Dalam hidup, kepergian atau kedatangan orang baru adalah hal yang wajar bagi Bian. Sebagian pergi, dan sebagian tinggal. Entah untuk waktu yang lama atau hanya sekedar sesaat. Setidaknya itu yang dia yakini selama ini. Begitu juga dengan perasaan. Mencintai, lantas pergi adalah hal biasa. Namun, entah kenapa semua begitu berbeda saat bersama Gyandra. Bian yakin jika dia cukup membencinya. Bahkan dia bisa membuangnya kapanpun dia mau, tapi... Sulit!
Entah karena kebersamaan mereka yang begitu lama atau semesta yang sedang mempermainkan hidupnya. Bian selalu berputar dalam dunia Gyandra meski dia telah berusaha keras untuk mengusirnya. Dan wanita itu selalu sukses mengusiknya. Seperti saat ini, saat dia tidak peduli padanya, Gyandra justru membawakan makanan untuknya. Meski tanpa dikatakan sekalipun, Bian tahu jika bingkisan yang di bawa adalah untuknya. Kebiasaan yang selalu dia lakukan saat masih bersama juga dari gestur yang Gyandra lakukan. Bian tahu dia berbohong.
Sebenarnya, Bian juga bukan enggan untuk memberi tahu Gyandra jika Ginatri akan datang untuk makan siang bersama, melainkan saat dia bangun, dia tidak menemukan Gyandra dimana pun. Bian bertanya pada staf yang melihat Gyandra dan mereka menjawab jika dia pergi dengan Anissa. Karenanya, Bian tidak ingin mencari apalagi menghubunginya terlebih dahulu.
Rasa gengsi menahannya untuk tetap bersikap acuh. Juga saat dirinya mengantar Ginatri sampai depan kantor untuk kembali, dia ingin sekali Gyandra datang dan memberitahukan jadwalnya. Namun, dia tidak kunjung datang hingga Bian memutuskan untuk menemuinya, tapi lagi-lagi Gyandra tidak ada ditempat.
Bian melihat sekitar ruangan dengan kagum. Meskipun hari pertama juga berada dibawah tekanan, Gyandra mampu membuat ruangannya dengan nyaman juga beberapa dokumen yang selesai dengan baik. "Lumayan. Kukira dia hanya bisa menangis," ejeknya dengan menaruh dokumen yang sempat dia ambil.
Bian berbalik dan hendak kembali ke kantornya. Namun, langkahnya tertahan saat melihat Gyandra datang. Tidak ingin tertangkap basah karena masuk dan mencarinya, Bian menatap Gyandra tajam. "Apa kerjaan kamu begitu ringan sampe bisa jalan-jalan seenaknya?"
Gyandra terkejut. Ingin rasanya dia menjelaskan pada Bian. Namun, urung. Dia lebih memilih untuk diam dan mengalah. "Maaf," ucapnya dengan menundukkan kepala.
Bian menatapnya curiga. Sedikit tidak percaya dengan jawaban Gyandra. Dia melipat kedua tangan di dada dan menatap tajam. "Ikut aku!" titahnya.
Gyandra mematung. Sedikit tidak nyaman dengan ucapan Bian yang mencurigakan. Sebelum berbalik, Dia mengambil beberapa dokumen dimeja dan segera mengekor Bian yang ada didepannya.
Bian membuka pintu kantornya dan duduk. Dia mengangkat satu kakinya dan melipat tangan di dada. "Jadi, Apa yang sudah kamu selesaikan hari ini?" tanyanya angkuh
Gyandra gugup. Dia menyerahkan dokumen yang ada di tangannya pada Bian. "Ini dokumen yang harus ditanda tangan dan jadwal yang harus dihadiri besok," ucapnya mencoba setenang mungkin.
Bian menyandarkan kepala di kursi dan menatap angkuh. "Bacakan!" titahnya.
Gyandra mengambil dan membuka dokumen yang ada dihadapannya. Membacanya setenang mungkin meskipun hatinya sangat kesal. Sebisa mungkin dia mencoba profesional untuk memisahkan masalah pribadi juga urusan pekerjaan. Seperti yang Juna katakan. Yang dia butuhkan hanyalah ilmu yang Bian berikan bukan memantau apalagi bermuram durja.
Bian menatap Gyandra yang membacakan jadwalnya dalam diam. Sedikit terganggu dengan ketenangan Gyandra. Padahal, seharusnya dia merasa senang. Meski ditekan di hari pertama, Gyandra mampu menguasai diri dan bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik.
"Hanya itu?" tanya Bian saat Gyandra menyelesaikan bacaannya. Gyandra mengangguk. Gugup.
Bian berdecak. "Kamu tahu? Dimas bahkan bisa melakukan hal yang lebih dari ini!" Serunya.
