Lupakan semua masalah. Hari minggu adalah hari yang tepat untuk merefresh otak. Mumpung sudah berada di luar kota, jalan-jalan sekalian cuci mata sebentar tidak masalah. Namun, justru yang jadi masalah adalah kedatangannya itu sendiri. Karena tidak direncanakan, Gyandra tidak membawa apapun meskipun hanya sebuah baju.
"Gimana dong, Sha. Aku gak bawa baju ganti," keluhnya.
"Pake baju aku aja. Mau gak?"
"Iyaa kalo muat. Kalo gak? Gimana dong?"
"Lu tuh segala dibikin ribet ya, Gy. Tinggal coba aja dulu. Kalo muat pake kalo enggak ya ganti, tuh baju gue di lemari banyak," kesalnya.
Gyandra memanyunkan bibirnya. Bukan gak mau, tapi rasa segan menghampirinya. Dia mamang tidak memiliki banyak teman yang bisa diajak berbagi dengannya. Karenanya, perlakuan Asha yang hangat adalah hal yang baru bagi Gyandra. Dan dia merasa tidak enak.
"Nih, pake ini muat gak?" Asha menyodorkan baju pada Gyandra. Namun bukannya mengambil pemberian Asha, Gyandra malah melihat sekilas. "Itu kegedean, Sha."
Asha membolak balikkan baju yang ada ditangannya dan sesekali melihat Gyandra. Menimbang. "Coba dulu baru kita tahu ini muat apa kegedean di kamu," ucapnya.
Gyandra mendesah. Dia mengambil baju yang di sodorkan Asha dengan enggan dan memakainya sekilas. "Tuh kan gede! Apa aku bilang? Ngotot sih!"
Asha mendesah. "Bukan bajunya yang gede, lu nya aja yang kecil jadi keliatan gede! Udah pake itu aja!" titahnya.
Gyandra manyun. Namun, dia tidak banyak protes pada Asha. Tidak juga berterimakasih. Dia mematut diri di cermin. Tunik pendek dengan lengan yang sedikit panjang. "Tidak buruk,"pikirnya.
"Ayo cari sarapan," ajak Asha.
"Cari dimana?"
"Tukang material."
"Eh, kok material sih. Mana ada makanan."
"Lagian udah tahu mau cari makanan. Masih tanya dimana," ucap Asha cuek.
Gyandra mendengus. Lama-lama ini anak udah kaya Juna. Sebelas dua belas.
"Ayo!" Asha berbalik keluar kamar untuk mencari makanan, tapi sebelum sampai di luar, Gyandra menahan tangannya yang akan memutar kanopi. "Bentar! Kamu mau pake baju ini keluar?"
Asha menunduk. Melihat baju apa yang dia pakai hingga Gyandra menahannya dan tidak ada kejanggalan apapun yang dirasa saat melihatnya berkali-kali. "Emang kenapa?"
"Serius mau pake baju ini?"
Asha mengangguk. "Gak ada yang salah kok sama bajunya."
Gyandra menelan ludah. "Gak salah sih, tapi emang gak malu pake daster keluar rumah?"
"Ngapain mesti malu? Kan gue gak telanjang," kilah Asha.
"Emang gak telanjang, tapi udah kaya emak-emak tau gak."
Asha mendesah. " Aduh,Gy. Mau kaya emak-emak atau kaya anak kecil yang super imut pun gak akan ada orang yang merhatiin lu. Mau lu pake sendal jepit seharga lima belas ribu atau mau pake stiletto harga miliaran, orang- orang gak akan peduli. Mereka cuma mau lihat apa yang ingin mereka lihat bukan penampilan. Jadi jangan ribetin diri sendiri hanya soal pandangan orang lain. Ayo!" Ajaknya dan menggandeng tangan Gyandra keluar rumah.
Penjelasan Asha membuat Gyandra tertampar. Dia baru sadar jika selama ini dia hanya memikirkan apa yang orang lain lihat dan cenderung melupakan apa yang dia inginkan atau apa yang dia mau. Akibatnya, dia selalu mengalah pada orang lain dan sering dimanfaatkan. Hingga membuatnya membatasi diri dengan orang lain. Itulah kenapa dia tidak memiliki banyak teman.
Asha membawa Gyandra menyusuri gang kecil dan melewati beberapa warung sarapan. Membuat Gyandra menatapnya heran. Namun, enggan untuk bertanya. Beberapa orang menyapa dan bertanya yang hanya dijawab seperlunya oleh Asha. Sepuluh menit berlalu dan Asha belum juga menemukan tempat dimana mereka akan membeli sarapan.
"Kita mau kemana sih?" Tanya Gyandra tak sabaran.
"Beli sarapan."
"Eh, kita udah lewatin berapa warung tadi? Kamu mau nyari sarapan apa sih?"
"Bawel! Tadi emang banyak warung, tapi gak ada banyak pilihan. Udah diem aja."
Gyandra mendesah. Dia menuruti Asha dan hanya pasrah dibawa berkeliling oleh Asha. Mereka telah melewati satu kampung dan tiba di sebuah jalan besar.
"Ini bukannya bunderan yang semalem kita lewatin yah?"
"Emang!"
Gyandra mendesah. "Tahu kesini kenapa gak lewat jalan gede langsung aja tadi? Kenapa harus muter-muter dulu sih?" Protesnya. Padahal jika hanya melewati jalan besar, mereka tidak akan memakan waktu lama. Mungkin hanya sepuluh menit, sampai. Namun, Asha lebih memilih jalan memutar yang cukup jauh dan membuat kaki lelah.
"Sekalian olahraga! Biar lemak gak numpuk," balas Asha kalem.
Jalanan yang lengang berubah menjadi padat dengan banyaknya orang yang berjualan. Sudah menjadi rahasia umum jika hari minggu, bunderan itu dipadati dengan berbagai penjual. Jalanan yang lengang pun berubah menjadi lautan orang dan pedagang. Membuat kendaraan memutar balik arah jika tidak ingin terkena amukan warga.
Gyandra melihat sekitar. Kesibukan begitu terasa saat dia bergabung didalamnya. "Kamu bawa duit 'kan,Sha?"
Asha menoleh. "Kenapa emang? Jangan bilang lu lupa bawa duit?"
"Hehe."
Asha menepuk kepalanya pelan. "Heran deh gue. Kok ada orang kaya elu yah. Bisa lupa segala. Okelah kalo soal baju, gue bisa maklum. Lah ini duit lu lupa juga. Kebangetan namanya!"
"Ya bukan salah akulah. Kan aku mah di paksa," kilahnya.
"Heh, kalo gue liat dari rencana kemarin, lu emang dipaksa buat pergi ke pantai, tapi kan sebelum di paksa itu lu udah niat mau ketemu sama gue 'kan? Emang mau liburan kesini 'kan? Masa iya lu gak bawa duit sepeser pun. Beruntung semalem lu sama temen lu lah kalo naik bus, lu mau bayar pake daun?"
"Kan bisa aku transfer."
"Sombong lu."
Gyandra hanya mengedikkan bahu tak peduli. Mumpung disini juga ada di pasar tumpah, ada baiknya jika dia sekalian berbelanja. Dia memang tidak bohong soal uang. Dia hanya membawa uang secukupnya saat bekerja. Bukan karena pelit, tapi dia menghindari hal utang piutang yang terkadang membuat rusak pertemanan dan pengeluaran yang tidak diperlukan meskipun terkadang tidak mempan karena dia selalu membawa kartu atm nya kemanapun. Namun, setidaknya itu bisa membuat Gyandra terhindar dari soal minjam duit.
Niat hanya membeli sarapan, tapi yang mereka dapat lebih dari sekedar sarapan. Asha bahkan berkali-kali mencubit atau menyikut tangan Gyandra karena dia selalu membuat kesal. Seperti saat ini. Entah karena bodoh atau tidak pernah membeli sesuatu di pasar, dia dengan polosnya membeli barang tanpa tawar menawar. Sedangkan bagi Asha, pantang baginya membeli tanpa menawar terlebih dahulu.
"Kamu kok gitu si, Sha. Kenapa harus nawar-nawar segala sih? Kan kasihan bapaknya," protes Gyandra saat Asha menariknya untuk meninggalkan satu toko pakaian.
"Eh, lu tuh tuh yah. Udah gue bilangin. Polos boleh, bego jangan! Lu kan liat harga sama kualitasnya gak sama. Masa iya mau lu bayar gitu aja sih. Harga segitu, bisa buat beli beras lima kilo tau gak!"
"Ya tapi gak gitu juga kan? Masa iya harga seratus, kamu tawar dua lima. Kan jauh!"
"Lah, emang begitu triknya. Udah ayo pulang. Lama kelamaan gue jebol disini."
Asha menarik Gyandra untuk pulang. Meskipun begitu, mereka terus berdebat tentang banyak hal. Asha yang terus mengomel juga Gyandra yang terus membalas hal-hal yang tidak sebenarnya tidak perlu mereka perdebatkan.
HALLO. HUAAH. SETELAH LIBUR HAMPIR SETAHUN AKU UP LAGI.. MAAFKAN KARENA AKU MENUNDA. INSYAALLAH NOVEL Y JALAN LAGI. MUDAH".N BISA ISTIQOMAH DISELA" KEGIATAN NGURUS DEBAY.. MARHABAN YA RAMADHAN. SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
General FictionKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?