat istirahat dan bersantai bersama keluarga. Peluk dan cium jauh dari Gyandra 😘😘

Jangan lupa bintang y 🤗

Jangan lupa bintang y 🤗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang