[11] Midnight Kisseu

267 41 12
                                    

“Ah! Bagas malu!”

Alih-alih menerima pernyataan cinta Bagas, Cindy malah ikut-ikutan berlutut. Gadis itu kemudian menggelamkan kepala di dada lelaki yang sedang berada didepannya saat ini. Bagas tertawa, tidak habis pikir dengan tingkah absurd Cindy yang hanya bisa menunduk malu seraya menggenggam box cincin yang ada di tangan kanannya.

Seperti biasa, ditepuk pelan rambut kepala Cindy, “pulang yuk?” ajak Bagas lembut.

Cindy menengadahkan kepalanya karena Bagas yang terlalu tinggi sekalipun mereka sedang dalam posisi seperti ini, “Frisca gimana? Masa ditinggal?”

“Dia nggak bakal balik kesini lagi, Frisca udah pergi ke mall dideket sini, lagi shopping,”

Sialan Frisca.

***

Aroma musk dari HRV milik Bagas memang tidak pernah hilang, Cindy sudah terbiasa dengan aroma ini, justru dirinya malah merasa nyaman. Namun kali ini seolah ada yang berbeda semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, meskipun bukan di mobil ini kejadian tersebut terjadi. Cindy seolah merasakan sesuatu yang asing.

Cindy terus mengarahkan pandangannya ke depan sambil sesekali memainkan box cincin digenggamannya, sedangkan Bagas terus menunduk dibalik kemudi. Mobil belum bergerak sedari tadi dan masih terparkir sempurna di halaman parkir GOR. Diluar sana suasana sedang gerimis rintik-rintik, Bagas belum berniat untuk pergi meninggalkan tempat ini, masih ada sesuatu yang harus dijelaskan diantara keduanya.

Bagas menghela nafas, “Cin saya mau ngomong,” meskipun begitu Bagas belum mengalihkan pandangannya ke arah Cindy.

“Eh ini radionya bisa nyambung ke spotify nggak? Mau dengerin lagu EXO yang baru,” Cindy malah mengalihkan topik pembicaraan dengan memainkan radio tape mobil.

Bagas kemudian meraih tangan Cindy tersebut, digenggamnya erat, sementara cincin paja-nya sudah berada dipangkuan Cindy.

Cindy tersentak kaget, mereka akhirnya saling bertatap.

“Cin saya serius!” tingkah Bagas kembali membuat Cindy kaget, laki-laki itu tiba-tiba saja semakin menggenggam tangat Cindy erat seraya mendekatkan kepalanya. Sungguh seperti permohonan maaf yang benar-benar tulus.

Cindy membeku ditempatnya, genggaman tangan Bagas hangat, mungkin efek dari sehabis lari tadi, “Ok,” Cindy mengiyakan.

“Tolong, kamu jangan kaget,”

“For what?

“Saya ini agen intel,” jawab Bagas singkat, dan Cindy masih belum bisa mencerna ucapan Bagas dengan baik.

“Intel?”

“Iya, saya lagi diberi tugas buat mengintai mahasiswi dilingkungan kampus kamu. Sialnya gara-gara itu saya malah kepilih jadi pemain sepak bola ngewakilin fakultas karena badan saya yang besar ini,” Bagas menghela nafas,

“Tapi nggak bisa dibilang sial juga kalau akhirnya saya bisa ketemu sama kamu waktu itu,”

Cindy tertegun sempurna ditempatnya, pandangan menelisik lebih dalam lagi ke pakaian dan postur tubuh Bagas kali ini,

Pantes ini cowok badannya extra banget. Pasti sering workout.

“Terus yang kemarin dan kaitannya sama cincin ini?”

Merasa seperti memiliki hutang, Bagas akhirnya menjelaskan semuanya kepada Cindy. Termasuk dari awal Cindy diikuti oleh orang asing hingga alasan kenapa Bagas tiba-tiba saja mengajak Cindy ke Bank. Bagas juga menjelaskan masa-masa pendidikannya dulu dari saat masih sarjana kemudian beralih ke lembah tidar dan berakhir dan badan negara tempatnya bernaung saat ini.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang