58. Big Bear's Hug

1.4K 240 180
                                    

"Sayang, ayo sarapan." Mark mengusap-usap lembut bahuku seraya membungkuk.

Aku masih terbaring meringkuk di temat tidur sambil memegangi perutku. Tak lama setelah bangun tidur tadi aku kembali muntah-muntah. Tubuhku lemas sekali.

Hidungku mencium aroma manis, sontak kubenamkan wajahku pada kepala boneka anjing chow chow yang sedang kupeluk. "Aku belum lapar."

Mark mengambil tempat duduk di tepi ranjang. "Sudah kubawakan susu dan roti panggang. Duduk yang tegak."

"Tapi aku tidak ingin makan apa-apa pagi ini. Nanti siang saja." Aku menolak.

"Ssh, tidak boleh begitu. Cobalah terlebih dahulu. Nanti kau bertambah lemas jika perutmu kosong." Mark tidak menyerah.

Mark membantuku duduk. Bibirnya terkatup rapat melihat betapa pucatnya wajahku. Sorot khawatir dalam matanya tampak jelas. Disodorkannya segelas susu coklat yang tampak kental. "Minum susunya dulu."

"Mark... aku belum lapar." Aku merengek.

"Paling tidak cobalah."

"Masih panas."

"Kau bahkan belum menyentuhnya." Mark mengingatkan. "Sudah kutambahkan sedikit air dingin. Sekarang suhunya hangat, pas sekali untuk diminum."

Dengan enggan, akhirnya kuterima susu kehamilan rasa coklat dalam gelas besar yang dibuatkan oleh Mark. Benar, tidak telalu panas. Aku mencoba tegukan pertamaku.

Tidak enak.

Mark duduk dengan terus memperhatikanku. "Tadi kulihat kuncup-kuncup bunga aster di belakang rumah sudah mekar seluruhnya. Kau harus makan, mengisi tenagamu, dan nanti kita akan lihat bersama."

"Kuncup-kuncup dari ketiganya?" tanyaku penasaran. Kuletakkan gelas susuku di pangkuan dan menjepitnya dengan kedua telapak tangan.

"Ya. Warnanya bagus." Mark meraih sepiring roti panggang di atas nakas. "Makan rotinya. Kau suka yang tawar tanpa selai, kan? Dengan sedikit olesan mentega tipis-tipis?"

Aku menatap Mark sendu. Ia membuatku tersentuh karena repot-repot menyiapkan sarapan kesukaanku. Sayangnya, aku tidak bisa menikmati kerja kerasnya. "Mark..."

"Ya, Sayang?" sahut Mark hangat.

"Kau sendiri sudah sarapan?" tanyaku lirih.

Mark mengulas sebuah senyum tipis. "Aku nanti saja."

Aku menatap dua roti panggang di atas piring yang tengah disodorkan Mark. Kuambil satu, masih hangat. Kutiup beberapa kali, Mark tampak senang karena berpikir aku akan melahapnya. Tanpa ia duga, aku malah mengarahkan roti itu ke mulutnya. "Aku tidak mau makan jika kau tidak makan."

Dahi Mark mengenyit. Karena ingin melihatku makan, akhirnya Mark memilih untuk menerima suapanku dalam gigitan besar. "Nah, aku sudah makan. Sekarang giliranmu."

Kepalaku menggeleng. Aku kembali menyuapi Mark. "Lagi."

Mark menerima suapan keduaku.

Aku terus menyuapi Mark hingga mengabiskan lembar roti panggang pertama.

Mark melirik roti terakhir di piring. "Yang satu itu milikmu. Harus dihabiskan."

Hatiku mencelus. Aku hanya menatap Mark sedih.

"Tidak boleh curang. Aku sudah makan, berarti sekarang giliranmu." Mark bersidekap. Ia melirik susu di pangkuanku yang baru berkurang sedikit. "Dan habiskan susunya."

Kucomot roti yang warna pinggirannya terlihat agak lebih terang dari yang sebelumnya. "Tolong bantu aku sedikit lagi," kataku dengan nada memohon. Kusuapkan roti hangat di tanganku ke mulut Mark.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang