“Mba Cindy abis putus lagi sama Kak Fathan?”
Akhirnya Ijal membuka percakapan sepanjang perjalanan dari gelanggang olahraga ke rumah Cindy. Namun sayang, Cindy masih fokus pada lamunannya
.
“Woi!” satu pukulan keras di bagian lutut membuyarkan konsentrasi Cindy, siapa lagi pelakunya kalau bukan Ijal yang saat ini sedang mengendarai motor scoopy matic milik Cindy.
“Tau dari mana lo?”
“Kue yang lo kasih ada sticky notenya, mana ada sticky note from dari Fathan-nya pula,”
“Gue kesel kalau inget minggu lalu Jal, janjian mau malem mingguan udah gue tunggu-tungguin malah di cancel, giliran bukan snap instagramnya dia lagi asyik udek-udek pasien usus buntu,”
“Positive thinking aja sih, Mba kali aja emang itu pasien emergency,”
“Sejak kapan pasien apendisitis masuk case emergency?”
Ijal terdiam, seperti biasa, semua laki-laki sepertinya akan selalu kalah debat kalau sudah berbicara dengan Cindy. Beruntung juga saat ini mereka sudah sampai didepan gang rumah Cindy.
“Makasih ya Mba kuenya, lumayan bisa buat sarapan besok gue sama Fajar,”
“Makasih juga udah mau anterin gue balik,” kali ini Cindy mengambil alih kemudi setelah Ijal turun.
“Terus lo balik gimana?” sambung Cindy
“Fajar jemput depan komplek, Mba, ini anaknya lagi otw dari kampus,”
“Oke, titi dj, gue masuk dulu,”
Ijal hanya menggangguk, kemudian melambaikan tangannya saat Cindy sudah semakin jauh memasuki gang menuju rumahnya. Tidak lama setelah itu handphone Ijal bergetar, satu panggilan dari nomer yang familiar muncul di display.
“Cindy aman?” pertanyaan to the point dari orang di seberang sana.
“Aman Kak, dia nggak ngeluh pusing tapi tadi keluar keringet banyak banget,”
“Dia kepanasan?”
“Iya,”
“Oke, thanks infonya,”
Fathan tetaplah menjadi Fathan. Sekalipun hubungannya dengan Cindy sering renggang karena kesibukannya sebagai PDSS, setidaknya Fathan harus selalu menomorsatukan kesehatan fisik Cindy. Sebenarnya ini bukan murni keinginannya, melainkan perintah sang ayah, Profesor Gunawan yang entah mengapa amat sangat menyayangi Cindy bagaikan anak sendiri. Fathan akui, Cindy memang cantik, dan hubungannya dengan Cindy selama 3 tahun ini murni karena Fathan yang jatuh cinta dengan fisik Cindy.
Namun seakan berjalannya waktu, bagi orang dewasa seperti Fathan, cinta karena fisik sepertinya tidak akan cukup.
***
“Mba Cindy baru pulang?” sambut Aira--sepupu Cindy, ketika Cindy baru saja membuka pagar.
“Loh kamu disini?”
“Mama sama papa pergi ke luar kota, jadi Aira sama Andre dititipin disini lagi,”
Sudah dua kali dalam sebulan ini, Aira dan Andre selalu ditinggal oleh kedua orang tuanya ke luar kota dan berakhir disini, heran memang, sesibuk itukah pekerjaan Chandra si om brengsek itu? batin Cindy sarkas.
“Mba Cindy mending cepet masuk, tadi eyang sama mbah putri masih di kamar, kalau tau Mba Cindy pulang larut lagi pasti Mba bakal kena semprot,”
“Oke,” jawab Cindy singkat.
Sebenarnya Cindy sudah cukup lelah tinggal di rumah ini. Selain karena tingkah kakek neneknya yang kelewat jahat dan seperti tidak pernah menganggap Cindy sebagai cucu, kelakuan dari Om Chandra dan Tante Astrid juga semakin menyiksa. Setidaknya hampir setiap bulan Cindy akan melihat Om Chandra datang ke rumah dalam keadaan mabuk. Kemudian akan dengan sengaja masuk ke kamar Cindy, mencari dompet milik Cindy untuk mengambil beberapa rupiah yang masih tersisa. Lalu esoknya Tante Astrid akan datang ke rumah sambil menyumpah serapahi suaminya yang sering tergeletak tak berdaya di bekas kamar mereka sehabis mabuk-mabukkan. Pertengkaran hebat akan terjadi dan anehnya kakek neneknya sendiri tidak akan mau untuk melerainya. Seakan itu tontonan yang mengasyikkan bagi mereka.
“Masih punya urat malu kamu?” suara itu, suara eyang kakung, alias kakeknya sendiri, menghentikan langkah Cindy untuk menaiki tangga menuju kamarnya
“Cindy habis jadi tim medis, yang,”
“Dibayar berapa kamu sama mereka?” lagi dan lagi, selalu saja, entah mata duitan atau memang sengaja untuk meledek.
“Mau eyang pakai apalagi uangnya?” seolah paham, uang dari hasil kerja sampingan Cindy pasti tidak akan pernah berakhir mulus di dompetnya. Kalau tidak om brengseknya itu, pasti si kakek-kakek ini yang mengambilnya.
“Kamu nggak perlu tau,”
Cindy mendelik.
“Terserah, tapi kali ini Cindy nggak dapet bayaran apa-apa,” Cindy memang tidak bohong, jadi tim medis tidak akan mendapat upah dari pihak panitia. Biasanya mereka hanya akan menyediakan jatah makan dan minum saja, oh satu lagi, bonus bisa lihat cowo-cowo tampan yang sedang menggiring bola.
“Kalau gitu kamu nggak usah makan malam ini,” singkat padat dan jelas jawaban dari sang kakek seraya meninggalkan Cindy.
“Hah?!” emosi dan lelah benar-benar menjadi satu kali ini. Cindy rasanya ingin menangis.
Singkatnya seperti itu. Obrolan Cindy dengan keluarganya tidak akan pernah terlepas dari uang dan makanan. Cindy tidak memberi uang, maka dia tidak akan makan. Padahal ayahnya tiap bulan sudah rutin mentransfer uang ke rekening Mbok Asih, orang kepercayaan ayah dan ibunya. Uang itu juga yang selanjutnya akan diberikan ke kakek neneknya. Meskipun Cindy tidak tau berapa jumlahnya, tapi sudah pasti itu bukan uang yang sedikit jika melihat menu makanan kakek neneknya. Belum lagi setiap bulan pasti selalu ada barang baru yang dibeli.
Di saat-saat seperti ini Cindy rasanya ingin memaki kedua orang tuanya. Bagaimana bisa mereka lebih memilih mengirim uang ke kakek nenek yang tidak tau diri, dibanding ke anak sendiri yang selalu merasa kelaparan.
***
Waroeng Kekinian, sebuah café bergaya American industrial ini terletak dipinggiran Jakarta. Sebuah hidden place yang sering dijadikan tempang nogkrong dadakan oleh Bagas, Ricky, Aldi, dan Seno jika sudah kelewat jenuh dengan tugas-tugas negara yang mereka emban. Empat serangkai yang sudah bersahabat sejak awal memasuki dunia keintelijenan. Bermula dari saat masa-masa pendaftaran dan penyerahan berkas-berkas, kemudian menjalankan berbagai macam tes-tes, hingga pantukhir dan berakhir di agen divisi masing-masing sebagai seorang “intel”.
“YES, UNO!” teriak Seno girang, hari ini adalah hari kemenangannya.
Sementara Bagas, Ricky, dan Aldi masih harus bertarung di permainan UNO mereka kali ini.
“Bro, lo masih mau fokus ngerjain tugas paper lo,?”
“Bukan paper, tapi makalah kelompok,” Seno, Ricky, dan Aldi tidak kuasa menahan tawa, bagaimana tidak, di usia Bagas yang menginjak 28 tahun dirinya harus kembali menjadi mahasiswa untuk pekerjaannya kali ini. Dan seperti sebuah double kill, yang namanya mahasiswa pasti tidak akan terlepas dari makalah.
“Gue tau lo cinta mati sama dunia per-algoritma-an, khususnya buat ngerjaian makalah jadi-jadian lo kali ini, tapi kenapa muka lo merengut gitu?” ledek Ricky.
“Gue masih nggak habis pikir, ada gitu mahasiswa semester 6 yang ngurus sitasi teori aja nggak bisa?”
Seno, Ricky, Aldi sontak terdiam. Memang kalau soal kerapihan dalam penulisan Bagas tidak akan terkalahkan. Bahkan untuk ukuran tulisan tangan seorang cowok, Bagas memiliki tulisan yang rapih dan bisa dibilang “indah”.
“UNO” ucap Ricky
“UNO” kali ini Aldi
Bagas kaget, sangking fokusnya dengan makalah sialan ini dirinya sampai lupa kalau sedang bermain uno dengan ketiga sahabatnya.
“Sesuai perjanjian diawal, yang kalah DARE,”
“What? Kapan bilangnya?!” Bagas semakin kaget, jelas saja, dare yang biasa mereka lakukan adalah dare yang mempertaruhkan mental. Terakhir, saat Seno kalah, dirinya ditantang harus naik hysteria di Dufan padahal jelas-jelan Seno fobia ketinggian.
“Waktu lo masih sibuk bikin cover!” sergah Seno,
“Oke, well, berhubung di café ini nggak ada yang menarik perhatian kita, gimana kalau,” Aldi memulai tantangan sialan kali ini.
“Dalam tiga hari lo harus bisa kenalin kita satu orang cewek!” lanjut Seno
“Kalau nggak,” Aldi melanjutkan.
“Kalau nggak lo bakal kita bawa ke klinik kecantikan dokter Aida buat disuntik vitamin C!” semangat Ricky
“NO!” Bagas panik, bagaimanapun juga dirinya paling fobia dengan jarum suntik.
“SETUJU!”
“NICE IDEA!”
“SEPAKAT!”
Malam semakin larut, permainan uno sialan dengan bonus dare bagi Bagas oleh keempat sahabat menjelang usia 30 tahun itu berakhir. Seno, Ricky, dan Aldi berakhir bahagia, sedangkan Bagas semakin tak tenang.
***
“Maafin Mbok Asih ya, Mba, gara-gara Mbok, Mba Cindy jadi nggak makan malam,”
“Nggak apa-apa, Mbok,” ujar Cindy yang masih asyik mengunyah nasi kuningnya.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Cindy, setiap akan berangkat kuliah dirinya akan mampir ke rumah Mbok Asih dan Pak Ahmad untuk sarapan. Kedua suami istri yang sudah Cindy anggap sebagai keluarga sesungguhnya. Hanya berbeda beberapa blok dari rumahnya, setidaknya mampir ke rumah Mbok Asih bukan sebuah masalah. Jangan harap, saat pagi hari di rumah bak neraka itu Cindy akan menemukan sarapan atau minimal teh manis hangat. Kakek dan neneknya tidak sebaik itu.
“Kemarin Mbok ke rumah saudara di Depok, mbok kira nggak bakal lama, tapi taunya malah sampai malam, mana kejebak macet, Mbak, ya ampun,”
Cindy hanya menggangguk sambil menikmati sarapannya.
“Oh iya, semalem mbok dapet transferan dari ayah Mbak Cindy, mbok ambilin uangnya ya?”
“Eh nggak usah, Mbok, di transfer aja ke rekening Cindy bisa nggak? Minta tolong Mas Aris buat transfer? Perasaan Cindy nggak enak kalau harus megang uang cash sebanyak itu, takut diambil lagi sama si brengsek Chandra,”
Mbok Asih terkejut, pasti gara-gara ini Cindy jadi semakin kurus. Jatah uang jajan, uang kuliah, hingga uang bensin biasanya akan ditransfer ayah Cindy melalui Mbok Asih. Tapi berhubung Cindy diam-diam memiliki rekening pribadi, jadi sekarang sepertinya akan lebih aman kalau disimpan dalam tabungan, alih-alih harus disimpan dalam bentuk cash.
“Ya udah ya, Mbok, Cindy pamit kuliah dulu, nanti rekeningnya Cindy kasih lewat chat ke Mas Aris,”
***
Jarum jam sudah menunjukan pukul 11.15, 15 menit lagi perpustakaan pusat akan tutup. Cindy kemudian segera bersiap membereskan barangnya.
“Ca udah mau tutup,” Cindy berusaha mengingatkan Frisca yang masih asyik mengerjakan skripsinya.
“Gue mau lanjut di gazebo, lo mau kemana?”
“Gue disuruh ke dekanat, katanya prof nyariin gue, sekalian abis itu ke kantin, lo nggak mau makan?”
“Nggak kayaknya, gue brunch tadi jam 10 sebelum kesini,”
“Oke, gue duluan,”
Sebelum meninggalkan perpustakaan, Cindy harus mengembalikan terlebih dahulu beberapa buku yang dipinjamnya. Berhubung ini adalah perpustaan pusat milik universitas tentu saja disaat jam mendekati istirahat ini akan semakin ramai karena ada yang harus mengembalikan buku, menuruni tangga, hingga mengantri untuk meminjam.
Kebetulan juga dibagian ground terdapat tempat percetakan dan fotokopian, Cindy berniat mampir sebentar untuk mengeprint name tag asisten dosen yang akan digunakan saat OSCE adik tingkatnya. Seperti biasa, Cindy akan membantu Prof. Gunawan untuk mengatur jalannya ujian OSCE sekaligus menginput nilai apakah mahasiswa yang bersangkutan lulus atau tidak lulus ujian.
“Mas Epoy!” akrab Cindy dengan abang-abang fotokopian langganannya sejak maba.
“Wih, ada Mba Cin, setelah sekian purnama nggak nongol akhirnya keliatan juga,"
“Biasalah, sibuk, mau ngeprint sekalian laminating bisa?”
“Sok, Mba, klik aja mousenya, kalau mau warna epson 2, item putih copy-2,”
Cindy mengacungkan jempolnya. Beruntung juga tempat ini sedang sepi karena hanya ada Cindy dan satu orang mahasiswa laki-laki.
“Mas, ada kertas yang biasa buat cover?”
Suara itu, Cindy merasa familiar.
Ah yang punya suara gitu nggak cuma dia, monolog Cindy dalam hati.
“Ada Mas,”
Setelah Cindy selesai mengedit sedikit name tagnya agar sesuai dengan permintaan Prof. Gunawan, Cindy kemudian mengeklik ctrl + p untuk print.
Terdengar bunyi mesin printer yang sedang bekerja, 20 detik kemudian mesin itu selesai bekerja. Cindy hendak mengambil kertasnya. Namun bukan kertas yang disentuh kali ini, tapi sesuatu yang keras seperti lengan pria yang senang nge-gym. Merasa ada yang tidak beres, Cindy mengalihkan pandangannya dari monitor ke mesin printer di sebelah kirinya.
Tatapan mereka bertemu lagi.
“Sorry, Cindy, ini punya kamu kayaknya,” laki-laki itu membuka masker yang menutupi wajahnya.
Celana skinny fits abu, kemeja hitam lengan disikuin, plus dada bidang, sejak kapan teknik punya mahluk kayak gini, Cindy masih melamun menatap laki-laki didepannya.
“Ah, kalau kamu lupa, saya Bagas,”
Cindy mengerjap saat laki-laki itu kembali memperkenalkan dirinya.
“Oh, iya, eh, kok,” Cindy masih linglung. Sedangkan name tagnya yang salah print saat ini ada di tangan Bagas.
“Sorry Cindy, terus ini bagaimana? Benar punya kamu? Berhubung kertasnya sama kayak saya,” jelas Bagas
Sebenarnya Cindy hanya ingin mengeprint di kertas hvs biasa, tetapi berujung pada salah print di kertas milik Bagas yang ukurannya jauh lebih tebal karena khusus untuk cover, kertas berwarna tosca.
“Duh, eh, buat kamu aja, saya nggak jadi ngeprint,”
Sepertinya anxiety attack Cindy kambuh ketika melihat cowok seganteng Bagas ini. Perempuan itu dengan segera mencabut flash disknya kemudian menyampirkan tote bag ke pundak dan berlalu pergi seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
“Eh, Mba Cindy nggak jadi ngeprint?” teriak Mas Epoy ketika Cindy berlari menjauh
“Nggak! Sorry Mas!”
Sementara di tempatnya Bagas mengulum senyuman ketika melihat sesuatu yang saat ini dia genggam.
ASISTEN LABORAT STASE BEDAH: SISTEM SARAF
YACINDY PRAMIDITHA
170110620021
PRASAT: PX. SARAF KRANIAL
[TO BE CONTINUED]
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
General Fiction./hope that the story isn't over yet, -shubhangi./ Yacindy Pramidhita tidak pernah berharap untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki manapun selepas putus dari Fathan. Hari-hari sebagai seorang mahasiswi kedokteran sudah cukup membuatnya menggila...