[20] Aira's Wedding Diary

197 38 8
                                    

“Udah yuk, pulang?” Bagas bangkit dari duduknya. Mereka berdua, baru saja selesai makan siang.

“Bentar-bentar, kayaknya hp ku getar,”

Bagas duduk kembali, “Angkat aja dulu,”

Cindy menatap ragu ketika melihat display nama yang muncul, tumben sekali Aira telpon, gadis itu sebenarnya adalah tipe-tipe cewek yang malas mengangkat atau berbicara melalui telepon.

“Iya, gimana Aira?” tembak Cindy langsung tanpa mengucapkan salam.

“Gini, Mba, anu, Aira mau ngomong,”

Seperti biasa Cindy ngegas, karena tidak enak juga Bagas sudah menunggunya untuk pulang, “Iya, ngomong apa? Mba buru-buru nih lagi diluar,”

“Aira mau nikah Mba sabtu besok,”

Cindy memekik kaget, “WHAT DE HELL?! SI BIMA BRENGSEK ITU MAU TANGGUNG JAWAB?!” Bagaimanapun juga si Bima—ayah dari bayi yang dikandung Aira, bekerja serabutan maklum baru lulus SMK kemarin.

“Emang si Bima itu udah kerja tetap hah?! Lagian modal darimana kalian? Papa sama mama kamu aja nggak mau biayain,” lanjut Cindy.

“Cuma akad doang Mba di KUA nggak ada resepsi dan lain-lain, itu juga dibiayain sama eyang, yang penting Papa mau jadi wali nikah Aira,”

“Lah najis, beneran nggak mau biayain itu si Chandra?”

Terdengar suara terisak diujung telepon, “Nggak, Mba, kebaya nikahnya aja Aira pakai kebaya wisuda waktu SMP dulu,”

Cindy memijit pelipisnya yang sudah kelewat pusing, sementara Bagas sudah beranjak membeli es krim ketika Cindy ngegas tadi, “Gini aja deh, Mba ada simpanan dikit uang, nanti sehabis akad malamnya kita makan-makan sekeluarga, biar Mba yang ngurus,”

“Aduh Mba, nggak enak Aira nanti makin jadi banyak utang,”

“Udah tenang, utangnya nanti bisa kamu cicil kalau si Bima itu udah dapet kerjaan tetap,”

“Serius Mba? Makasih banyak Mba,”

“Oke, Mba tutup dulu telponnya,”

Bagas tersenyum manis, menatap gadis yang ada didepannya ini seraya mengulurkan satu cone green tea ice cream, “Asupan endorfinnya buat yang lagi bete,”

***

“Tuh kan, eyang bilang juga apa, pura-pura nggak ada uang didepan Cindy, pasti dia bakal dengan senang hati ngasih uangnya ke kamu,” ucap Sutrisno—eyang Aira dan Cindy yang sekarang tengah duduk bersebalahan dengan Aira, yang juga mendengarkan obrolan mereka tadi. Jangan lupakan, semua ide ini adalah ide Sutrisno.

“Tapi yang ….” Aira berniat menyergah ketika ponselnya bergetar menandakan pesan masuk dari Cindy.

Yacindy Pramidhita
Inget ya Ra, mba langsung booking sendiri tempat makannya alias kalian terima jadi aja
Emang kamu kira Mba tau kalau ini pasti kerjaan eyang kan buat ujung-ujungnya minta duit ke Mba?
Lagian nanti kalau Mba kasih kamu uang buat diurus sendiri sama kamu, Mba nggak bisa jamin uang itu bakal berakhir di kamu, eyang kan mata duitan.
Malam ini, mba booking Rumah Putih di Cempaka Putih
Soal undangan mba ada kenalan anak desain grafis, nanti mba suruh dia ngedesain undangannya bentuk online biar bisa di share di BCan keluarga.

Ketik Cindy panjang lebar yang langsung dibaca oleh Sutrino. Pria paruh baya itu memekik kesal, dilemparnya gelas beling yang masih berisi setengah teh manis hangat itu, “SIALAN”

***

Cindy tidak bodoh, beruntung kemarin Heri memberikannya uang jajan tambahan yang jumlahnya lumayan belum lagi kiriman dari ayahnya yang sudah cukup WOW bagi anak kost yang sesekali kebutuhan hariannya lebih banyak ditanggung Bagas ini. Jadi daripada uang jajannya sedikit berguna, Cindy menghibahkannya untuk kepada Aira yang sedang kesulitan dana.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang