33. Anak pelakor

2.6K 159 9
                                    

Hana menatap bangunan dihadapannya dengan ragu. Tatapan matanya bingung juga penuh harap. Semenjak kepulangan Maya dari rumah Bian, ibunya sakit. Dia bahkan terus melamun dengan tatapan kosong. Sebagai anak, tentu saja dia merasa khawatir. Berkali-kali menghubungi Bian, tapi jangankan diangkat. Nomornya bahkan di blok oleh Bian. Maka, tidak ada cara lain selain menemuinya langsung di kantor. Namun, masalah baru menghampiri. Dia tidak tahu bagaimana cara menemui Bian. Apakah Bian mau menemuinya atau kedatangannya justru membuatnya marah? Namun, mengingat keadaan ibunya, Hana memutuskan untuk berani menemuinya.

"Cari siapa, mbak?" tanya salah satu satpam yang berjaga. Dia curiga saat melihat gerak gerik Hana yang sedari tadi hanya mondar mandir di depan kantor.

"Anu... Aku mau ketemu sama kak Bian. Kakak ada?"

Satpam itu mengangguk. "Mbaknya udah bikin janji sama Bapak?"

Hana menggeleng. Jangankan membuat janji. Nomornya saja masuk daftar hitam. Astaga. Ingin bertemu saja kenapa begitu sulit? Hana mulai bimbang. Apakah dia harus menunggunya sampai akhir atau harus kembali pulang? jika saja dia bisa meminta bantuan pada ayahnya, tapi meminta padanya sama saja dengan menyulut api. Mengingat mereka tidak pernah akur dan selalu dingin.

"Kalo mau ketemu bapak harus buat janji. Sekarang bapak lagi gak ada. Jadi lebih baik mbak pulang saja dulu. Buat janji sama bapak." Satpam itu mencoba menjelaskan. Namun, Hana tidak ingin kembali tanpa hasil.

"Apa saya tidak bisa bertemu sebentar, Pak. Tolong, sebentar saja," ucapnya penuh harap.

Satpam itu menggeleng. Dia tersenyum dan meminta maaf pada Hana. Kukuh pada pendiriannya.

"Aku adiknya. Aku mau ketemu sama kakak. Sebentar saja. Ya, pak. Please!"

"Justru karena mbak adiknya. Lebih baik mbak nunggu bapak dirumah aja. Biar lebih enak. Kalo di kantor harus bikin janji dulu mbak. Bapak gak bisa diganggu," ujarnya dengan tersenyum sopan.

Hana pasrah. Dia berbalik dan hendak pergi. Namun, semesta membantunya. Persis saat dia berbalik, dia melihat Gyandra. Hana berlari menghampiri Gyandra dan memeluknya erat. "Kak Gya!"

Gyandra terhuyung. Beruntung dia bisa menahan diri hingga tidak terjungkal. "Na! Kenapa disini? Kamu gak sekolah?" tanya Gyandra.

Hana menggeleng. Jangankan memikirkan sekolah. Dia bahkan kalut semalaman saat melihat ibunya seperti orang lain. Hana terisak dalam pelukan Gyandra. "Mama sakit, Kak. Mama terus melamun dan gak mau makan apalagi di bawa ke dokter. Hana khawatir sama mama, " adunya.

Gyandra terdiam. Dia melepas pelukan Hana dan membawanya masuk ke kantor. Membiarkannya duduk sementara dia mengambil minuman untuk Hana.

"Minumlah," titahnya dengan tersenyum lembut. Hana menerima minuman dari Gyandra dan meminumnya pelan. Dia menunduk. Banyak hal yang dia pikirkan, tapi tidak tahu harus apa dan bagaimana.

"Sudah lebih baik?" Gyandra bertanya pelan. Memastikan. Hana mendongak. Pertanyaan Gyandra membuyarkan lamunannya. Dia mengangguk singkat. "Terimakasih, kak," balasnya lirih.

Hening. Kantor begitu sepi karena jam istirahat. Hanya sesekali terdengar isak Hana yang tertahan.

Gyandra menghela nafas. Dia menarik kursi yang tidak jauh darinya dan duduk di depan Hana. Mengamatinya dengan diam. Penampilannya benar-benar kacau. Bisa dia bayangkan bagaimana kalutnya Hana. Gyandra meraih tangan Hana dan menatapnya lekat. "Bian tidak ada disini. Dia ada urusan bisnis di luar kota. Jadi, Hana lebih baik pulang," ujarnya selembut mungkin.

Hana mendongak. Matanya putus asa. Dia ingin menunggu, tapi dia juga khawatir pada ibunya di rumah? Namun, dirumah pun dia tidak akan tenang karena harus melihat ibunya. Maka, dia memutuskan untuk menunggu. Dia menatap ragu, tidak punya pilihan lain selain berharap pada Gyandra. Hana menelan ludah. "Apa aku boleh menunggu?" Kukuhnya.

Gyandra menggeleng. Hana menggigit bibirnya pelan. Ya Tuhan, apa yang harus dia lakukan? Dia kembali melihat Gyandra dengan tatapan memohon. "Tolong, Kak."

Gyandra tetap menggeleng. Dia tersenyum pelan. "Lebih baik sekarang Hana pulang. Soal mama, biar nanti kakak bicarakan dengan Bian pelan-pelan. Kakak juga akan kerumah setelah urusan kantor selesai. Oke?"

Hana terdiam lama. Namun, dengan berat hati dia mengangguk dan tersenyum. "Maaf kalo Hana selalu ngerepotin kakak. Sungguh," ucapnya tidak enak.

Gyandra tersenyum. Dia berdiri dan mengantar Hana sampai depan kantor. Hana memeluk Gyandra. Sekali lagi berterimakasih dan merasa tidak enak karena merepotkannya sebelum dia masuk ke mobil yang akan mengantarkannya pulang.

Gyandra memandang mobil itu sampai menghilang di balik gerbang. Dia mendongak. Mendung bergelayut manja menutup kota. Mendesah. Dia berbalik.

Bruk!

"Aduh!" Gyandra mengadu saat seseorang wanita menabraknya dari belakang. Pandangannya mengikuti arah kepergian si wanita dengan diam.

"Kenapa, Mbak?" Anisa menghampiri dan mengikuti arah pandang Gyandra.

"Itu siapa?" tanya Gyandra pada Anisa.

"Bella?"

Gyandra menoleh. "Bella?" Ulangnya pelan. Anisa mengangguk.

"Dia baik-baik aja 'kan?" tanyanya.

Anisa mengangguk. Memasukkan kedua tangan dalam saku dan menghela napas. "Gak usah dipikirin mbak, lagu lama kalo dia begitu," ujarnya dan berjalan. Gyandra mengekor. Namun, Anisa tiba-tiba berbalik dan memaksanya mendekat. "Sini deh mbak, kalo bisa mbak jangan deket-deket juga sama dia?"

"Memang kenapa?" tanya Gyandra penasaran. Anisa menoleh ke kanan dan kiri. "Pelakor, tapi gak tahu diri," bisiknya.

Gyandra tersentak. Langkahnya terhenti. "Maksudnya?"

"Iya, pelakor. Ngerebut suami kakaknya tapi berlagak kaya orang disakiti," ujarnya.

Gyandra bergidik ngeri. "Masa sih, Nis?"

Anisa mengangguk yakin. "Makanya, Mbak Gya jangan deket-deket sama dia, takut ketularan jadi pelakor. 'kan bahaya," katanya mengingatkan.

Gyandra memutar bola matanya malas. Dia berjalan mendahului Anisa dan menuju ruangannya. Enggan menanggapi kabar burung atau gosip yang sama sekali belum tentu kebenarannya. Namun, Anisa mencekalnya dan berbisik. "Mbak, tau gak kalo sebenernya atasan kita juga anak pelakor?"

Deg!
Langkah Gyandra terhenti. Dia terdiam, menatap Anisa dengan tidak suka. "Jangan ngomong yang enggak-enggak deh, Nis!"

"Serius, Mbak! Emang gak banyak yang tahu soal ini, tapi...."

"Nis!" Gyandra memotong ucapan Anisa dan menatap tajam. "Cukup!" Tekannya. Anisa terdiam. Dia mengangguk saat melihat senyum dan tatapan Gyandra yang penuh peringatan.

Diluar, hujan mulai turun. Gyandra berlalu meninggalkan Anisa yang masih terdiam. Entah ucapan Anisa benar atau salah, tetap saja dia belum terbiasa menerima gosip buruk tentang Bian. Alih-alih membenci, Gyandra justru khawatir. Khawatir bagaimana dia menjalani kehidupannya, bagaimana Bian bisa bertahan dan melalui semua ini.

Gyandra duduk. Memandang hujan dari balik kaca kantornya. "Seberapa berat kehidupanmu, Bi?"

Hallo, apa kabar?
Mudah".n sehat selalu yah. Jangan lupa bahagia. Maapkan jika ada typo yang merajalela. Love yu

 Love yu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang