Bian melihat laptopnya dengan tidak fokus. Wajah Gyandra yang begitu pucat dengan lingkaran hitam membuat pikirannya terganggu. Jangan salah, bukan dia mulai peduli atau perhatian. Namun, Bian tidak ingin menjadi orang yang disalahkan atas apa yang terjadi padanya. "Bilang saja kamu khawatir padanya," batinnya mengejek.
Bian menggeleng. "Ngapain juga aku peduli sama dia. Sakit pun aku tidak peduli," balasnya.
"Kamu peduli padanya."
"Tidak!"
Bian menutup telinga. Berharap suara sumbing dalam pikirannya berhenti. Dia membuka dokumen kasar. Mencoba untuk fokus pada hal yang seharusnya. Namun, ketukan pintu membuat fokusnya buyar. Dia menoleh dan mendapati Gyandra datang. Dia memberikan dokumen pada Bian. "Ini, dokumen yang harus di tandatangani dan mengenai pertemuan dengan pihak j-store, mereka setuju untuk memajukan harinya lusa," ucap Gyandra.
Bian mengangguk tanpa mengalihkan fokusnya dari dokumen yang di sedang baca. "Lalu bagaimana dengan pihak yayasan yang mengajukan data...." Bian mendongak dan tanpa sengaja membuat tatapan mereka bertemu. Dia membuang muka dan merutuki hatinya yang tiba-tiba sesak melihat keadaan Gyandra.
"Kenapa, pak?" tanya Gyandra saat Bian tidak kunjung meneruskan ucapannya.
"Lupakan!" balasnya dengan mengibaskan tangan menyuruh Gyandra untuk pergi. Gyandra menundukkan kepalanya singkat dan berbalik meninggalkan ruangan Bian untuk kembali mengerjakan tugasnya. Berkali-kali dia berhenti dan menghela napas. Tidak fokus saat kepalanya berdenyut nyeri.
Kehadiran Aida membuatnya benar-benar terganggu. Dia tidak bisa tidur juga melakukan aktivitas dengan benar. Setiap ada Gyandra, dia selalu berusaha untuk memancing emosi. Bahkan caranya melihat dan berjalan pun tidak luput dari komentar pedas Aida. Gyandra mengambil air dan meminumnya sekali tandas.
Ketukan di pintu mengalihkan fokus Gyandra. Dia melihat Anisa menyembulkan kepala dari balik pintu . "Mbak, mau ke kantin bareng?" Ajaknya.
Gyandra menggeleng. "Duluan aja, Nis. Masih ada yang harus aku kerjain." tolaknya halus.
Anisa masuk dan mendekati Gyandra. "Mbak Gya sakit?"
"Gak apa-apa, kok."
Anisa menyentuh kening Gyandra. "Gak apa-apa gimana? Badan mbak panas, wajahnya juga pucet."
Gyandra tersenyum. "Aku beneran gak apa-apa. Istirahat sebentar juga pasti mendingan," balasnya.
"Makan dulu atuh ke kantin, terus minum obat. Atau mau aku bawain aja makanannya kesini sama obatnya juga?" tawarnya.
Gyandra menggeleng. "Aku bawa itu." Dia menunjuk sandwich yang ada di meja pada Anisa.
"Itu doang mah gak bakal kenyang. Ya udah aku ke kantin dulu mbak. Nanti aku bawain sesuatu buat mbak," balas Anisa memaksa.
Gyandra hanya tersenyum melepas kepergian Anisa. Dia memalingkan wajah. Menatap jam yang berada di dinding. Jam istirahat masih panjang. Mungkin dia bisa menggunakan itu untuk tidur.
Gyandra duduk dan bersandar pada kursi. Dia memejamkan mata dan mulai berkelana dalam mimpi.
"Kenapa kerja kalo lagi sakit?"
Samar, Gyandra mendengar juga melihat Bian dalam mimpinya. Tatapan Bian yang seolah khawatir membuat hatinya sesak. Ingin rasanya menyahut meski hanya dalam mimpi, tapi apa daya. Mimpi tetaplah mimpi, Gyandra tidak bisa membuatnya berjalan seperti apa yang di inginkannya.
"Mbak, Mbak Gya!"
Gyandra tersentak. Dia bangun dari tidurnya dengan linglung. Bisa dibayangkan bagaimana pusingnya saat baru mulai masuk mimpi dan dipaksa untuk bangun, rasanya begitu luar biasa hingga Gyandra ingin memaki. Namun, saat melihat siapa yang membangunkannya dan kesadarannya sadar, Gyandra urung. Bahkan berganti menjadi rasa syukur saat Anisa melihatnya khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
Fiksi UmumKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?