19. waras

1.4K 143 20
                                    

Saat kita tidak memiliki siapapun dan merasa sendirian, maka kebaikan sekecil apapun menjadi sangat berharga bagi kita. Setelah menahan diri dengan tubuh menggigil, panas dan pusing, Gyandra amat sangat senang saat Juna mengatakan akan menjemputnya. Meskipun sekarang dia harus pulang telat. Ah, memang kapan dia pernah pulang tepat waktu? Semenjak bekerja bersama Bian hampir sebagian harinya bersama Bian. Bahkan dia kerap harus bisa pergi kapanpun Bian menelponnya.

Juna sudah mengirim chat jika dia sudah berada di depan kantor. Namun, saat Gyandra sampai di Lobi, dia melihat Bian sedang berbincang dengan Juna. Entah apa yang mereka katakan. Gyandra tidak tahu, dia hanya bisa berharap jika Bian tidak membuat ulah dengan mengacaukan harinya.

"Juna, maaf udah bikin kamu nunggu lama," ujar Gyandra dengan menghampiri Juna.

"Santai aja. Beruntung ada calon kakak ipar kamu, jadi aku gak bosen nunggu kamu," jawabnya dengan menekankan kata kakak ipar pada Bian.

Gyandra menatap Bian juga Juna bergantian. Jujur saja, meskipun Juna terkesan santai, berbeda dengan Bian. Dia sedikit... Marah mungkin. Karena Gyandra bisa melihat wajah Bian yang mengeras. Gyandra menelan ludah. "Ayo, pulang," ajaknya pada Juna sebelum Bian mengacau.

Gyandra mengulurkan tangan pada Juna, tapi Bian menahannya sebelum Juna menyambut uluran tangannya. "Bukannya kamu sakit? Ayo ke dokter. Biar aku yang anterin kamu pulang," ucapnya dengan memalingkan wajah pada Gyandra.

Juna mengatupkan rahang. Gemas melihat Bian yang selalu menghalanginya. "Maaf. Soal itu anda tidak perlu khawatir karena dokter pribadi Gya sudah ada di depan mata," ujarnya dengan menyingkirkan tangan Bian dan membawa Gyandra ke sisinya.

Bian tersenyum simpul. "Maksudmu, kamu mau memberinya obat Dextro?" Sindirnya.

Juna tersenyum lebar menanggapi ucapan Bian. Dia mengangkat bahu dan menatap santai. "Entah Dextro atau apapun, setidaknya aku lebih meyakinkan daripada anda."

Bian berdecak. "Masuk ke mobilku," titahnya pada Gyandra.

Gyandra mendesah malas. "Maaf, Pak, tapi aku akan pulang bersama Juna," ujarnya dengan menarik Juna pergi, tapi dering di teleponnya menahan Gyandra. Dan detik berikutnya, dia harus minta maaf pada Juna dan masuk ke mobil Bian. Meskipun kesal, Juna masih bisa tersenyum mengantar Gyandra ke mobil Bian. Namun, saat Bian hendak masuk, Juna menahannya dan menatap tajam. "Jangan harap kamu bisa mainin dia lagi, karena jika itu terjadi, aku gak akan ngelepasin kamu," ancamnya pada Bian dan berbalik menuju tempat dimana mobilnya berada.

Bian menatap kepergian Juna dengan senyum remeh. Dia masuk dan duduk di bangku kemudi. Namun, tidak juga menyalakan mobilnya. Gyandra yang sedang menutup mata sontak membuka matanya saat merasa ada yang aneh. "Kenapa?" tanyanya.

Bian menoleh ke belakang dan melihat Gyandra tajam. "Kamu pikir aku supir? Kenapa duduk di belakang? Pindah ke depan!" titahnya.

Gyandra mendesah. "Kenapa Bapak gak biarin aku sama Juna aja?" tanyanya mengabaikan titah Bian.

Bian mengangkat bahu. "Jangan salah paham, aku gak akan nglakuin itu kalo gak di suruh sama papa kamu, bukannya itu alesan papa kamu menelpon?" ujarnya.

"Kalo memang alasannya karena papa, bapak tidak perlu khawatir karena aku yang akan bilang sama papa kalo aku gak mau pergi sama bapak!" Ketusnya dan keluar dari mobil Bian. Namun, Bian juga keluar dari mobil. Dia membuka pintu mobil depan dan mendorong Gyandra paksa. "Kalo emang kamu ingin menolak, kenapa tidak lakukan saat papa kamu menelpon?" Ketusnya dan mengunci pintu.

Gyandra berusaha membuka pintu mobil, tapi sulit karena hanya Bian yang bisa membukanya. "Tolong buka kuncinya, Pak!"

"Gak! Aku gak akan bukain pintu itu!"

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang