3. Yang benar saja

3K 294 16
                                    

Matahari telah kembali ke peraduan saat Ginatri dan Bian sampai di depan rumah Ginatri. Meskipun Bian masih kesal juga marah padanya, dia tidak akan menjadi brengsek dengan menelantarkan tunangannya untuk pulang sendiri.

"Kamu masih marah ya, yang," tanya Ginatri memecahkan keheningan diantara mereka. "Maaf, dong yang. Aku janji gak akan bikin kamu marah lagi, aku... Aku cuma mau ngehibur kamu." Sesalnya dengan wajah menunduk pasrah.

Bian melirik Ginatri dan menghela napas. Bukan salah Ginatri jika dia marah, hanya saja cara Ginatri benar-benar keterlaluan. Bukan karena dia tidak suka, tapi takut tidak bisa menahan diri padanya. Bian tidak ingin merusak anak orang meskipun itu tunangannya sendiri.

Bian mengacak surai Ginatri dan tersenyum padanya. "Ini bukan salah kamu kok. Harusnya aku yang minta maaf karena gak ngerti niat baik kamu. Maaf."

Ginatri memeluk Bian hangat. Merasa lega dengan ucapan Bian.

"Ayo, kita udah di depan rumah. Jangan sampe papa kamu ketuk kaca mobil dan ngira kita lagi main iya-iya disini." canda Bian yang berhasil membuat Ginatri tersenyum.

Mereka turun dari mobil dan memasuki rumah. Bian menyalami kedua orang tua Ginatri dan duduk bersama mereka.

"Gimana kerjaan di kantor?" tanya Rama pada Bian.

"Lancar , Om," jawab Bian singkat. Berhadapan dengan calon mertuanya selalu membuat canggung. Bahkan dia kerap merasa tidak nyaman saat bersama Rama. Namun, sebisa mungkin dia menyesuaikan diri. Saat pamit, Ayu meminta Bian untuk makan malam bersama.

"Pamali. Makan dulu disini, tante udah masak. Ayo," ajaknya pada Bian.

Bian melirik Ginatri yang berada tidak jauh dari Ayu. Berharap dia bisa meloloskan Bian dari ajakan orang tuanya. Namun, jangankan mengerti. Tunangannya juga meminta hal yang sama. "Udah makan disini aja. Kamu juga belum makan siang 'kan ?"

Bian tidak kuasa untuk menolak. Mereka berjalan menuju ruang makan. Sudah ada menu sederhana yang tersaji didepan mata. Bian duduk disebelah Ginatri sementara Rama duduk di kursi utama juga Ayu disebelahnya.

"Gya belum pulang, Ma ?" tanya Ginatri.

"Udah, tapi masih dijalan. Katanya kejebak macet," balas Ayu tanpa mengalihkan kegiatannya menyiapkan makanan untuk Rama.

"Macet?" tanya Ginatri ragu.

"Mama juga gak tahu. Mudah-mudahan sih gak ada apa-apa." ucap Ayu penuh harapan.

Bian terdiam mendengar ucapan Ayu dan Ginatri. Di satu sisi dia merasa lega karena tidak perlu bertemu dengan Gyandra, tapi disisi lain hatinya merasa khawatir. Apa yang membuat Gyandra begitu telat karena Bian yakin macet hanyalah omong kosong mengingat perjalanannya ke rumah Ginatri sangat lancar.

"Yang? Yang! Lamunin apa sih?"

Bian tersentak saat Ginatri memukul tangannya pelan. Buru-buru dia minta maaf dan menerima piring dari Ginatri.

"Makasih," ucapnya kikuk.

"Jangan banyak ngelamun. Nanti kesambet!" kata Ginatri dengan wajah  kesal. Bagaimana tidak, jika sedang banyak pikiran, Bian akan selalu larut dalam masalahnya. Bahkan terkadang dia juga tidak tahu tempat. Seperti saat ini, saat mereka sedang bersama dengan kedua orang tua Ginatri.

"Aku...."

"Assalamualaikum."

Ucapan Bian terpotong karena salam dari seseorang. Sontak mereka semua menoleh ke sumber suara. "Waalaikumsalam," jawabnya serempak.

"Itu pasti Gya, biar mama yang ke depan," ucap Ayu pada semua yang berada di ruang makan.

Hal pertama yang Ayu dapatkan saat tiba adalah keadaan Gyandra yang begitu kacau. Baju yang basah kuyup juga kotor. Sontak membuat Ayu panik.

"Kamu kenapa, nak?"

Khawatir, Ayu memeriksa setiap jengkal tubuh Gyandra. Memastikan tidak ada luka ditubuh anaknya.

"Gya gak apa-apa, Ma. Tadi kehujanan, terus ada motor ngebut padahal di depannya ada genangan air. Jadi Gya kecipratan," jelasnya pada Ayu.

"Hujan? Hujan dimana? Makanya kalo apa-apa tuh hati-hati. Mama 'kan udah bilang buat pake motor atau mobil sendiri. Kenapa sih ngotot pake angkutan umum? Jadi kaya gini 'kan?"

"Pake motor juga sama aja, mah. Pasti kehujanan."

"Setidaknya kamu masih bisa pake jas hujan kalo pake motor sendiri, apalagi pake mobil. Susah sih kalo dibilangin," omelnya pada Gyandra.

"Pake jas hujan juga sama aja basah kalo hujannya gede." Gyandra menjawab ucapan Ayu dalam hati. Tidak ada gunanya mendebat Ayu jika  sedang khawatir. Dia bahkan pasrah saat Ayu membawanya ke dalam rumah dengan serentetan ucapannya yang terkadang berlebihan.

"Kenapa, Ma?"

Rama bertanya pada Ayu yang mengambil handuk dengan tergesa. Namun, karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Ayu, Rama memutuskan untuk mengikuti langkah Ayu dengan Ginatri dan Bian di belakangnya.

Ginatri langsung mendekat saat melihat keadaan Gyandra yang kacau. Begitu juga dengan Rama.

"Kenapa?"

"Gya kehujanan, Pa," jawab Ayu dengan mengeringkan rambut Gyandra.

Rama menghela napas dan berbalik. "Cuma kehujanan, tapi bikin repot orang serumah!" Ucapan Rama membuat semua orang terdiam. Tidak menyangka dengan ucapan dingin yang Rama berikan.

"Jangan dengerin papa. cepet mandi, terus makan bareng-bareng," ucap Ginatri menghibur Gyandra.

Gyandra mengangguk dan mengambil handuk ditangan Ayu. "Iya. Gya ke atas dulu," ucapnya dan berbalik.

Bian melihat kepergian Gyandra dengan hati yang tak tentu. Entah mengapa ucapan Rama sangat menggangu baginya. Namun, dia tidak ingin peduli dan mengikuti Ginatri juga Ayu kembali ke ruang makan.

Rama melanjutkan makannya seolah tidak terjadi apapun hingga membuat Ginatri geram. "Pa! Papa bisa gak sih sedikit lembut sama Gya?"

"Kenapa?"

"Kenapa? Harusnya itu jadi pertanyaan Gina. Kenapa papa selalu ketus sama Gya?"

"Gina." Ginatri menahan ucapannya saat Ayu menggenggam tangannya lembut. "Tidak apa-apa. Lagipula, kita disini untuk makan, bukan untuk bertengkar. Bian juga pasti sudah lapar. Iya 'kan?"

"Ah, i... iya, tan," ucap Bian kikuk. Bingung dengan situasi yang dihadapinya saat ini.

Ayu tersenyum. "Ayo, duduk dan makan lagi," titahnya pada Bian dan Ginatri.

Tidak berselang lama, Gyandra datang dan bergabung bersama. Dia duduk di samping Ayu.

"Gimana interview nya?"

"Pa, biarin Gya makan dulu. Kita kan bisa bahas setelah Gya makan." Ginatri mencoba untuk memperingati Rama.

"Gak apa-apa, kak." Kata Gyandra menenangkan Ginatri. " Interviewnya lancar kok, Pa."

"Lalu? Diterima?"

"Belum tahu, Pa. Hasilnya besok."

"Kenapa gak kerja sama papa. Apa salahnya bantuin papa dulu? toh kamu juga papa bayar."

Ucapan Rama membuat rasa lapar Gyandra menguap. Dia menggeleng. "Gya belum mampu buat ngehandle usaha Papa. Lagipula, kak Gina lebih ngerti soal itu, Pa."

"Ya udah, jadi asistennya Bian aja. Kebetulan Bian lagi butuh asisten. Iya kan, yang ?" usul Ginatri.

Bian dan Gyandra tersentak mendengar usul Ginatri. Jika saja posisinya saat ini masih sebagai kekasih Bian, mungkin Gyandra akan senang menerima tawaran Ginatri. Namun, semua telah berubah. Jangankan menjadi asisten yang harus bertemu setiap hari, saat ini pun Gyandra masih belum mampu menatap Bian. "Menjadi asisten? Yang benar saja." batinnya.

Salam kenal buat semuanya. Makasih banyak buat temen-temen yang udah ninggalin jejak juga support buat Dande. Mudah".n novel pertamaku bisa menghibur temen-temen semua.🤗

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang