39. Ayo kita pulang

1.5K 133 3
                                    

"Bi, jika kamu lelah, jika kamu sedih jangan duduk sendiri dan termenung. Temui aku, maka aku akan membawamu dan membuatmu lupa akan kesedihanmu."

Bian membuka matanya perlahan. Langit-langit kantor menjadi hal pertama yang dia lihat saat membuka mata. Dia terduduk dan melihat sekitar. Sepi. Anehnya, suara itu terdengar jelas di telinga.  Dia juga dia masih bisa merasakan kehadiran, juga senyum hangat Gyandra padanya. Namun, kosong. Tidak ada siapapun saat dia membuka mata. Dia melihat jam di tangan. Jam dua belas siang. "Pantas saja terasa sepi, rupanya jam makan siang," gumamnya. Bian mendongak. Tak lupa melemaskan otot-otot yang kaku. Menghela napas, Bian memutuskan untuk menarik dokumen dihadapannya. Membaca dengan seksama juga membubuhkan tanda tangan. Awan panas yang selalu menyelimuti kota kini menjadi redup karena tertutup mendung. Entah karena memang cuacanya atau keadaannya yang melemah, Bian merasa begitu dingin.

Dalam hidup, ada saat dimana kita terjatuh dalam titik terendah. Hal yang membuat kita merasa down meski hanya memikirkannya saja. Seperti saat ini, saat hari peringatan kematian Risna lebih dekat, pikirannya kacau. Ingatan itu kembali menggema dalam pikiran Bian. Sore itu sunyi. Indra seperti biasa pulang saat larut malam. Dia sendiri baru pulang dari rumah Andre. Sayup-sayup dia mendengar suara itu. Tangisan, juga ratapan Risna yang begitu pilu.

"Kenapa anakku yang mati? Kenapa bukan Bian yang mati? Kenapa?"

Saat itu, Bian masih tidak tahu. Teriakan juga tangisan ibunya membuat khawatir. Namun saat dia mendengar namanya disebut juga kata mati yang diucapkan ibunya membuat dia urung. Tidak mengerti, juga rasa penasaran membuatnya terdiam di depan pintu kamar Risna. "Bunuh! Iya! Bunuh! Aku harus membunuh wanita jalang itu juga anaknya. Jika bukan mereka yang mati, maka aku yang akan mati!"

Bian mematung mendengar teriakan Risna. Tangannya gemetar memegang handle pintu. Namun rasa cemas membuatnya kalut. Dia berusaha untuk membuka pintu. Dan pintu terbuka, tapi...

Yang Bian lihat bukan sosok ibu yang biasa dia kenal. Dia sangat berbeda. Tidak ada pelukan juga senyum hangat. Yang dia lihat saat itu adalah rasa kecewa, sedih juga putus asa. Bian menelan ludahnya. Mulutnya lirih memanggil Risna. Namun, dia tidak mendapat jawaban. Risna terdiam dan hanya melihatnya. Lalu menangis. Tangan Bian terulur untuk menghapus air matanya, tapi langkahnya terhenti. Samar, Bian melihat kilat pisau di tangan Risna. Perlahan dia mundur. Namun Risna kembali menggumamkan kata. Tubuh Bian bergetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Takut.

"Pak!"

Bian tersentak saat Gyandra menyentuhnya. Jantungnya berdebar keras. Ingatan malam itu kembali datang. "Pak? Anda baik-baik saja?"

Bian linglung. Napasnya memburu.
Gyandra mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Bian. Namun, Dia menolak. Bian menepis tangan Gyandra dan bergegas pergi.

"Pak, anda mau kemana?" Teriak Gyandra saat melihat Bian yang berjalan cepat. Dia mengejar Bian, tapi Bian dengan cepat pergi meninggalkan Gyandra sendirian dengan kebingungannya. Gyandra mematung. Dia menatap mobil Bian yang melaju cepat dengan khawatir.

"Kenapa harus anakku? Kenapa bukan kamu yang mati?"

Mobil Bian berhenti di sembarang tempat. Dia menutup telinga. Tubuhnya gemetar juga basah karena keringat dingin yang mengalir. "Maaf," seraknya dengan terus menutup telinganya. Bayangan Risna kembali hadir. Menariknya dalam kubangan duka juga rasa bersalah yang terus menyiksa. Senyum Risna tercetak jelas di pelupuk mata. Namun mata itu memandang Bian dengan luka. Sakit, Bian meremas hatinya.

