Matahari bahkan belum keluar dari peraduannya, namun Bagas, Ricky serta dua rekannya yang lain sudah bersiap dengan alat tempur mereka masing-masing. Bagas tengah membaca denah lokasi ketika Ricky sedang menjelaskan rundown dari acara explore kampus hari ini.
“Biasanya setelah mereka keluar dari graha, pihak panitia bakalan ngarahin si mahasiswa baru ini ke area belakang, ke arah lapangan, nah disana biasanya perkumpulan organisasi mahasiswa ekstrakampus bakal unjuk gigi,”
Perkuliahan semester 7 memang sudah berjalan hampir empat minggu, namun untuk acara puncak sendiri atau bisa disebut puncak dari segala kegiatan ospek akan dilaksanakan hari ini, mulai dari pagi hingga malam.
“Buron kita kali ini biasanya akan menyamar jadi bagian mahasiswa ekstrakampus itu, sebentar sebentar gua lupa namanya apa, tapi yang jelas ini nggak begitu terkenal,” Ricky menggaruk-garuk dagu berusaha mengingat sesuatu.
“Ah! Gue inget!”
“Namanya Kominik, Komunitas Literasi Novel dan Komik, tapi itu tahun lalu, beberapa sumber mengatakan organisasi ini selalu ganti nama tiap tahunnya,” sela Bagas sebelum Ricky selesai melanjutkan kalimatnya.
“Nah! Itu maksud gue, Gas!”
“Target mereka kebanyakan itu maba yang emang polos, penampilannya agak sedikit nerd, sekelas anak-anak introvert yang emang nggak mau bergaul, kalo kalian liat perkumpulan kayak gitu, coba kalian datengin,”
“Satu lagi, sesuai namanya, biasanya mereka nyari anak-anak yang suka anime, suka baca novel, kalian tau sendiri pasti ciri-cirinya kayak gimana,” Bagas menambahkan
“Siap, Ndan!”
Kali ini Bagas bertugas berempat dalam satu tim termasuk dirinya. Sebagai seorang kapten, Bagas hanya akan memberikan tugas untuk misi hari ini kepada bawahannya, Ricky, Gio, dan Obi. Gio dan Obi akan berpura-pura menjadi mahasiswa baru, Ricky akan berpura-pura bertugas merangkap sebagai panitia kegiatan explore kampus sedangkan Bagas hanya akan mengawasi kegiatan anak buahnya.
“Oke sebelum kita memulai misi hari ini, ada baiknya kita berdoa terlebih dahulu, ingat hari ini kita baru mulai melakukan pengintaian, belum penangkapan, berdoa dimulai,”
***
“Cindy, kamu yakin mau menggunakan sample jenis purposive ini?”
“Yakin dok, karena setelah saya literasi lebih dalam lagi, jenis sample ini sesuai dengan topik permasalahan dalam skripsi saya,”
“Saya nggak melarang dan nggak menyarankan juga, tapi coba kamu compare dengan teknik lain seperti consecutive atau accidental,” Dokter Fairuz menghela nafas sejenak.
“Kamu anak bimbingan pertama saya yang langkahnya sudah sejauh ini, saya apresiasi semua usaha kamu, proposal skripsi kamu saya ACC, silahkan daftar sidang proposal untuk bulan ini Cindy, saya tunggu kabarnya,”
“Ah? Hm? Gimana dok? Terus ini jenis samplingnya bagaimana dok? Kan belum fix dok,”
“Cin, masalah sampling itu bisa dibahas via chat sama saya, mending sekarang kamu segera ke bapendik fakultas untuk mendaftar, proposal kamu sudah saya tanda tangani ACC juga,”
“Si-siap, dok,” Cindy masih tidak percaya sebenernya kalau hari ini proposalnya akan di ACC, pantas saja dari tadi Dokter Fairuz tidak mau membuat coretan di proposal skripsinya.
“Dokter Ira bagaimana?”
“Beliau sudah menyetujui, Dok, minggu lalu,”
“Oke, saya tunggu kabar sidang-mu, maksimal besok lusa kabari saya,”
“Baik, Dok,”
***
Cindy keluar ruangan dengan wajah ditekuk, sahabatnya Frisca yang menunggu di depan ruangan juga beraut wajah sama. Sebenarnya yang menjadi permasalahan terkait raut wajah Cindy bukanlah soal proposal skripsinya yang tiba-tiba di ACC, melainkan dirinya merasa tidak enak hati dengan Frisca yang dimana mereka berdua sudah berjanji akan maju sidang dari mulai proposal hingga hasil bersama-sama.
“Cin, gue mau ngomong,” Frisca memulai percakapan saat Cindy sudah duduk disebelahnya.
“Gue juga,” Cindy lesu dan tidak ingin menengok ke arah orang yang ingin diajak mengobrol
“Proposal gue di ACC dokter Fahmi barusan banget, Cin, gimana dong?” Cindy melotot mendengarnya.
“Lah anjir! Gue juga barusan di acc sama dokter Fairuz!”
“AYO GAS BAPENDIK!”
Mereka berdua hanya bisa tertawa saat berjalan bersama menuju ruangan bapendik fakultas kedokteran.
***
Cindy memutuskan pulang cepat hari ini, selain karena ingin menyiapkan diri untuk ujian proposal minggu depan, Cindy tiba-tiba merasa shock setelah dari bapendik ketika mengetahui jadwal dan penguji untuk sidang perdananya kali ini. Cindy kebagian jadwal di hari senin dan diuji oleh Professor Gunawan serta Dokter Desi, yang tidak lain dan tidak bukan, Professor Gunawan adalah dosen terdekatnya selama menjadi mahasiswa di FK. Sekarang ini hari Jumat, Cindy hanya memiliki sisa waktu 2 hari lagi untuk menyiapkan segalanya. Untung saja segala materi sudah Cindy serap dan pahami jauh-jauh hari jadi Cindy hanya tinggal mereview beberapa sekaligus merevisi sedikit dibagian penulisan sample sesuai saran Dokter Fairuz.
Alasan lain yang membuat Cindy buru-buru pulang cepat tidak lain karena tiba-tiba hari ini dirinya diserang haid hari pertama, tentu saja mood Cindy menjadi anjlok karena lebih berfokus pada nyeri perut yang dirasakan sekarang. Sejak tadi dirinya terus menggosokan minyak kayu putih ke perutnya, belum lagi saat ini kepalanya ikut-ikutan pusing. Ini pasti dampak dari anemia serta hipotensi yang dimilikinya.
“Woy, Cindy, buruan keluar, cucian baju sama piring numpuk itu!”
Suara itu, suara Tante Astrid.
“Cindy lagi sakit,” balas teriak Cindy dari kamar.
“Orang sakit suaranya nggak segede itu apalagi sampai teriak, keluar lo buruan!” perintah Astrid kali ini lebih keras.
Kesal bukan main dengan tingkah tantenya itu, Cindy keluar kamar sambil membanting pintu. Jelas saja Astrid semakin emosi.
Bau minuman keras lagi? monolog Cindy ketika sedang memilah-milah cucian.
Cindy semakin kesal tentunya karena pakaian yang bau minuman keras itu tercampur dengan pakaian kuliahnya, Belum lagi pakaian tantenya sendiri yang kurang bahan dan seperti memakai parfum hampir setengah botol yang baunya tidak hilang-hilang. Kalau kata Frisca, ini jenis parfum ciri-ciri pelakor.
Cindy memisahkan pakaian-pakaian milik om dan tantenya itu ke tempat yang hampir mirip tong sampah dan mulai memasukan pakaian lainnya ke mesin cuci untuk disetrika.
Satu jam berlalu Cindy selesai dengan urusan mencuci baju dan piring, sekarang tinggal saat berleha-leha, Cindy berniat untuk mandi sebelum itu.
Ceklek. Pintu kamarnya terbuka, dan BRAK, setumpuk pakaian milik om dan tantenya dilemparkan ke wajah Cindy oleh Astrid.
“Gue nyuruh lo buat nyuci semua baju ya, bodoh!”
Dengan tampang kesal Cindy menarik semua pakaian yang dilemparkan Astrid ke wajahnya. Cindy kemudian merapihkan rambutnya yang berantakan karena ulah barusan, “Lo tau kan gue punya sinusitis? Nih, asal lo tau nih, pakaian bejat milik lo sama suami lo, bikin sinus gue kambuh, paham?!” balas Cindy. Sinusitis hanya kiasan, jelas-jelas si tantenya yang bodoh ini pasti tidak tau apa itu sinusitis.
Plak. Satu tamparan mengenai pipi Cindy.
“Yaaa!!!” Cindy teriak, keadaan semakin panas.
“Apa?! Hah?! Dasar ponakan kurang ajar, masih untung lo hidup enak disini! Suruh bantu orang tua dikit aja nggak mau!”
“Bantu apa hah? Bantu biar gue jadi babu lo gitu?!”
“Iya lo babu di rumah ini!!!” nada Astrid naik satu oktaf.
“Oh babu? Seenggaknya gue babu yang berpendidikan, nggak kayak lo! Manusia nista! Minggir gue mau lewat!” Cindy juga tidak mau kalah, salahkan tantenya yang mencari ribut dihari pertama Cindy menstruasi.
Beruntung Cindy belum melepaskan pakaiannya dari kampus. Dengan rambutnya yang masih berantakan, Cindy menyampirkan sling bag hitamnya yang kebetulan tergantung didekat pintu, tidak lupa dompet dan ponsel yang segera Cindy ambil dari atas meja.
“Lo ngerti minggir nggak?!” Cindy kembali meneriaki Astrid yang masih tersender di pintu. Merasa tidak digubris Cindy kemudian mengambil semua pakaian yang berjatuhan di lantai kamarnya dan membuangnya sembarang ke arah jendela kamar.
Bodo amat dengan Astrid yang semakin meradang, Cindy sama sekali tidak memedulikannya. Ke kampus adalah tujuan yang terlintas di pikirannya kali ini, segera saja Cindy memesan ojek online untuk menjemputnya di depan gang alih-alih mengenderai motor karena mentalnya yang kali ini tidak stabil.
***
“Lo dimana, Gas?” Ricky menelpon Bagas untuk memastikan posisi kaptennya kali ini.
“Pintu keluar sebelah utara, gue disebelah tukang cendol,” balas Bagas.
“Ngapain lo disana?”
“Aus lah, lo kira gue mau ngemis disini,” canda Bagas saat berusaha mencari alasan kenapa dirinya bisa berdiri disini.
“Oke, gue tutup dulu,”
Sebenarnya Bagas memilih tempat ini selain karena mudah untuk memantau situasi buron, juga karena tempatnya yang nyaman dan tepat dibawah pohon rindang alih-alih berada ditengah-tengah pengapnya mahasiswa yang sedang hilir mudik mencari stand makanan di saat jam istirahat explore kampus ini belum lagi langit sedang panas-panasnya.
“Masnya lagi nungguin siapa mas? Kalau diliat dari seragam kayaknya sih mas bukan mahasiswa baru,” selidik tukang cendol yang sedang duduk bersama Bagas kali ini.
“Oh anu pak, lagi nungguin adik saya, kebetulan dia minta dijemput dipintu keluar,”
“Loh acaranaya kan belum keluar mas? Ini aja baru istirahat, Mas,”
“Iya, Pak, adik saya lagi nggak enak badan katanya, makanya minta pulang duluan tadi ke panitia,” balas sopan Bagas.
“Oh kalau gitu salam buat adiknya, semoga cepet sembuh ya, Mas,”
“Nggih, Pak,” balas sengaja membalas dengan aksen jawa karena dirinya paham jika si penjual cendolnya kali ini berasal dari suku itu jika dilihat dari logat bicaranya.
Selagi asyik menyeruput es cendolnya, dari kejauhan Bagas melihat pemandangan sosok yang tidak asing akhir-akhir ini. Sepuluh meter didepan sana, ada Cindy, dan Bagas semakin panik ketika Cindy berhenti di salah satu stand yang tidak Bagas harapkan.
***
Cindy tidak memiliki ketertarikan tertentu terhadap novel-novel fiksi semenjak tiga tahun lalu, tepatnya semenjak dirinya menjadi maba. Kesibukannya dengan buku-buku handbook tebal kedokteran membuat Cindy harus sejenak hiatus membaca karya-karya fiksi dari penulis favoritenya.
Namun sejak dirinya memasuki stand-stand yang berjejer rapih dibelakang graha utama universitas tepatnya di acara explore kampus, pandangannya terus tertuju ke sebuah stand dengan jejeran rak-rak buku yang tertata rapih milik sebuah ormawa. Cindy penasaran dengan stand itu dan berniat mampir sebentar.
Baru saja ingin melangkahkan kakinya masuk ke dalam stand tenda, sebuah lengan besar menggapai bahu Cindy dan menggiringnya untuk berjalan bersama. Cindy belum sepenuhnya sadar sampai ketika organ penciumannya mengirimkan sebuah signal yang menyadarkannya bahwa ini adalah wangi parfum yang familiar.
“Terus aja jalan, jangan coba-coba berhenti di stand manapun itu,”
Kupu-kupu di perut Cindy seperti berterbangan ketika suara itu membisikan kata-kata dan menghangatkan telinga kiri Cindy.
Setelah beberapa meter menjauh dari kumpulan stand itu, Bagas melepaskan rangkulannya dari bahu Cindy. Kemudian disusul Cindy yang memberanikan diri menengok ke arah Bagas. Mereka masih berjalan berdampingan.
“Kok?” singkatnya Cindy meminta penjelasan ke Bagas.
“Ternyata meskipun kamu sudah jadi mahasiswa tingkat akhir tapi kamu masih polos soal masalah begini,”
“Maksudnya?” mereka berdua berhenti setelah beberapa langkah berjalan. Berdiri berhadap-hadapan Cindy kali ini bisa melihat secara head to toe penampilan Bagas. Jeans hitam, kaos bertuliskan Nevada, dan bomber jacket dengan warna yang senada celana sudah cukup membuat Cindy menelan ludah dengan penampilan Bagas kali ini.
“Perkumpulan kayak gitu bukan organisasi yang terikat sama kampus, Cin, mereka organisasi luar, meskipun mereka terlihat biasa aja, tapi kamu nggak akan tau bagaimana isinya, misalnya disuatu hari kamu ada problem sama organisasi itu karena kamu salah satu anggotanya, kampus nggak akan mau bertanggung jawab sekalipun kamu masih mahasiswa mereka,”
“Ah tapi, gue nggak ada niatan mau gabung, kenapa lo jadi bahas gitu?”
“Gini Cin, meskipun kamu nggak berniat gabung, pasti mereka akan terus meneror kamu untuk meminta gabung, biasanya mereka bakal ngehubungin kamu lewat nomer telepon yang kamu tinggalin waktu mau registrasi,”
Cindy semakin pusing dengan penjelasan Bagas.
“Kok kamu bisa paham banget sih, Gas?”
“Ah, itu, pasti semua mahasiswa saya kira sudah paham,”
Kruk kruk kruk, bunyi perut Cindy. Obrolan mereka berhenti sesaat.
“Kamu lapar?”
“Ah, iya, terakhir makan tadi pagi,”
“Sekarang udah jam 2, gimana kalau ki-,”
“Permisi kakak-kakak semua, saya Dicky dari panitia konsumsi, kebetulan konsumsi kami masih sisa banyak banget hari ini karena banyak juga mahasiswa yang tiba-tiba pulang dipertengahan acara, ini saya kebetulan bawa dua bungkus nasi kotak buat kakak-kakak berdua buat dimakan kalau berkenan, Kak, gimana?” seseorang berkaos merah maroon datang dari arah timur ketika Cindy dan Bagas tengah mengobrol.
“Loh ini kan lo yang anak buah Mang Ojes?!”
“Loh iya ini kan mbaknya yang pas itu makan malem-malam saya body guardnya hehehe, kenalin Mba saya Dicky, mahasiswa pertanian sekaligus karyawan magang di mang ojes sekaligus panitia konsumsi di acara akbar kampus ini, Mba,” Ricky memperkenalkan diri dengan jumawa, sedangkan Bagas hanya bisa menepuk jidat melihat kelakuan anaknya buah ini.
Bisa-bisanya dia membuat nama samaran dan menciduk dirinya saat sedang bersama Cindy. Sementara itu ketika memperkenalkan diri ke Bagas, Ricky tidak lupa memberikan smirk jahat dan wink.
“Gimana, Kak? Lumayan kak didalamnya ada ayam goreng sama capcay,”
“Boleh, saya ambil, terima kasih ya Dicky” dengan sigap Bagas mengambil dua kotak nasi itu dan langsung bergegas meninggalkan Ricky, tidak lupa dirinya juga menggait lengan Cindy agar menjauh dari si kampret Ricky.
“Makasih Ricky! Semoga berkah hidup lo!” teriak Cindy saat mulai berjalan menjauh.
“Kita makan di danau bebek mau?” tawar Bagas
“Boleh,”
“Sebentar saya beli teh poci dulu, nggak mukin kan kita makan nggak ada minumnya,”
“Eh,” kali ini Cindy menahan lengan Bagas,
“Kenapa?”
“Gue lagi haid, nggak boleh minum teh manis, diganti air mineral aja,” Bagas tersenyum menggangguk.
Dari kejauahan Ricky tersenyum girang melihat kaptennya sudah mau bergerak mendekati perempuan. Setidaknya untuk saat ini rumor kalau Bagas gay bisa ditepis, masa bodo dengan tantangan dare tempo hari, melihat bosnya sendiri tersenyum sudah lebih dari cukup. Ricky hanya tinggal berdoa semoga ulahnya tadi tidak akan membuat Bagas menceramahi dirinya saat eval kegiatan nanti malam.
[TO BE CONTINUED]
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
General Fiction./hope that the story isn't over yet, -shubhangi./ Yacindy Pramidhita tidak pernah berharap untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki manapun selepas putus dari Fathan. Hari-hari sebagai seorang mahasiswi kedokteran sudah cukup membuatnya menggila...