Suara tangis itu menyayat hati. Siapapun pasti akan merasa iba saat mendengarnya. Bian mendesah. Dia bangkit tempat tidur dan mencari sumber suara. Siapa yang menangis begitu pilu di tengah malam. Namun, nihil. Dia tidak menemukan seorang pun baik diluar maupun di dalam rumahnya. Dia kembali ke kamar. Dan disana dia melihatnya.
Wanita yang dia rindukan menatapnya dengan terluka. Bian mendekat. Mencoba untuk meraihnya, melampiaskan semua rindu di hatinya, tapi semakin dia, mendekat semakin menjauh. "Ma, mama ngapain disana? Ayo kesini. Disana bahaya, Ma." Bian mengulurkan tangannya. Mencoba meraihnya agar tidak terjatuh. Namun, dia semakin mundur. Panik. Bian berlari dan mencegahnya, tapi kakinya benar-benar lamban hingga membuatnya terlambat. Disana, dia melihat ibunya terjatuh dengan wajah yang tersiksa. "Mama!"
Bian terbangun dari mimpinya dengan tubuh yang basah kuyup juga napas yang memburu. Menghela napas pelan. Mencoba menenangkan diri dari mimpi yang mengganggunya. "Mama. Lagi-lagi mimpi buruk," lirihnya.
Bian bersandar pada dasbor kamarnya. Entah sejak kapan dia begitu sulit untuk tidur nyenyak. Dia melihat jam. Pukul tiga dini hari. Percuma jika dia kembali memejamkan mata . Mungkin lebih baik jika menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tertunda. Namun, sampai dia berangkat ke kantornya pun, mimpi itu terus menghantuinya. Seperti bayangan yang mengikutinya kemana pun dan dimana pun.
"Pak?"
Bian terperanjat saat seseorang memanggilnya. "Ah... Maaf, kenapa?""Ini laporan yang bapak minta," ucapnya dengan menyodorkan dokumen pada Bian.
"Taruh saja dimeja."
"Baik, pak. Saya permisi," pamitnya.
Bian menyandarkan kepala dan memijitnya pelan. Pening melandanya. Segelas kopi mungkin bisa membuat perasaannya lebih ringan. Bian bangkit dari duduknya dan pergi ke kafe. Berharap suasana hatinya membaik meskipun sedikit.
"Kakak?"
Bian menoleh saat seseorang menepuk tangannya pelan dan memanggilnya. Seorang gadis dengan seragam sekolahnya tersenyum dengan manis. Bian mendesah malas. Dia berbalik dan pergi meninggalkan kafe. Namun, gadis itu mengekorinya."Kakak,tunggu!" ucapnya sambil menyamakan langkah dengan Bian, tapi jangankan berhenti, Bian malah semakin mempercepat langkahnya.
"Kak,tunggu sebentar," ucapnya seraya menahan tangan Bian. Bian menepisnya hingga membuat gadis itu terhuyung dan menjadikan mereka pusat perhatian di sekitarnya. Bian menatap gadis itu singkat dan berbalik. Namun, rupanya sang gadis tidak ingin menyerah. Dia lari dan berhenti di depan Bian. Merentangkan tangan dan menghalangi langkahnya hingga membuatnya geram.
"Minggir!" titahnya dingin.
Gadis itu menggeleng. "Gak mau. Aku kangen sama kakak. Sehari. Tolong sehari saja luangin waktu kakak buat aku," pintanya dengan wajah memelas.
Bian melihat sekitar dengan wajah geram yang tertahan. Jika saja bukan tempat umum, mungkin dia sudah mendorong Hana, gadis yang ada dihadapannya agar tidak menghalangi jalan. "Demi Tuhan Hana. Aku bilang minggir. Jangan membuatku bertindak diluar batas!" Bian menekankan ucapannya. Berharap Hana segera sadar dan menyingkir.Keras kepala. Hana malah mendekat dan memeluk Bian erat. "Hana kangen kakak. Mama sakit, mama juga sedih waktu gak bisa dateng saat kakak tunangan, mama...."
Masa bodoh! Bian tidak perlu lagi mementingkan sekitar. Dia melepas Hana paksa dan mendorongnya kasar hingga dia tersungkur. Tanpa dosa, dia meninggalkan Hana yang terkejut dengan sikapnya.
