Bagas seperti kesetanan mengendarai vixion milik Aldi. Peduli setan dengan lalu lintas Jakarta sedang ramai, dirinya tidak mempedulikannya sama sekali. Bagas memilih jalur paling kanan yang ramai akan mobil dibanding pemotor lain. Sialan dengan jarak antara rumah sakit dan kantornya yang terlampau jauh.
Bagas memaki dalam hati, jika tau begini dirinya tidak akan mau meninggalkan Cindy tanpa dirinya, minimal bersama komplotan teman-temannya.
***
Bisa dibilang sedikit beruntung, Cindy mengalami kejadiaan naas tadi di kawasan Dinas Kesehatan yang ternyata memiliki ambulance kusus dan beberapa staff medis didalamnya. Sehingga Cindy bisa ditangani oleh orang yang tepat di dalam ambulance selama perjalanan ke rumah sakit. Sementara Ijal terus menemani Cindy disampingnya sampai terus beberapa kali mencoba panggilan telepon ke Bagas.
Sesampainya di rumah sakit, Cindy langsung diarahkan menuju Unit Gawat Darurat dimana pada saat yang bersamaan Fathan sedang shift disana. Beberapa perawat juga ikut menangani Cindy yang semakin hilang kesadaran.
“TTV?” Fathan datang dengan tergesa-gesa menghampiri bed tempat Cindy berbaring lemah. Fathan sedikit bersyukur tenaga medis sebelumnya sudah memberikan balutan emergency pada luka Cindy untuk menghindari pendarahan berlebih.
“RR 18x/menit, Pulse 55x/menit, TD 80/40, SaO2 94%, akral teraba dingin, Hb 8, GCS Somnolen, luka tusuk derajat 2,” Fathan mengangguk paham, tubuh Cindy memang teraba dingin bahkan wajahnya yang putih semakin terlihat pucat.
“Dia ada riwayat anemia dan hipotensi, siapkan segera transfuse darah, siapkan juga ruang operasi, kita CITO segera untuk menutupi lukanya, saya yang tangani,”
“Tapi Dok, kita belum tahu rekam medisnya saat ini seperti apa termasuk alergi obat-obatan, lateks bahkan golongan darah pastinya, sementara wali yang mengantarkan tadi bahkan tidak terlalu paham kondisi klinis pasien,” si perawat yang sedari tadi menemani Fathan seperti menyergah omongannya.
Fathan mengelus peluh di dahi Cindy seraya menghela nafas kesal, beruntung IGD sedang sepi jadi dirinya tidak terlalu emosi dengan omongan perawat barusan, “Ini pasien beberapa tahun lalu yang terkena DBD dan 3 bulan kemarin baru aja kena tifus, rekam medisnya masih saya simpan baik-baik di kantor saya silahkan kamu cek sendiri, untuk urusan walinya biar saya saja yang mewakili,” Fathan masih ingin melanjutkan omongannya,
“Ah, satu lagi, saya mau tanya sama kamu, disaat seperti ini apa masih perlu menanyakan kesediaan wali padahal pasien sudah hampir apatis? Saya kira kamu cukup mumpuni ditugaskan di emergency ini,” lanjut Fathan seraya melepaskan pengait bed Cindy dari tempatnya. Bersamaan dengan itu Ijal muncul dari balik tirai pemisah,
“Jal, bantuin saya bawa Cindy ke ruang operasi di lantai 2,” Ijal mengangguk. Sedangkan perawat yang terkena semprot tadi hanya memandang kepergian Ijal dan Fathan dengan perasaan bersalah.
***
Bagas berlari disepanjang koridor lantai 2, mencari keberadaan ruang IBS, tempat dimana Cindy sedang dijahit lukanya.
“Bang!” dari kejauhan samar-samar Bagas melihat Ijal yang memanggil namanya. Bagas kemudian mendekatinya, nampak jelas bagian bawah baju Ijal sudah penuh dengan ceceran darah. Tanpa perlu bertanya lagi, Bagas sudah paham itu semua darah Cindy.
Bagas tertunduk lemas saat melihat jalannya jam diatas pintu ruangan IBS yang menunjukan bahwa operasi sudah berjalan lebih dari 30 menit. Tanpa sadar air matanya turun kali ini, keadaan Bagas benar-benar tidak terkendali. Ijal kemudian berusaha menyamakan posisinya, “Maafin Ijal Bang, nggak bisa jaga Mba Cindy,”
Bagas hanya menggubrisnya dengan tepukan dibahu Ijal yang menandakan tidak apa-apa, bagaimanapun ini juga salahnya karena tidak benar-benar mengecek keberadaan dan keamanan Cindy dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
General Fiction./hope that the story isn't over yet, -shubhangi./ Yacindy Pramidhita tidak pernah berharap untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki manapun selepas putus dari Fathan. Hari-hari sebagai seorang mahasiswi kedokteran sudah cukup membuatnya menggila...