"Maaf,Ma." Napas Bian tersengal. Dia menangis dalam diam. Tak tahan, dia memegang setir dengan erat dan melaju dengan cepat. Mobilnya berhenti di sebuah pemakaman umum. Bian turun. Langkahnya cepat tak beraturan menuju tempat dimana Risna terbaring.

Bian tergugu. Menatap pusara Risna dengan pilu. "Mama," ucapnya lirih. Banyak hal yang ingin dia lakukan, banyak hal yang ingin dia sampaikan. Namun, saat berada di depan pusara Risna, dia bungkam. Semua ucapan itu buyar. Yang ada hanya rasa bersalah. Jika saja semua terjadi seperti yang Risna inginkan. Jika saja, dia memang benar anak kandung dari Risna dan jika saja....

Bian menghela napasnya. Sesak juga sakit menyerangnya saat dia menarik napas. Bagaimana mungkin semesta begitu tega mempermainkannya. Untuk sejenak, ingin rasanya dia menyalahkan Maya yang hadir dalam hidup Risna. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Bian juga sadar bahwa Maya tidak sepenuhnya salah. Bian kembali menghela napasnya dan menatap nanar.

Bian tersentak saat sebuah tangan menyentuh pundaknya lembut. Dia memalingkan wajah dan melihat Gyandra yang tersenyum tipis padanya. Dia berjongkok di samping Bian.

Gerimis mulai turun. Namun, Bian enggan beranjak. Betah dalam kesendiriannya. Dia melirik Gyandra yang berada disampingnya dan merasa tertampar. Bukan hanya diam, Gyandra justru sedang khusyuk mendoakan Risna. Begitu dia selesai, pandangan mereka bertemu. Gyandra tersenyum. Bian berpaling. Pikirannya menerawang jauh. "Menyedihkan bukan?"

Gyandra menoleh. "Maksud mu?" tanyanya balik. Mereka saling menatap. "Bukankah aku terlihat menyedihkan?" ucapnya.

Gyandra tersenyum lirih. "Memang apa yang menyedihkan dari semua ini? Bukankah menangis adalah hal yang wajar saat kita sedih?"

Bungkam. Bian tidak bisa menjawab apa yang dikatakan Gyandra. Memang bukan salahnya. Namun, jika Gyandra tahu bahwa Risna meninggal karena bunuh diri, dan dia adalah penyebab dari rasa frustasinya, apakah Gyandra akan tetap melihatnya dengan sama? Apakah Gyandra juga masih mau menghiburnya?

Angin berhembus semakin kencang. Daun pohon kamboja yang berada tidak jauh dari tempat mereka berada berguguran di tiup angin. Gyandra mendongak. Hujan mengenai wajahnya lembut. Gyandra kembali menatap Bian yang sedang menatap pusara Risna. Namun, dia bangkit dan menyodorkan tangannya. "Ayo!"

Bian mendongak. Menatap tangan Gyandra dengan kosong. "Pergilah! Tinggalkan aku!"

Gyandra menghela napasnya. Dia kembali duduk di samping Bian dengan diam.

"Tidak perlu menghiburku, pulanglah," ucapnya. Gyandra menggeleng. "Siapa juga yang ingin menghibur. Aku hanya ingin disini dan berkenalan dengan ibumu sebentar," kilahnya.

Bian tertawa pelan. "Dia bukan ibu kandungku," ucapnya lirih dengan menundukkan kepala. Gyandra menoleh. "Lalu? Memang kenapa jika dia bukan ibu kandung mu?"

Bungkam. Ingin rasanya Bian mengatakan semua yang ada, tapi dia terlalu takut untuk menerima respon Gyandra. Jika yang menjadi persoalan hanyalah perkara ibu kandung dan tiri saja, mungkin Gyandra bisa memaklumi. Namun soal Risna yang meninggal karenanya? Apakah Gyandra mampu?

Gyandra melirik Bian. Dia menghela napasnya. "Bi?" Panggilnya pelan.

"Hmm."

"Jangan terlalu dipikirkan."

"Bagaimana tidak ku pikirkan sedangkan aku adalah alasan dia meninggal," lirihnya.

"Setiap orang pasti meninggal, Bi. Dan kita harus menerima semua takdir Tuhan. Terlepas dari bagaimanapun cara mereka pergi," jelas Gyandra. Dia meraih tangan Bian dan menggenggamnya erat. Bian mendongak.  Sentuhan Gyandra membuat dirinya menghangat.

"Ayo kita pulang," ajak Gyandra.

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang