[PROLOG]

854 63 1
                                    

November, 2004

"Jadi ini yang anda maksud investasi bisnis, Hanung?"

Pria yang dimaksud hanya terdiam, tanpa berniat menjawab. Tatapan matanya tajam menusuk. Sesekali usaha bernafasnya terdengar jelas, ikatan tali didadanya ini sudah cukup menyiksa. Belum lagi pedihnya luka sayatan disepanjang dahi, leher dan lengan atas.

"Beri saya waktu 1 hari lagi, saya janji akan kembalikan uang 20 milyar milikmu,"

Prasetyo berdecih, janji tinggalah janji. Sekarang yang tersisa hanya sebuah dendam

"Saya janji,"

DOR

Suara senapan yang dilayangkan Prasetyo kali ini tidak main-main. Mengenai betis kanan Hanung yang tentu saja menimbulkan nyeri tidak kalah hebat.

"Apa kata-kata terakhirmu malam ini, Nung? Sebelum senapan ini mengenai otak dan dada kirimu,"

"Pras, tolong beri saya kesempatan, saya janji akan kembalikan uangmu secepat mungkin!" Ujar Hanung seraya terisak

"Baik, tidak ada yang ingin diucapkan. Mari kita akhiri sesimu kali ini, ucapkan selamat tinggal kepada dunia, Nung"

DOR

Bersamaan dengan itu pintu tralis besi yang terkesan menutup ruangan tersebut terbuka. Pramono dan Heri ada dibaliknya. Nafas keduanya terengah.

"Pras!" sergah Pramono cepat. Sedangkan Heri berlari ke tempat Hanung dieksekusi mati secara tidak terhormat oleh Prasetyo

"Denyut nadi sudah tidak teraba, Suh" ucap Heri seraya merasakan denyut nadi di leher Hanung.

Plak

Satu tamparan keras mengenai pipi Prasetyo.

"Sudah mas bilang berapa kali, urusan penipuan Hanung biar mas yang urus. Sekalipun pihak kepolisian tidak akan pernah bisa mengungkap!"

"Halah, omong kosong, Mas Pram hanya sibuk mengurusi masalah-masalah tikus berdasi itu kan? Yang jelas pasti gajinya akan lebih tinggi dibanding mengurus masalah kecil seperti ini!"

"Tetap saja, langkahmu kali ini kelewatan! Sekarang status mu sudah jadi tersangka bukan lagi korban!" emosi Pramono sudah diubun-ubun

"Suh, sebentar lagi polsek setempat sepertinya akan bergerak ke area ini karena bunyi tembakan tadi" sergah Heri Cepat

"Sial, kenapa mereka bergerak secepat ini?" Ucap Prasetyo

"Bodoh, pasti karena kamu tidak pakai peredam," balas Pramono tidak kalah sengit.

"Sekarang kita hanya punya waktu satu jam, Suh, beruntung kepolisian disini sering terkenal tidak tepat waktu,"

***

Heri dan Pramono, dua orang sahabat yang saling berteman sejak belasan tahun saat masih pendidikan khusus sekolah intelijen.

Kasus Hanung sebenarnya adalah tanggung jawab mereka. Kasus penipuan besar-besaran investasi bodong yang sudah memakan korban bukan hanya negara sendiri tapi hingga mancanegara. Namun sayang, sudah hampir satu tahun lebih kasus ini jalan ditempat dan dilimpahkan ke Badan Intelijen untuk mendapatkan titik terang tetapi selalu saja terdapat kekurangan bukti hingga saksi.

Heri dan Prasetyo sebagai si anak emas kemudian dikerahkan. Diantara mereka berdua yang berhasil mengungkap kasus ini akan diberi promosi jabatan. Sedang mereka berdua sedang berusaha dan berharap kasus penipuan ini dapat segera selesai tetapi semua sudah berakhir ketika melihat Hanung si dalang utama tergeletak tak bernyawa akibat Prasetyo, adik Pramono sekaligus si korban penipuan.

***

Darah masih mengalir deras dari kepala Hanung. Sedangkan ketiga orang diujung sana masih nampak berpikir.

"Her, saya tidak mungkin menjebloskan adik saya sendiri ke penjara, tugas saya sebagai kakak itu melindungi,"  ungkap Pramono

"Tapi saya tidak mungkin untuk melanggar perintah komandan, Suh,"

Prasetyo hanya diam membungkamkan bibir. Usia yang sudah hampir memasuki 30 awal tidak membuat dirinya berpikir dewasa.

"Mana pistol dan pisau yang kamu pakai untuk menyiksa Hanung?"

Prasetyo mengeluarkan kedua benda itu dengan tangan gemetar dari saku dalam jaketnya. Pramono kemudian menyemprotkan sebuah cairan ke pisau dan pistol tersebut, mengelapnya dengan lap basah dan kemudian dengan sengaja memegangnya tanpa perantara sarung tangan. Jelas saja ini akan memudahkan polisi untuk mengetahui sidik jari pelaku.

"Pram!" Bentak Heri cepat

"Pras, sekarang kamu bakar semua jaket dan kain yang menempel yang ada ditubuhmu, dan cepat pergi dari sini!" Ucap Pramono

"Pram, berhenti tolong!" Heri terus berusaha menghentikan aksi Pramono

"Her, diantara persahabatan tidak ada yang namanya persaingan. Promosi jabatan ini untukmu, melindungi Pras sudah jadi kewajibanku Her,"

"Pram tapi nggak begini!"

"Her, kalau saya nggak masuk penjara apa kamu rela saya mati disini?"

"Saya punya jalan keluarnya," ungkap Heri cepat.

***

[Cindy POV]

Malam ini hujan turun begitu lebat dan ayah belum pulang. Padahal hari ulang tahunku hanya tersisa tiga jam lagi. Ibu bilang, kalau aku sabar menunggu, ayah akan pulang dengan sebucket kentucky dari brand favoriteku. Kata Ibu, khusus hari ini aku diperbolehkan untuk makan ayam goreng itu sepuasnya. Terima kasih ibu, dan juga aku sayang ayah.

Aku hitung terus detik jam dinding. Berharap khawatir kalau kedai kentuckynya akan segera tutup sebelum jam 12 malam dan ayah juga belum pulang. Tapi tiba-tiba.....

Ceklek

Pintu rumah terbuka, ayah lari tergesa dengan jas kerjanya yang sudah basah setengah. Mereka terlibat pertikaian kecil tapi dengan suara samar-samar yang tidak bisa aku dengar dengan jelas. Mereka di ruang tamu sedangkan aku masih menatap kue ulang tahun yang belum terpotong sedikitpun di ruang keluarga.

Ibu dan ayah tiba-tiba datang, mereka segera berlari ke kamar tidur milikku dan milik mereka, kemudian keluar dengan koper dan tas ransel. Ayah terlihat memasukkan beberapa berkas penting. Sedangkan ibu, sudah siap dengan koper pink hologram dan ransel unicorn milikku. Matanya terus mengeluarkan cairan bening dan suara seanggukan. Dari luar, Mbok Asih, asisten rumah tangga sekaligus orang kepercayaan ibu dan ayah datang bersama suaminya.

Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Kita berpisah, lebih tepatnya kami. Ayah dan ibu nampak menaiki mobil dengan pengawasan orang-orang yang memegang senjata yang bisa aku sebut pistol. Sedangkan aku, aku hanya diam termenung melihat ayah dan ibu yang semakin jauh dari pemandanganku.

Mbok Asih masih setia menggendong dan sesekali menepuk pundakku. Mungkin berusaha agar aku tidak menangis. Dan yah berhasil, aku tidak menangis.

[TO BE CONTINUED]

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang