[22] Not Familiar

180 36 8
                                    

“Udah Cin, pulang dulu yuk, gue anterin,” rayu Ricky yang sudah keseribu kalinya namun Cindy terus menggeleng lemah.

“Kalau nggak mau pulang, minimal makan dulu Cin, bibimbapnya keburu dingin ini,” sambung Seno yang sedari tadi sudah membeli bibimbap yang niatnya akan diberikan ke Cindy.

“Atau mau nasi kuning? Di depan sini ada yang jual naskun enak, Cin,” tawar Seno lagi.

Meskipun Seno dibilang sebagai kulkas dingin, namun dirinya tidak sejahat itu melihat perempuan dihadapannya yang merupakan pacar sahabatnya sendiri tengah terduduk lemas di kursi ruang tunggu ICU menyaksikan kekasihnya yang tengah bernafas menggunakan alat bantu.

Cindy dengan lemah mengambil bibimbap yang dipegang Seno sejak tadi, kemudian segera menguyahnya pelan sambil sesekali air mata masih turun, “Kalian siapa sih? Khususnya lo Sen? Nggak mungkin temen biasanya Bagas kan?” tutur Cindy di sela waktu makannya.

Glek. Sudah cukup Seno yang ketahuan statusnya, sekarang …

“Ah, kita teman sekantor lebih tepatnya,” jelas Seno tanpa Ricky prediksi sebelumnya.

Ricky menatap tajam Seno, bisa-bisa Komandan Yusuf marah besar ketika semakin banyak orang yang mengetahui pekerjaan mereka.

“Udah ketauan, tenang gue nggak bakal bocor,” lanjut Cindy seperti bisa membaca kekhawatiran di raut wajah Ricky.

Jam menunjukan pukul 08.00 malam lebih, Cindy baru pulang setelah pukul 10.00 malam, tepatnya setelah diusir oleh para perawat disana bahwa jam besuk sudah lewat batas. Cindy berjalan lemah dengan bantuan Ricky dan Seno yang membawakan berkas-berkas penelitian Cindy. Sedangkan Ijal, cowok itu sudah pulang dari jam 04.00 sore lalu. Cindy segera masuk ke mobil HRV milik Bagas ketika melihat Pak Ali membuka kaca mobil memanggil-manggilnya. Cindy jadi agak sedikit merasa bersalah karena membuat Pak Ali menunggu lama di parkiran begini.

Cindy masuk ke mobil, aroma musk itu lagi, menyapa indra penciumannya. Gadis itu duduk tersender di jok mobil belakang sampai tidak menyadari jika jaket bomber kesayangan Bagas tertinggal. Cindy menangis lagi.

***

Cindy berangkat ke RS pagi-pagi sekali, karena Ricky mengabarkan jika Bagas sudah sadar tadi malam lebih tepatnya dini hari. Agak jahat memang baru dikabarkan beberapa jam setelahnya, namun Ricky berdalih agar Cindy tidak buru-buru kesini tengah malam. Padahal dalam semalam Cindy tidak bisa tidur.

Cindy mengerjapkan matanya berulang kali, dihadapannya dia tidak salah liat, Bagas tertawa dengan santainya tanpa memedulikan kondisi dadanya yang hampir dilapisi balutan plester—meskipun Cindy agak sedikit bersyukur karena Bagas sudah tidak menggunakan ventilator mekanik maupun EKG untuk mengontrol denyut jantungnya, dan digantikan dengan nasal tube.

“Aw aw aw sakit, Cin,” Bagas mengaduh sakit saat Cindy tiba-tiba masuk ke kamar rawatnya dan langsung menyapa dengan pukulan lemah di pundak—tapi lumayan sakit karena Bagas juga sedang menahan sakit karena luka di pundak.

“Kenapa sih? Kenapa ngilang? Huaaaa” Cindy menangis lagi, melihat sesi yang sedang terjadi dihadapannya sekarang—Ricky dan Seno beranjak pergi meninggalkan keduanya.

Bagas mengambil genggaman tangan Cindy yang hendak membuat kepalan dan meninjunya lagi, Bagas ciumi jari jemari itu, “Khawatir, khawatir kamu jadi nggak fokus ngerjain penelitian kamu, terus nangis,” Bagas terus mengusapi jemari mungil itu. Cindy meluruh di tempatnya.

“Tapi kalau kayak gini aku makin khawatir,” Cindy masih tersedu-sedu.

“Seenggaknya kan khawatirnya dari minggu kemarin, sedihnya baru semalem,” canda Bagas yang dihadiahi cubitan di paha,

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang