Bagas melepas pangutannya dengan Cindy. Gadis itu hanya bisa terdiam, menunduk malu seraya menatap sendu dada bidang Bagas dihadapannya.
Bagas kemudian menggenggam tangan Cindy, “Kita harus pergi dari sini,”
***
Bulan purnama sedang menampakkan jelas jati dirinya malam ini. Belum lagi, semilir angin pantai membuat suasana saat ini semakin syahdu. Bagas memarkirkan mobilnya tepat di bibir pantai, berhubung air laut sedang surut sehingga tidak membahayakan jika harus berhenti di tempat ini.
“Kita nggak bisa ke apartemen saya, apalagi kost kamu, komplotan mereka pasti masih ada disekitar sana,”
Cindy mengangguk mengiyakan, kepalanya benar-benar pusing akhir-akhir ini, belum lagi sedari siang tadi Cindy belum makan. Hal ini didukung dengan lambungnya yang berbunyi, seolah mendengar keluh kesah perutnya yang memelas minta dikasihani.
“Kamu laper?”
Cindy menggangguk lagi. Beruntung Bagas selalu menyimpan cemilan di dashboard mobilnya, “Saya cuma punya roti sobek aja, nggak apaa-apakan?”
Dalam benaknya Cindy tidak mungkin menghabiskan seluruh roti ini sendirian, Bagas juga sudah pasti kelaparan, “Kamu juga harus makan,” Cindy membelah roti itu menjadi 2 bagian sama besar.
“Ah! Thank you Cindy, by the way saya cuma punya sisa air mineral segini, kira-kira cukup nggak buat kamu?” Bagas menunjukan sisa botol air minum 1 liternya yang sisanya tinggal ¾.
“Cukup kok, aku minumnya sedikit,”
Mereka makan malam (yang sebenarnya sangat telat) dengan diam, tidak ada yang memulai pembicaraan apapun. Cindy sepertinya benar-benar masih trauma dengan aksi kejar-kejaran tadi.Bagaimanapun juga, akibat kejadian tadi malam ini Bagas dan Cindy harus mengungsi sebentar dari kediaman mereka. Bagas tidak mungkin membawa Cindy ke hotel, karena ini sudah lewat dari tengah malam dan akan kesulitan bagi mereka untuk check in di jam-jam seperti ini. Apalagi jika mereka berdua tidak ada ikatan khusus. Bagaspun tidak memiliki ide lain, tidak mungkin juga membawa Cindy menginap di tempat teman-temannya. Akhirnya tepian pantai seperti ini menjadi jalan terakhir bagi mereka.
***
Bagas bangun lebih awal daripada Cindy, sedangkan Cindy sendiri masih tertidur dengan pulas disampingnya bersama bomber jacket milik Bagas yang menyelimuti tubuh kecil Cindy. Bagas menyiakan-nyiakan pemandangan sunrise yang ada didepannya saat ini demi memandangi wajah polos Cindy yang sedang tertidur. Tidak ada peluh sama sekali yang keluar dari wajah mungilnya.
Bagas mengelus lembut wajah Cindy dari pipi kemudian turun ke dagu, benar-benar seperti kulit bayi, sedikit lembab tapi bukan berminyak. Jenis-jenis wajah yang sering melakukan perawatan. Bagas semakin tidak bisa mengontrol dirinya sendiri saat melihat bibir manis Cindy yang bagaikan kelopak bunga mawar mekar.Namun Bagas masih wajar dan tidak se-buaya itu, dirinya kemudian mencium dahi Cindy lembut, wanti-wanti juga jikalau Cindy terbangun.
Bagas baru saja ingin melepas kecupan singkatnya di dahi Cindy, saat tiba-tiba sebuah tangan mungil meraih lehernya. Jelas saja saat ini jarak antara Cindy dan Bagas hanya tersisa beberapa senti. Cindy membuka matanya perlahan, dilihatnya wajah seseorang lamat-lamat yang sedang berada didepannya saat ini. Bagas sendiri susah payah menyangga kedua lengannya di antara seat duduk Cindy agar tidak jatuh.
“Morning,” satu ucapan selamat pagi dan bonus kecupan di hidung mancung Bagas cukup membuat jantungnya jumpalitan.
***
Sebelum berangkat ke kampus, Cindy meminta Bagas untuk mampir ke mini market dan pom bensin terdekat. Sedekar untuk membeli parfum dan mencuci muka. Bagaimanapun Cindy harus keliatan lebih baik dari segi wajah meskipun penampilannya benar-benar berantakan dengan bajunya yang hampir lecek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
General Fiction./hope that the story isn't over yet, -shubhangi./ Yacindy Pramidhita tidak pernah berharap untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki manapun selepas putus dari Fathan. Hari-hari sebagai seorang mahasiswi kedokteran sudah cukup membuatnya menggila...