Sepulang dari toko, Hari kembali melewati jalan berbeda. Jalan yang ia ambil sekarang akan memakan waktu lebih cepat untuk sampai ke rumahnya.
Hari melangkahkan kaki senada dengan irama yang ia senandungkan, untuk menghilangkan bosan tentunya.
Gadis ini menutup matanya agar nyanyiannya lebih menghayati.
Namun, karena matanya tertutup, dia menabrak seseorang.
"Eoh, ma—"
Hari memotong kalimatnya setelah membuka mata, terlihat jelas di depannya sosok Kanglim yang tengah menatapnya.
Jantung Hari berdegup kencang, dia mengalihkan pandangan.
"Ha—" Kanglim ingin menyapa Hari, tetapi seseorang memanggil.
"Oppa!"
Hari melototkan matanya kemudian menoleh ke arah suara tersebut. Gadis berambut pirang yang dia lihat waktu itu, Jisoo.
Jisoo berlari dan menghampiri Kanglim. "Kemarin aku lupa membawakan ini."
Dia memberikan rantang isi makanan. "Buatan ibu, semoga kau dan bibi suka, ya."
Kanglim menerimanya, kemudian tersenyum tipis. "Terima kasih."
Hari yang melihat itu seketika merasa sesak, dadanya sakit. Dia tak bisa menahannya lagi, siapa gadis itu?
Perlahan, bukan perlahan. Dengan cepat Hari berjalan melewati pemandangan itu.
Kanglim tak bisa menahan Hari karena dia berjalan sangat cepat. Dia menatap Jisoo.
"Jisoo, sepertinya Hari salah paham. Mengapa tiba-tiba kau datang seperti itu?"
"Hari? Jadi, dia kak Hari? Wah, cantik sekali." Jisoo memandangi Hari yang sudah jauh.
"Eh, maaf, aku langsung menghampiri setelah melihatmu tadi," cicitnya kemudian.
Kanglim menggeleng. "Tak masalah, itu lebih baik, setidaknya Hari pasti akan menjauh."
"Menjauh? Memangnya kau akan pergi ke mana? Atau akan melakukan apa sehingga kak Hari harus menjauhimu?"
"Bukan urusanmu."
Kanglim memasukkan satu tangan ke saku celananya dan berjalan.
Jisoo hanya terdiam.
---
Hari sampai di rumah, dadanya masih sesak.
"Hari, sudah selesai?" Jimi duduk di sofa tamu.
Hari yang sedang mencoba bernapas dengan baik menjawab, "Iya, Bu, ini."
Dia memberikan bungkusan yang ia beli dari toko tadi.
"Nah, oh ya! Ada temanmu menunggu di belakang." Jimi membuka bungkusan tersebut.
"Teman?"
Hari bergegas pergi ke belakang rumah.
Terlihat seseorang memakai jaket putih, sedang berdiri dengan tangan menyentuh pagar.
"Leon?" Hari mendekati orang yang ternyata adalah Leon itu.
"Wah, kau sudah pulang." Leon menengok ke arah Hari.
Hari berdeham. "Sedang apa kau di sini?"
Leon hanya menatapnya sembari tersenyum.
Hari memutar bola matanya malas. "Kau mau apa?"
"Ingin mendengar isi hatimu lagi."
"Kau tidak bosan? Apa seharian ini kau hanya akan mendengar curhatanku?"
Hari berdiri di sebelah Leon sembari melihat jalanan kosong.
"Err ... baiklah, hanya hari ini. Aku tahu di hatimu masih ada kalimat yang mengganjal. Keluarkan semuanya, ayo." Leon menyentuh pundak Hari dan tersenyum.
"Bagaimana tadi?" Leon mendekati Hari.
Hari menjauh. "Gadis itu ...."
"Kau bertemu dengan gadis itu lagi?"
"Ya."
"Apa yang dia lakukan?"
Hari menatap Leon. "Oppa, katanya."
"Maksudmu?"
"Dia memanggil Kanglim dengan sebutan oppa!" Hari menggeram dan menempelkan kedua tangan di pagar.
Leon mengerutkan dahi.
"Artinya mungkin dia saudara Kanglim dan kebetulan Kanglim lebih tua darinya?"
"Tapi ... dari kelihatannya gadis itu seumuran dengan kami."
"Astaga, jangan menggeram begitu, Hari."
"Cih, aku kesal karena dia mengganggu kami berdua tadi!" Hari semakin jengkel.
"Ba-baiklah, tetapi wajahmu mengerikan ... huhu ...." Leon menutupi wajahnya.
"Alay."
"Alay? Bahasa macam apa itu?" Leon mengalihkan kedua tangannya dan semakin mendekat pada Hari.
"Entahlah, Hana yang mengajariku." Hari mengikat ulang rambutnya dengan kedua tangan.
"Siapa Hana? Oh lupakan, kau tidak menangis lagi seperti tadi siang?"
Hari menggeleng setelah selesai mengikat rambut. "Untuk apa menangis? Walau sakit, aku tidak berhak cemburu juga sebenarnya karena aku bukan siapa-siapa Kanglim."
"Bagus sekali." Leon mengusap rambut lembut Hari.
"Jangan! Rambutku akan kembali berantakan." Hari menepis tangan Leon.
"Ah ... baiklah, maaf, aku takkan menyentuhmu lagi." Leon sedikit menjauh.
"Pulang sana." Hari mencoba mengusir.
"Kau mengusirku?" Leon memanyunkan bibir.
Terlihat jelas wajah Leon dari ekor mata Hari.
"Jangan manyun seperti itu, tidak sedap dipandang. Ya, aku mengusirmu, cepatlah pergi."
"Huhu ... oke oke, aku akan menginap di rumah Hyunwoo lagi." Leon berjalan dan pergi dari halaman rumah Hari.
"Mengapa harus di rumah Hyunwoo?" Hari berteriak.
Leon berhenti. "Apa kau mencoba menawarkan agar aku menginap di rumahmu?" Tersenyum nakal.
"Tidak! Maksudku, mengapa kau menginap?"
"Jika bolak balik dari pos aegis ke sini, itu akan sangat melelahkan. Apalagi pos aegis jauh di sana, satu-satunya cara agar aku bisa tinggal di sini adalah dengan menginap. Dan Hyunwoo mengizinkanku menginap di rumahnya." Leon kembali berjalan.
Hari hanya mengangguk sebagai respon, walau anggukannya tak akan dilihat oleh Leon. Kemudian dia masuk ke dalam rumah, mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Love [✓]
FantasíaBerawal dari menyebut Kanglim sebagai anak sombong, kini Hari malah berusaha mendapat cinta darinya. Tanpa ia sadari, Kanglim ternyata memiliki perasaan yang sama. Kemudian datang makhluk yang terus mengusik kehidupan mereka, belum lagi dengan kesal...