BENCI

959 65 38
                                    

Pertarungan terjadi antara Leon dan makhluk asap itu. Leon sudah menggunakan kekuatan terlarang, tapi tetap tidak bisa mengalahkannya. Mungkinkah karena kekuatan Kanglim menyatu dengan kekuatan makhluk itu?

"Hahaha kau anak kecil takkan bisa mengalahkanku, apa lagi kita berada di alam bawah sekarang." Makhluk itu tertawa.

"Jangan panggil aku anak kecil paman! Leon, namaku adalah Leon!!"

Apa, sih, ngelawak.

"Aku tak peduli! Kau lupa? Aku adalah bagian dari jiwa suci aegis!"

Leon mulai menyerang kembali, gagal! Dia butuh bantuan seseorang untuk melenyapkan pemantra hitam itu. Tapi orang yang bisa menolongnya malah telah direnggut oleh makhluk tersebut.

"Sial, tak bisa dibiarkan!" Leon kembali mengeluarkan kekuatannya.

"Kekuatan kar—"

"Kau yakin akan menyerang tubuh anak ini? Hahaha." Makhluk itu mendekati Leon.

Benar, Leon berpikir. Jika dia menyerang tubuh Kanglim, itu akan membuat Hari semakin tak memaafkannya. Tapi jika tidak, dia tak bisa mengalahkan makhluk itu.

Di tengah kebimbangan Leon, makhluk itu tersenyum licik dan melempar kekuatannya ke arah bocah aegis tersebut.

"Leon!"

Heewon menghalangi tubuh Leon, alhasil dia yang terkena serangan itu.

"He-Heewon!"

Leon menangkap tubuh Heewon yang terjatuh. Untung saja Heewon adalah siluman yang kuat, kekuatan itu tak berdampak buruk bagi dirinya.

Leon membopong Heewon kembali ke balik batu, dia sangat marah sekarang.

"B*RENGSEK!" Tanpa aba-aba Leon menyerang tubuh makhluk itu dengan kekuatan terbesarnya.

Seketika tubuh Kanglim dan jiwa makhluk itu terpisah.

"Arghh ... bocah gila! Aku akan kembali!" Makhluk asap tersebut menghilang, tak tahu sudah terkalahkan atau bagaimana.

"Oh tidak!" Hari berlari, dia memeluk tubuh Kanglim yang sangat lemas. Tentu, tak ada nafas atau detak jantung.

Hari menangis, dia terus mengeluarkan air matanya.

"Kau membuat kejadian tiga tahun lalu terulang, Leon!" Hari terisak.

"Apa yang kau lakukan?! Dengan kau menyerang tubuh Kanglim, kemungkinan dia kembali ke dunia semakin kecil!" Tangisan Hari semakin pecah.

Hari tahu, jika tubuh seseorang terluka saat berada di bawah kendali pemantra hitam tersebut, jiwanya akan sangat sulit kembali ke dunia.

Leon menyesal. "Maafkan aku." Dia tertunduk.

Hari berdiri, kedua tangannya mengepal di samping badan.

"Leon! Kau harus membawa Kanglim kembali bagaimana pun caranya!" Hari menghembuskan napas kesal.

Leon tersenyum kecut sebentar, kemudian mendongak dan menghampiri Hari yang membelakanginya. Dia menyentuh pundak Hari, tanda gadis itu harus menatap dirinya.

Hari berbalik badan.

"Hari, tak ada lagi harapan bukan?" Leon menggenggam tangan Hari dan menatapnya.

"Apa maksudmu?!" Hari yang masih sangat kesal membentak.

"Jangan tunggu dia kembali, kumohon."

Hari menghempaskan tangan Leon, dia mulai merasakan sesuatu yang tak beres.

"Hari." Leon ingin menggapai tangan Hari, tapi dengan cepat Hari menjauh.

"Kita tak tahu lagi Kanglim bisa kembali atau tid—"

"Maksudmu?!" Hari berteriak, air matanya masih menetes.

"Karena aku mencintaimu!"

Hari melotot tajam ke arah Leon.

"Leon, kau gila! Kau tahu aku tak pernah memiliki perasaan padamu! Sudah berkali-kali kujelaskan!!" Suara Hari serak.

"Kau mengambil waktu yang salah di mana aku sedang sedih, kau tak punya perasaan, Leon! Kau mengambil kesempatan! Kau itu jahat! Leon yang kukenal tak seperti ini. Kau bukan Leon! Kau menunggu Kanglim pergi, benar begitu?? Apakah dengan kepergiannya kau akan mendapatkanku?! Leon, sadar! Kau mulai berubah sekarang! Lagi pula kita masih anak-anak, di bawah umur. Leon, kau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang tentang dirimu? Aku membencimu! BENCI!"

Setelah melontarkan kalimat panjang itu, Hari mengusap kedua pipinya yang basah dan berlari. Entah ke mana, di neraka ini hanya ada batu dan api. Hari berdiri sendiri, posisinya jauh dengan Leon sekarang.

Leon merenung, benar. Dia sangat konyol.

"Apa yang kau lakukan, Leon?! Kau sangat bodoh! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu!" Leon menampar pipinya sendiri dengan keras.

Heewon yang telah sadar dari pingsannya langsung menghampiri Leon.

"Kau kenapa?" tanya Heewon khawatir.

Leon hanya menggeleng.

"Pipimu merah, siapa yang manamparmu?" Heewon mengusap pipi Leon.

"Aku sendiri."

Heewon terkejut mendengar jawaban Leon, sontak ia langsung memeluknya. Leon hanya memasang tatapan kosong.

"Kau kenapa?" Heewon mengusap lembut punggung Leon.

"Aku bodoh, Hari membenciku."

Childhood Love [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang