Mark Evano menarik kursi dan duduk di sisi ranjang rawatku setelah aku berterima kasih atas mawar yang dibawakannya. Samar-samar aku mencium aroma mint dan sandalwood menguar lembut. Dari jarak ini, aku juga bisa melihat warna mata Mark dengan lebih jelas; biru tua, seperti permukaan laut dalam. Kedua manik itu terlihat begitu kontras dengan warna kulitnya yang nyaris sepucat kertas. Kedua lengkungan alis tegasnya yang sepekat arang menambah kesan tajam dan dalam pada saat yang bersamaan.
Aku tidak tahu apakah ini hanya berlaku kepadaku, tapi cara Mark menatap membuatku seperti kesulitan bernapas.
Untuk sesaat, selapis kecanggungan seperti menciptakan jarak di antara kami.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Mark seraya menatapku lekat. Nada bicaranya sarat dengan kehati-hatian, seolah aku ini benda rapuh yang dapat remuk sewaktu-waktu, bahkan hanya dengan mendengarnya bertanya.
"Jauh lebih baik, terima kasih," jawabku sekadarnya. Aku menunduk memandangi pola bekas jahitan di punggung tangan kiriku yang memanjang hingga ke dua ruas jari. Aku mendadak merasa mual mengingat tulang-tulang patah dan luka sobekan yang menimbulkan rasa sakit luar biasa waktu itu.
"Aku tahu aku berutang penjelasan," gumam Mark dengan suara melunak. "Sepertinya aku menakutimu."
Aku menoleh pelan. Sekilas terlihat kilatan di dalam tatapan Mark yang menandakan bahwa ia sedang berusaha terdengar jenaka.
Mark menarik napas panjang. Aku menunggunya berbicara lagi.
"Aku mengenal baik ayahmu," kata Mark. Tatapannya setengah menerawang jauh.
"Tunggu, apa?!" sambarku terlalu cepat. Aku langsung merasa konyol.
Mark mengangguk. "Sepertinya istilah 'mengenal baik' tidak begitu tepat di sini. Beliau lebih seperti pahlawan bagiku."
Aku tidak pernah merasa begitu tertarik terhadap suatu hal sebelum ini. Dan tiba-tiba saja, aku hanya ingin Mark terus berbicara. Seolah-olah, mendengarkan penjelasan Mark adalah satu-satunya hal yang dapat memberiku alasan untuk hidup, setidaknya selama percakapan ini berlangsung.
"Tanpa ayahmu, aku tidak di sini. Aku sudah mati. Aku pernah menjadi pemuda pengecut yang memilih untuk berusaha mengakhiri hidup daripada menghadapi kekacauan yang telah kuperbuat."
Ucapan Mark membuatku terkesiap. Selama beberapa saat, aku sempat tidak memercayai pendengaranku.
Kekacauan? Tidak ada satu pun hal pada diri Mark yang membuat kata itu pantas disandingkan dengan seluruh gagasan tentangnya. Ia misterius, berwibawa dengan cara tertentu, dan kuakui, ia tampan. Ada ketenangan dalam suara dan bahasa tubuhnya. Ia pernah mencoba bunuh diri? Bagaimana mungkin?
"Semua orang pernah membuat kekacauan," gumamku parau. Satu-satunya orang di ruangan ini yang paling 'layak' untuk mengakhiri hidup adalah aku.
Mark tersenyum miring. Senyuman gelap dan masam. "Kau tidak mengenalku, Clavina."
Jantungku berulah. "Kupikir itulah alasanmu berada di sini."
Agar aku mengenalmu.
Senyuman gelap itu masih di sana. "Setelah kau mengetahui siapa aku, kau tidak akan pernah membiarkanku menginjakkan kaki di sini."
Aku menarik napas. Gelenyar perasaan aneh menyambangi sekujur tubuhku. Seperti gelombang kekhawatiran yang bertarung dengan rasa ingin tahu. "Kalau begitu, kita buktikan saja."
Jantungku terhenyak mendengar ucapanku sendiri. Sepertinya baru beberapa menit lalu aku bersikap seperti kelinci yang cemas dan kikuk saat Mark melangkah masuk. Dan sekarang, aku mendesaknya untuk menyibakkan selubung gelap yang menaunginya agar aku dapat mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...