Kolam renangnya tidak begitu dalam karena Cindy sendiri menggunakan heels, jadi gadis itu masih bisa bertahan menyeimbangkan tubuhnya agar tidak tenggelam. Bagas mengerjap panik ketika Cindy tercebur ke dalam sana, segera lelaki itu melepaskan jas hitamnya dan ikut masuk ke kolam menyelamatkan Cindy.
Semua pandangan mata mengarah ke mereka, Cindy sendiri bisa mengendalikan tubuhnya agar tidak terlihat perlu dikasihani meskipun tubuhnya sendiri tidak bisa berbohong, Cindy agak gemetar menahan dingin.
Tante Heni dan Tante Ifah langsung bertindak segera mendekati Cindy, mengalungkan handuk yang diberikan cuma-cuma oleh pihak restaurant ke tubuh mungilnya.“Ya ampun Cindy, nggak apa-apa, Nak?” keluh Tante Heni sambil memandang sinis ke Astrid.
Astrid berdiri mematung seperti kebakaran jenggot, dirinya kemudian berlari menjauhi kerumunan namun kalah cepat dengan Ifah yang segera menggeret kasar tangan Astrid menuju kolam renang. Biar sama-sama impas.
“Masih dingin?” Cindy tengah duduk di gazebo yang letaknya agak jauh dari kolam renang, sementara Bagas duduk berjongkok dihadapan Cindy sambil sesekali menggenggam tangannya.
Heni berusaha mengeringkan rambut Cindy sementara jas Bagas sedari tadi sudah dikalungkan dipundak Cindy untuk menggantikan fungsi dari handuk yang sudah basah. Dipojokkan Aira menangis terisak yang sedang ditangani oleh suaminya.
“Bawa pulang aja Mas, Cindynya,” seru Heni, bagaimanapun kalau mereka tidak segera ganti baju bisa-bisa terkena flu.
“Oke.” Tanpa menunggu persetujuan dari Cindy, Bagas langsung menggandeng tangannya menuju pintu keluar samping—alih-alih melalui pintu depan.
Tidak ada perbincangan diantara mereka berdua selama perjalanan, hingga Bagas mengantarkan Cindy ke pintu depan kamar kostnya.
“Langsung ganti baju ya, terus tidur,”
Cindy menggangguk sambil mengeluarkan suara lirih, “Jasnya?”
“Bawa aja,” Bagas menepuk pelan rambut Cindy seperti biasa kemudian berpamitan pulang. Bagas sudah cukup mengenal Cindy, dikondisi seperti ini Cindy memang tidak akan langsung cerita, lebih memilih diam dan memendamnya.
Tepat saat turun tangga, Bagas bertemu Frisca yang sibuk membawa bungkusan plastik berisi makanan.
“Bakmi rebus, lo mau?” tawar Frisca
“Nggak buat lo aja, nitip Cindy sekalian, kalau ada apa-apa bilang,”
Frisca menggangguk mengiyakan dan bergegas melanjutkan langkahnya menuju lantai 2 kamar Cindy. Kebetulan tadi saat Frisca ingin keluar membeli makan malam berpapasan dengan Bagas di gerbang, tanpa harus ditanya dua kali Frisca sudah paham dengan apa yang terjadi diantara dua sejoli itu—basah-basahan malam-malam.
Tck, sedih banget idup sahabat gue
***
Bagas baru bisa tidur setelah jam 01.00 malam, karena harus memastikan keadaan Cindy terlebih dahulu lewat Frisca. Frisca sendiri bilang jika Cindy baru bisa tidur setelah makan bareng Frisca kira-kira jam 12 malam.
Bagas terbangun ketika ponselnya berdering terus menerus sejak tadi, dilihatnya langit yang masih gelap gulita.“Jam 5 pagi?” Bagas mengerinyit ketika melihat nama si penelpon.
“Kenapa Al?”
“Jaya ketembak dijalan sama orang yang nggak dikenal, Suh, pas kita lagi mau pindahin tahanan ke penjara,”
Bagas kaget, segera dia bangun dari posisi tidurnya, “Terus?”
“Dani sama Jose kabur pas kita lengah,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
General Fiction./hope that the story isn't over yet, -shubhangi./ Yacindy Pramidhita tidak pernah berharap untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki manapun selepas putus dari Fathan. Hari-hari sebagai seorang mahasiswi kedokteran sudah cukup membuatnya menggila...