Gyandra terkejut mendengar seruan Bian. Dia meremas sisi rok yang dikenakannya untuk mengurangi rasa terkejut juga kesal yang mendadak buncah di dada. "Ka... kalo memang Dimas lebih baik, kenapa anda memecatnya dan meminta saya untuk bekerja?" tanyanya hati-hati.
Bian menatap tajam. Dia memperbaiki posisi duduknya dan mencondongkan tubuh. "Bersyukur karena kamu adik tunanganku. Jika bukan, aku pasti akan memasukkan namamu di daftar hitam! Dan satu lagi, Perlu kamu ingat jika bukan aku yang memintamu untuk bekerja disini, tapi ayahmu! Jika kamu merasa terbebani, kamu bisa merengek dan meminta padanya untuk mundur!"
Tatapan Bian yang begitu tajam juga ucapannya yang dingin membuat tubuh Gyandra bergetar pelan. Dia tidak menyangka akan melihat sisi lain dari Bian. Bian yang dia kenal adalah sosok yang begitu lembut. Namun, ternyata selama ini dia salah. Memang benar jika kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari sampulnya saja. Gyandra menunduk. "Ma... maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih keras lagi."
Bian bisa melihat kemarahan dalam diri Gyandra. Namun, dia tidak peduli. Saat Gyandra menerima tawaran Rama, saat itu juga Gyandra harus menerima resikonya. "Jika kamu sudah paham, pergi dan bereskan tugasmu!"
Gyandra berbalik dan meninggalkan ruangan Bian dengan perasaan tak menentu. Tangannya bahkan masih gemetar karena marah yang tak kunjung terlampiaskan. Gyandra membuka pintu kantornya dan menendangnya pelan. "Sialan!" makinya dengan melempar dokumen dan duduk dengan kasar.
Gyandra meremas rambutnya frustasi. Dia mendongak. Menghirup dan menghembuskan napas secara perlahan. Mencoba untuk menenangkan diri dan berharap semua bisa membaik.
Saat mulai merasa tenang, dia mengambil beberapa dokumen dan berusaha untuk menyelesaikan semuanya. "Liat aja nanti. Aku bakal buktiin kalo aku bisa lebih baik!" tekadnya berapi-api.
Gyandra larut dalam kerjaannya hingga tanpa sadar sudah waktunya pulang. Dia bahkan mengabaikan ajakan Anissa yang mengajaknya pulang bersama.
Merasa lelah, Gyandra berhenti dan melihat jam di dinding. Jam setengah enam lebih sepuluh. Hampir magrib, tapi dia masih bertahan di kantor. Keadaan Kantor juga sudah mulai gelap. Gyandra mendesah. Dia mengusap tengkuknya yang pegal dan membereskan barang-barangnya.
Gyandra berjalan keluar kantor. Namun, saat melihat ruangan Bian yang masih menyala, dia berhenti. Haruskah dia datang dan memberitahukan kepulangannya? Atau dia hanya perlu berjalan dan berpura-pura tidak melihat?
Bimbang, Gyandra diam mematung. Berperang dengan pikirannya sendiri membuat Gyandra tidak sadar jika Bian berada di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan didepan ruangan ku?"
Gyandra tersentak dan refleks mundur. Dia tidak menyangka dengan kedatangan Bian. "A... Aku...," ucapnya keluh.
Tersenyum miring, Bian berjalan mendekati Gyandra. Pelan, tapi pasti. Dia membuat Gyandra berjalan mundur dan menyudutkannya.
Sadar akan posisinya yang berbahaya, Gyandra melihat sekitar, berharap ada seseorang yang akan membantunya keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Namun, nihil. Dia tidak menemukan siapapun disana. "Ka... kamu mau apa?" ucapnya dengan tangan yang berusaha menahan Bian. "Demi Tuhan, Bi. Jika kamu melakukan macam-macam aku akan teriak!" ancamnya pada Bian.
Bian tersenyum mengejek. Merasa lucu dengan ucapan Gyandra. "Teriak? Lakuin saja. Toh aku senang jika ada orang yang melihat kita. Bisa jadi besok ada gosip kalo sekertaris baru berani main gila sama kakak iparnya sendiri."
Gyandra mengatupkan rahang. Dia menatap Bian tajam.
Bian tersenyum. "Lagipula, apa katamu tadi? Macam-macam?" Bian melihat Gyandra dari atas kebawah. Dia mendekat, menghapus jarak diantara mereka. Berbisik. "Tidak ada yang menarik dari wanita rata seperti mu," ucapnya dengan senyum mengejek dan berlalu meninggalkan Gyandra yang mengepalkan tangan. Marah.
Selamt akhir pekan. Selamat beristirahat. Makasih juga buat semua yang udah mampir dan kasih jempol. Semoga sehat selalu 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Pelakor
General FictionKebahagiaan yang Gyandra rasakan harus berakhir saat yang dicintainya tunangan dengan kakaknya sendiri. Mampukah Gyandra menjalani kehidupannya kembali? atau terpuruk dalam masalalu?