Semburat jingga menyapa. Namun mereka masih bertahan didalam kafe dan enggan untuk beranjak. Semakin sore, suasana kafe makin ramai dengan kedatangan muda-mudi yang ingin menghabiskan malam minggu di luar. Semenjak kedatangan kakaknya, Gyandra lebih banyak diam, dan membiarkan Juna untuk mengobrol dengan Ginatri. Sedangkan dia dan Bian hanya sesekali menanggapi atau hanya diam sebagai pendengar.
Getaran di telpon membuat fokus mereka teralihkan. Merasa tidak enak, Gyandra meminta maaf dan meminta izin membaca satu e-mail yang masuk. Desahan berat keluar dari bibirnya setelah dia tahu jika usahanya kembali gagal.
"Kenapa?"tanya Juna.
Gyandra menoleh dan menyerahkan telponnya pada Juna. Juna tertawa usai membaca e-mail tersebut dan membuat Gyandra spontan mengambil sendok yang sontak membuat Juna langsung melindungi kepalanya dengan tangan.
"Bar-bar, kamu. Untung sayang," ucapnya pada Gyandra yang sukses membuat Gyandra merasa jijik.
"Kenapa?" tanya Ginatri penasaran.
Gyandra mendesah sedih."Aku gagal, Kak," lirihnya sedih."Itu hasil interview kemarin?"tanya Ginatri lagi yang dijawab dengan anggukan dari Gyandra. "Gak apa-apa, yang penting Gya udah usaha," hiburnya pada Gyandra.
"Oh iya, Kapan kamu mau dateng ke rumah? Papa pasti seneng kalo calon mantunya mampir." Ginatri bertanya pada Juna untuk mengalihkan kesedihan Gyandra.
"Apaan sih, Kak? Gak lucu!" Gyandra menegur Ginatri dimana itu sukses membuat Ginatri senang karena berhasil menggodanya. Namun, lain dengan Bian. Satu meja bersama Gyandra saja sudah membuatnya merasa malas ditambah keadaan kedua orang yang saling menggoda Gyandra, hingga membuatnya semakin bertambah malas.
"Sabar, Kak. Lampunya masih kuning. Jadi belum berani ngapel," balas Juna dengan melirik Gyandra dari sudut matanya.
Bian mengepalkan tangannya kuat, entah karena keakraban Ginatri dengan Juna hingga membuatnya cemburu atau harus bersama Gyandra sepanjang sore, Bian merasa benar-benar jengah dan ingin segera pergi. Dia melirik Ginatri singkat , memberikan kode lewat lirikan matanya. Namun, sayangnya Ginatri tidak mengerti hingga membuat Bian menyerah. "Emang susah kalo punya tunangan yang gak peka," batinnya.
Keheningan menyerang mereka. Namun tidak bertahan lama saat Juna kembali menawarkan pekerjaan pada Gyandra.
"Jadi gimana? Kalo mau ikut aku, langsung aja bawa surat lamaran biar nanti langsung kerja. Soal bayaran urusan gampang," tawar Juna.
Bian terdiam. Dia menatap Gyandra singkat. Menanti jawabannya dari pertanyaan Juna. Saat Gyandra akan menjawab, dia memotong dengan cepat.
"Gak perlu. Gyandra udah jadi asisten aku. Besok dia mulai kerja."
Tidak hanya Gyandra dan Juna yang terkejut dengan pernyataan Bian. Begitu juga dengan Ginatri. Dia menatap Bian juga Gyandra bergantian. Yang dia tahu, Gyandra tidak menjawab apapun saat dia menawarkan pekerjaan itu padanya. Lantas, kapan Gyandra menyetujuinya? Apakah Dia dan Bian saling berkomunikasi? "Gak mungkin deh," batinnya.Tidak ingin larut dalam hal yang bisa membuatnya salah paham, lebih baik jika dia bertanya lagsung pada Gyandra. "Kamu mau jadi asisten Bian?"
Gyandra spontan menggeleng kuat."Gak, Kak."
Gyandra menatap Bian, tapi buru-buru menunduk karena tidak berani melihat terlalu lama. Dia bahkan tidak mengerti dengan jalan pikiran Bian. Gyandra bersumpah. Semenjak hari itu, tidak ada lagi komunikasi antara dia dan Bian, lantas untuk apa hari ini Bian berbohong dan sesumbar jika dia menjadi asistennya. "Apa yang kamu rencanakan, Bi? Apa belum puas menyakiti aku?" keluhnya."Memang lebih baik kamu kerja sama Bian, sih. 'Kan enak biar kakak juga bisa ngawasin kamu lewat Bian," ucap Ginatri enteng.
Juna langsung menatap Ginatri dengan horor. Jika saja Ginatri tahu hubungan Gyandra dan Bian, Juna yakin Ginatri tidak akan menawarkan posisi yang bisa membahayakan dirinya dengan mudah. Namun, Juna memilih diam. Lagi pula, itu bukan urusannya.
"Gak kak. Aku mau cari pengalaman di tempat lain dulu, makasih buat tawarannya," ucap Gyandra final dan membuat semua orang terdiam.
Gyandra melihat jam dipergelangan tangan dan meminta Juna untuk mengantarnya pulang. Namun, lagi-lagi Bian berulah dengan memintanya untuk pulang bersama.
"Pulang bareng aja biar sekalian," ucap Bian tanpa melihat pada Gyandra.
"Iya, Gy. Pulang bareng kita aja," imbuh Ginatri.
Gyandra melirik Juna. Berharap agar dia bisa membebaskannya dari keadaan yang tidak membuatnya nyaman, dan untuk pertama kali dia merasa beruntung memiliki teman yang sepeka Juna.
"Maaf. Karena aku yang ngajak Gya, aku juga yang harus nganter dia pulang. Aku janji bakal nganter dia dengan selamat sampe rumah, tapi kayanya pulang telat. Mau aku ajak main. Boleh 'kan?" Juna menatap Ginatri dan meminta izin padanya.
"Ya udah gak apa-apa."
Juna tersenyum. "Makasih. Kami duluan." Juna segera menarik Gyandra setelah mendapat izin dari Ginatri. Membuat Gyandra lega bisa menjauh dari Bian.
Bian melihat kepergian mereka dengan kemarahan yang tertahan. Penolakan Gyandra benar-benar membuatnya terhina.Gyandra menunduk pasrah dan hanya diam mengikuti langkah Juna. Dia bahkan tidak sadar jika sudah sampai di parkiran dengan Juna yang memasangkan helm padanya.
"Udah sadar?" tanya Juna saat Gyandra mendongakkan wajah.
"Emang dari tadi aku pingsan?" balasnya sebal.
"Kamu emang gak pingsan, tapi pikiran kamu masih ke mantan sampe ditanya kaya orang tuli!"
"Kapan? Emang nanya apa?" Gyandra menatap Juna tanpa dosa hingga membuat Juna gemas. Dia memukul helm yang Gyandra pakai hingga membuat Gyandra mengadu dan memandangnya skeptis.
"Ayo naik," titahnya pada Gyandra.
Sapuan angin pada wajahnya membuat Gyandra memejamkan mata. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada Bian. Hanya sedikit yang Bian lakukan, tapi efeknya begitu hebat pada Gyandra. Sepanjang jalan, Gyandra hanya diam tanpa kata membiarkan Juna membawanya pergi entah kemana. Namun, Gyandra mendadak panik saat Juna membawanya menuju komplek perumahan dimana Juna tinggal.
"Kok kesini sih, mau ngapain?"
"Mau ngenalin kamu ke orang tuaku." balas Juna enteng.
"Hey, aku gak mau bercanda yah, cepet anterin aku pulang!"
"Ngapain? Mau liat dua sejoli memadu kasih? Baper, nangis?"
"Gak lah! Lagian belum tentu juga 'kan kalo mereka langsung pulang. Bisa aja mereka main dulu."
"Terus kalo mereka udah pulang gimana? Mau gabung?"
"Ya gak lah! Ngapain juga nemenin orang pacaran!"
"Ya makanya. Dari pada diem dirumah mending ikut aku."
Gyandra diam. Enggan berdebat dengan Juna. Motor Juna terus melaju dan melewati gang rumah Juna.
"Bukannya rumah kamu ke arah sana yah?"
"Emang."
"Terus, kenapa lurus? Bukannya tadi mau bilang ke rumah?"
"Mau ke rumah aku?"
"Enggak!"
"Ya udah."
Gyandra kembali dibuat heran dengan jawaban Juna. Selalu seperti itu. Pikiran Juna benar-benar tidak bisa ditebak. Motor Juna keluar dari komplek perumahan dan berhenti di sisi taman.
"Ngapain kita kesini?"
Juna menghela napasnya malas."Mau nemenin anak galau yang pura-pura kuat. Buruan turun!"
Jika berhadapan dengan Bian membuat Gyandra kacau, berhadapan dengan Juna membuat hatinya lelah karen terus di buat jengkel. Gyandra turun dan memberikan helm pada Juna. Berjalan perlahan dan duduk di bangku taman yang dekat dengan lampu. Menunggu Juna yang entah kemana dan sedang melakukan apa.
"Ini."
Gyandra mendongak saat Juna menyodorkan tisu padanya. "Buat apa?" tanyanya.
"Buat usap ingus kamu kalo kamu nangis."
Coba list siapa aja yang punya temen kaya Juna. Bisa diandelin, juga bisa bikin naik darah disaat yang bersamaan. Hihihi
Btw, selamat sore. Jangan lupa jaga kesehatan. 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
General FictionKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?