Bian membuka pintu mobilnya kasar. Tidak ada keinginan sedikitpun baginya untuk bertemu dengan Hana apalagi dengan ibunya. Bukankah hal bagus jika ibunya sakit? Mati sekalipun Bian tidak akan peduli. Malah akan bagus karena dia tidak perlu melihat orang-orang yang membuat ibunya menderita. "Parasit sialan!" Makinya.
Hana tersadar saat mobil Bian melewatinya. Kenapa begitu sulit baginya untuk bisa akrab dengan Bian. Hana tidak tahu salah apa yang dia lakukan hingga Bian begitu membencinya. Hana menunduk dan berjalan pelan. Menghindari tatapan iba dari orang-orang melihat pertengkaran mereka. Mata Hana memanas, dadanya juga sesak. Namun tidak berani menangis. Bukan karena malu, tapi takut jika ibunya tahu dan khawatir. Apalagi jika itu menyangkut Bian, yang ada dia yang akan disalahkan meskipun tidak salah sekalipun.
Awan mendung menutupi sore di kota Cirebon. Bian mendesah berat. Hari ini benar-benar suram. Selalu saja seperti ini. Jika sudah menyangkut ibunya, jangankan pekerjaan, semua hal sepele yang dilakukan selalu salah. Dia meraih handphonenya. Mungkin saja Ginatri bisa membuat moodnya membaik. Namun, lagi-lagi Bian harus menelan kekecewaan saat tunangannya menolak untuk bertemu. "Aku sibuk, Bi. Nanti saja ketemu. Banyak kerjaan yang harus di selesaikan," ucapnya dan langsung mematikan telpon tanpa memberi kesempatan pada Bian untuk merayu. Salahnya juga memiliki tunangan wanita karier. Bukan hanya harus bersaing dengan pria di sekitarnya, tapi juga harus bersaing dengan pekerjaannya yang menumpuk.
Hujan mulai turun meskipun tidak lebat. Bian meletakkan handphone nya dan duduk di kursi. Entah karena hujan atau memang tubuhnya yang butuh istirahat. Bian tertidur tanpa sadar jika Gyandra datang.
Jika saja bukan karena Ginatri yang sibuk, mungkin Rama tidak akan meminta Gyandra untuk memberikan dokumen yang tidak Gyandra ketahui entah tentang apa. "Aku hanya perlu datang, memberikan ini dan pergi," pikirnya, tapi saat melihat Bian yang terlelap, kata itu kembali terngiang di pikirannya. Sakit memang. Namun dia selalu memiliki cara untuk memaafkan Bian.
Gyandra menatap Bian lekat dan berkata lirih. "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan padaku, Bi. Katakan apa yang ingin kamu katakan. Selama itu membuat mu lega, selama itu membuat mu nyaman, lakukan saja. Jangan pernah memendamnya sendiri apalagi menangis sendirian."
Bian bergerak pelan dan Gyandra lekas mundur. Enggan untuk menggangu. Meski keadaan itu amat sangat dia rindukan. Baginya, menghindar dari Bian adalah hal terbaik. Meskipun rasa bersalah terus menghantuinya. Untuk terakhir kali, Gyandra menatap Bian sebelum dia berbalik dan meninggalkan ruangan. "Sudah cukup," batinnya mengingatkan.
Bian terbangun hampir jam sembilan malam. Dia melihat sekitar yang gelap gulita. "Para staf juga karyawan yang lain mungkin sudah pulang," pikirnya. Dia mengambil jas dan mantelnya. Berbalik, tapi berhenti saat melihat dokumen yang tergeletak di meja tak jauh darinya. Senyum mengembang di bibirnya saat menduga Ginatri menemuinya.
"Dasar usil. Bukannya bangunin malah pergi lagi," ucapnya dengan senyum kecil.
Bian menuju parkiran dan ingin segera sampai rumah. Mandi, makan dan tidur. Hanya itu keinginannya saat ini. Semoga tidak ada drama juga mimpi buruk yang akan menghantuinya lagi. Bian melajukan mobilnya perlahan. Melihat sekitar dan mencari jajanan atau makanan berat yang mungkin bisa mengganjal perutnya. Pikirannya melayang pada Ginatri. Ah, mungkin dia akan menelponnya setelah sampai dirumah.
Namun, semesta rupanya masih ingin mempermainkan Bian. Saat sampai dirumah dan memarkirkan mobil, Bian melihat sosok yang amat sangat dia benci. Akar dari permasalahan keluarganya. Wanita yang telah membuat ibunya menderita.
Selamat hari minggu. Selalu sehat dan jangan lupa minum vitamin 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
General FictionKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?