45. selesai

350 22 1
                                    

Jauh dari perdebatan Gyandra dan Asha, keluarga Gyandra sedang menikmati minggu yang cukup damai. Sarapan bersama menjadi hal rutin dan suatu keharusan bagi mereka. Namun, minggu yang damai itu tidak begitu mendamaikan bagi Ginatri. Sejak semalam, dia gelisah. Tidurnya tidak nyenyak dan otaknya terus menyusun kata-kata untuk membatalkan pertunangan pada ayahnya. Ruang makan terasa begitu sunyi dari biasanya. Ayu sibuk menyiapkan sarapan Rama.

"Gyandra mana, kak? Bukannya kemarin bilang mau pergi bareng? Kok gak ada? Kenapa kalian gak jadi ke pantai?" tanya Rama saat tidak melihat bungsunya di ruang makan.

"Gya mampir ke rumah temen, Pa. Kemarin ada sedikit kendala. Jadi kita balik. Daripada dilanjutin takutnya kenapa-kenapa. Gya gak ikut pulang karena bilang mau ketemu sama temennya," jelas Ginatri.

"Temennya cewek apa cowok?"

Ginatri melirik Rama dan tersenyum. "Cewek, Pa. Tenang aja. Gina gak mungkin ngebiarin Gya kalo yang nyamper cowo,haha." Guraunya.

"Lagian Gya kan udah besar, Pa. Masa harus di awasi terus sih," protes Ayu.

"Ya harus dong, Ma. Gya kan cewe masa iya pergi sama laki berduaan. Nginep pula, apa kata orang nanti."

"Halah, papa dulu juga suka nginep di rumah mamah. Apa bedanya."

"Ya bedalah,Ma. Dulu kan papa nginepnya di rumah orang tua mama, ada keluarga mama juga. Gak berduaan. Nah kalo ini kan papa gak tahu dia sama siapa aja," ujarnya dengan mengambil handphone dan menelpon Gyandra.

Ayu dan Ginatri hanya tersenyum melihat kelakuan Rama. Namun, berbeda dengan Ayu yang tersenyum geli, Ginatri justru lebih merasa iri pada perlakuan Rama pada Gyandra. Pasalnya, meskipun Ginatri pergi jauh, tidak perduli dia pergi dengan siapa dan dimana, Rama tidak pernah menghubunginya atau sekedar menanyakan kabar. Bahkan Ginatri sangsi jika Rama tidak akan mencarinya jika dia tidak pulang sekalipun. Miris.

Ginatri menunduk gelisah. Matanya berkali-kali melirik Rama dan makanannya tanpa selera. Hatinya berdebar. Bagaimana jika Rama tidak mengizinkannya? Apakah alasannya cukup untuk membuat Rama mengerti atau hanya akan menimbulkan keributan dalam keluarganya? Ginatri menghela napasnya berat. Hanya untuk bicara saja, kenapa begitu sulit,pikirnya.

Berbeda dengan Rama yang menikmati makanannya setelah memastikan keadaan Gyandra, Ayu yang duduk di seberang Ginatri menangkap gerak gerik Ginatri yang gelisah.

"Kenapa, kak? Ada yang mau kakak bicarakan sama kita?" Tanyanya.

Ginatri tersentak. Pertanyaan Ayu membuatnya kaget juga sekaligus menjadi kesempatan baginya untuk memulai percakapan. Namun, lagi-lagi dia bimbang. Dia menatap Rama dan Ayu bergantian. Menggeleng. "Gak ada apa-apa kok,Ma," balasnya dengan senyum tipis.

"Bener? Kalo memang ada yang mau dibicarakan, katakan saja. Atau kakak punya masalah?"

Rama yang mendengar percakapan mereka lantas menggeser piringnya dan melihat Ginatri yang kini menunduk.

"Kenapa, Gin? Kamu ada masalah?" tanya Rama.
Lagi-lagi Ginatri menggeleng. "Gak kok, pa. Mungkin Gina cuma sedikit cape aja."

Rama mengangguk. "Kerjaan kamu aman?"

"Aman, Pa."

"Baguslah. Kalo ada masalah, cerita sama papa. Jangan di pendam sendiri," ucapnya dan berdiri meninggalkan meja makan.

Ayu dan Ginatri menatap kepergian Rama. Lagi, Ginatri menghela napasnya. Dalam pikirannya, semua harus selesai hari ini, tapi dia bahkan tidak tahu apa yang harus di lakukan. Dalam kebingungannya, dia merasakan sentuhan tangan yang lembut. Ginatri mendongak. Dia melihat Ayu, ibu tirinya tersenyum dan menatapnya lembut. "Mama gak tahu apa yang kakak alami, tapi mamah harap semua bisa selesai. Kakak boleh cerita ke mamah kapanpun kakak mau," sarannya dengan mengelus tangan Ginatri lembut.

Ginatri tersenyum miris. Dia menatap wajah teduh itu dengan hati yang tak karuan. Bagaimana bisa dia akan menyakiti anaknya sementara ibunya bersikap lembut padanya. Lebih dari ayahnya sendiri. Ginatri hanya mengangguk untuk menjawab Ayu lantas berdiri dan pamit masuk ke kamarnya.

Dalam kamar, lagi dan lagi. Pikirannya melayang jauh. Dia berjalan mondar mandir hanya untuk memberitahu kepada ayahnya. Disaat seperti ini, rasanya lebih baik mengerjakan segudang kerjaan dibandingkan dengan berhadapan dengan Rama. "Ah, sial!" Makinya.
Tak tahan, dia mengambil jaket dan kunci mobil. Pergi tanpa tujuan yang jelas lebih baik dibandingkan berdiam diri di rumah.

Ginatri menepikan mobilnya di sebuah kafe. Memesan kopi dan merenung. Tatapan matanya menerawang jauh.

Brak!

Ginatri tersentak. Matanya membelalak kaget juga marah saat melihat Andre berada didepannya tanpa di undang. "Gue lagi pengen sendiri," ucapnya halus.

Andre mengangkat bahu. "Gue juga gak mood buat gangguin anak orang."

"Terus? Ngapain masih disini?"

"Suka-suka gue dong. Ini 'kan tempat umum," ucapnya enteng.

Ginatri mendesah malas. Dia membiarkan Andre duduk bersamanya asalkan tidak menganggu. Namun, bukan Andre namanya jika dia hanya diam dan berpangku tangan. Melihat Ginatri yang hanya mengaduk kopinya tanpa minat, jiwa brengseknya bisa menebak apa yang ada di otaknya.

"Lu masih mikirin soal Leo?"

"Bukan urusan lu!"

"Ya, dari jawaban lu, udah jelas kalo pikiran lu tuh soal Bian, Gya dan orang yang lu suka. Jangan bilang lu lagi mikirin hal licik buat ngejebak salah satu dari mereka," tebaknya.

Ginatri mendesis. Dia menatap Andre tajam. "Maksud lu apa?"

Andre tertawa. "Ayolah, Gin. Gue kenal lu gak sehari dua hari, dan pastinya gue tahu banget gimana lu. Kalo gak ngebatalin tunangan, gue sangsi kalo lu mau ngejebak orang buat jadi kambing hitam 'kan? Dan sialnya orang yang mau lu mainin sekarang itu salah," ucapnya.

"Gue pengen ngebatalin tunangan gue sama Bian. Lu punya saran gak gue harus gimana?" tanyanya.

"Gimana apanya maksud lu? Lu tinggal bilang ke keluarga kalo lu gak bisa lanjut sama Bian dan udah gak cocok. Kelar masalah. Beres!"

"Lu pikir ngebatalin cukup karena gak cocok aja? Gila lu!"

"Lah, ya emang begitu kan? Terus apa lagi? Lu mau bilang kalo selama ini lu sebenernya gak cinta sama Bian dan cuma mau mainin perasaan Gya dan bikin Leo cemburu sama Bian? Gak mungkin kan?"

Ginatri terdiam. Dia hanya menghela napasnya berat. Urusan ini, kenapa menjadi begitu rumit.

"Dengar, Gin! Liat gue!"

"Apa?"

"Buat gue, gak ada yang sulit. Lu tinggal jujur dan bilang kalo lu gak bisa lanjut. Bahkan kata gak suka aja bisa jadi alasan buat orang pacaran putus," ucapnya sok bijak.

Ginatri menatap malas. Dia hanya tersenyum tipis dan memutuskan untuk pulang. Entah alasan apapun yang akan dia berikan. Hari ini, semua harus selesai.

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang