Awan mendung mulai menutupi sebagian tempat. Beberapa bahkan sudah mulai turun rintik hujan. Gyandra membawa kantung buah dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya menutupi sebagian kepala guna menghindari rintik hujan. Dengan hati-hati dia mengetuk pintu. "Assalamualaikum," ucapnya pelan.
"Waalaikumsalam, sebentar." Terdengar balasan dari dalam rumah dan langkah kaki yang mendekat perlahan. Saat pintu dibuka, wanita itu tersenyum melihat kedatangan Gyandra. "Nak Gya, sini masuk," ajaknya sembari membawa Gyandra ke dalam rumah. "Apa kabar? Udah lama gak kesini. Sibuk apa sekarang?" tanyanya lagi pada Gyandra.
Gyandra tersenyum. "Gya nganggur tante. Ini baru nganterin kak Gina. Makanya sekalian mampir," ujar Gyandra.
Wanita itu terdiam. "Bian... Bagaimana kabarnya?" tanyanya lirih.
Gyandra menoleh dan tersenyum. "Bian baik-baik saja kok. Tante gak perlu khawatir," ujarnya menenangkan wanita itu.
"Syukurlah. Maaf, gara-gara tante kamu harus seperti ini. Kamu...."
"Udah, tan. Kita gak bisa merubah apa yang udah terjadi. Soal Bian sama Gya, biarin itu jadi urusan Gya. Tante gak usah cemas," potong Gyandra.
Ada lega juga rasa bersalah saat Gyandra menenangkannya. Entah apa yang terjadi jika saat itu dia tidak mendekati Gyandra dan menceritakan semua perihal masalahnya pasti saat ini Gyandra masih bersama Bian. Namun, harapan tinggal harapan. Dia keliru.
Bian malah membenci Gyandra dan menyalahkannya. Harapannya kembali pupus saat Bian semakin menjauh darinya.
"Udah, Ma. Bener apa kata kak Gya. Mama gak perlu mikirin apa-apa." Imbuh Hana yang datang dengan membawa minuman dan camilan untuk Gyandra.
Gyandra tersenyum melihat Hana. "Apa kabar, Hana? Sekolahmu lancar?" tanya Gyandra
"Lancar, Kak. Cuman pusing aja. Lagi banyak ulangan dadakan," keluhnya.
"Gak apa-apa. Namanya juga belajar. Semangat yah," ujar Gyandra memberikan semangat pada Hana. Hana mengangguk dan tersenyum.
"Ma, mama 'kan lagi sakit, kenapa gak istirahat aja? Biar Hana yang temenin kak Gya," ucapnya pada Maya, ibunya.
Gyandra mengangguk. "Iya tante, tante istirahat aja. Lagian Gya gak lama juga kok disini."
"Jangan begitu. Makan malam dulu disini, baru pulang. Sebentar. Tante masak dulu."
"Gak usah, Tan. Biar nanti Gya makan dirumah aja. Mamah pasti udah nungguin Gya."
Maya mengalah. Dia meninggalkan Gyandra dengan Hana. Sepeninggal Maya, Hana membenarkan duduknya dan melihat ke dalam. Memastikan jika ibunya benar-benar tidak mendengar. Lalu dia mendekati Gyandra dan berbisik. "Kak, kemarin aku ketemu sama kak Bian."
Gyandra terkesiap mendengar ucapan Hana. Dia melihat Hana dengan tak terbaca. "Dia... Gak nyakitin kamu 'kan?"
Hana menggeleng. "Gak kak. Cuma...."
"Kenapa?"
Lagi-lagi Hana melirik ke ruang tengah, dimana ibunya berada. Ada keraguan dalam diri Hana untuk bercerita. Namun, dia tahu bahwa dia terlanjur melibatkan Gyandra dalam urusan keluarganya. Tidak ada gunanya lagi jika dia menyembunyikan hal itu darinya. "Hana dikasih tau sama mba sari, Mama juga pergi ke rumah kak Bian. Lalu pulang-pulang mama jadi lebih pendiam dari biasanya."
Gyandra mendesah. Urusan ini lebih rumit dari yang dia kira. Gyandra meremas tangan Hana dan tersenyum padanya. "Gak apa-apa. Biar nanti kakak coba ngomong sama tante. Jangan dipikirkan," ucapnya menenangkan Hana.
Hana mengangguk. Lega juga merasa bersyukur karena bisa mengatakan semuanya pada Gyandra. Setidaknya dia sekarang tidak sendiri. Keluarganya memang utuh, tapi penuh dengan masalah. Ayah yang sibuk dengan urusan kantor, juga ibu yang hanya peduli pada anak yang tidak pernah memaafkannya membuat Hana frustasi. Seolah kehadirannya tidak memiliki arti. Namun, kehadiran Gyandra membuatnya sedikit bernafas lega. Setidaknya ada yang peduli padanya.
Sore mulai menyapa dan Gyandra harus pulang. Dia masuk dan pamit pada Maya. Namun, Maya menahannya dan menatapnya sendu. "Nak, apa... Apakah Bian akan menerima tante?"
Gyandra mendesah. Pertanyaan sama yang selalu Maya lontarkan. Namun tidak pernah bisa Gyandra jawab. Jujur saja, pertanyaan itu pun menjadi misteri bagi Gyandra. Sama seperti Maya yang mengharapkan penerimaan Bian. Maka, Gyandra berharap akan maaf Bian. Dengan pelan Gyandra memegang tangan Maya dan tersenyum. "Tante, dalam hidup, kadang kita harus bisa menerima penolakan dan menolak penerimaan. Kalo memang Bian masih menolak kehadiran tante, bisa jadi besok atau lusa Bian akan menerima tante. Tante berdoa saja, semoga Bian bisa menerima tante secepatnya," ujarnya dengan hati-hati.
Maya menangis mendengar ucapan Gyandra. Dia benar. Mungkin Maya harus ikhlas. Entah apa lagi yang harus dilakukannya agar Bian mau menerima dan keluarganya menjadi utuh kembali. Namun satu hal yang pasti. Dia tidak akan menyerah soal Bian.
Gyandra bisa merasakan luka yang Maya rasakan. Namun, dia juga tidak bisa melakukan apapun. Ucapan yang dia berikan pada Maya pun sebenarnya bukan semata-mata untuk menenangkannya, tapi juga untuk menenangkan dirinya sendiri. Jika dia pun harus mulai terbiasa akan penolakan yang dilakukan oleh orang lain. Gyandra memeluk Maya yang tergugu. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain memeluk dan membiarkan Maya mengeluarkan semuanya.
Gyandra baru bisa pulang saat menjelang magrib. Jalanan yang basah juga udara yang sejuk membuat hatinya tenang. Angkutan umum sudah mulai jarang bahkan tidak ada jika sudah menjelang malam. Terbesit keinginan untuk menelpon Juna. Namun, ia urungkan. Sudah lama dirinya tidak jalan-jalan malam dan menikmati waktu sendiri. "Duduk dulu lah di taman," batinnya.
"Gya?"
Gyandra menoleh saat ada yang memanggilnya. Matanya menelisik dari atas ke bawah. Menebak-nebak siapa gerangan pria yang berada di depannya.
"Jangan bilang kamu lupa sama aku?"
Gyandra menggeleng. "Kamu...."
"Leo," potongnya dengan senyuman yang begitu memikat hati. Namun berubah menjadi menyebalkan bagi Gyandra.
"Ngapain kamu disini? Bian mana?" tanyanya Leo.
"Ke laut!" jawabnya ketus.
"Ke laut? Ngapain?"
"Gak tau! Ngapain disini? Sana pergi!"
"Nyesel aku nyapa kamu. Judesnya gak ilang. Heran deh kenapa Bian masih bertahan sama kamu. Kapan kalian bakal putus sih?" Candanya pada Gyandra yang sialnya begitu menusuk di hati.
"Kamu gak tahu kalo Bian udah punya tunangan?"
"Wah? Kalian tunangan? Kapan?"
Gyandra menatap Leo penuh selidik. Mencari jejak kebohongan yang mungkin sedang dilakukannya. Bisa saja dia hanya meledek Gyandra dan berpura-pura, tapi... Nihil. "Kamu gak tahu?"
"Gak. Emang kapan? Sama siapa? Jangan bilang kamu ditinggal pas lagi sayang- sayangnya? Haha."
"Rese, kamu!" Gyandra bangkit dan meninggalkan Leo yang masih menertawakannya.
"Sabar woi, sabar." Leo mengejar Gyandra dan mensejajarkan langkah. "Maaf deh kalo aku nyebelin, tapi serius deh. Aku gak tahu kabar Bian. Gimana kabar dia sekarang?" ucapnya sungguh-sungguh.
Gyandra menepis tangan Leo darinya dan menatap Leo sarkastis. "Bodo amat! Cari tau sendiri aja sana!" ucapnya dan berlalu.
Leo terdiam sepeninggal Gyandra. Setahu Leo, Bian bukan orang yang mudah berpaling. Apalagi dia tahu bagaimana cara Bian mendapatkan Gyandra. Namun masa bodoh. Dia bisa menanyakan itu padanya nanti. Leo baru saja akan pergi, tapi kemudian orang-orang bergerombol dan berlari menuju arah dimana Gyandra pergi. Penasaran, dia bertanya. "Kenapa, Pak?"
"Itu Mas. Ada yang kecelakaan."
Selamat pagi, maaf semalem lupa up. Padahal udah diniatin, tapi aku lupa. Hehe
Selamat hari Minggu, selamat liburan. Ttep jaga kesehatan buat semua y. Dan lekas sembuh untuk yang sedang sakit. 🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
Fiksi UmumKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?