Pagi-pagi aku sudah dikejutkan dengan Mark yang membawa pulang sekeranjang jamur parasol dari hutan. Tak lama seusai sarapan, ia memutuskan untuk berburu jamur sendirian padahal tadi sempat gerimis ringan. Ia bersikeras melakukannya karena ia sedang ingin sekali makan gorengan di hari mendung seperti ini.
Mark hanya nyengir lebar saat aku melemparinya tatapan terperangah melihat banyaknya jamur yang ia bawa pulang. Aku berusaha keras untuk tidak mengagumi senyuman yang memperjelas lesung pipi dan memamerkan deretan giginya itu.
Mark punya dua gigi depan yang sedikit lebih besar—tapi tidak terlalu mencolok— dibanding yang lainnya, yang terkadang diam-diam kuperhatikan. Entah mengapa aku belakangan baru menyadari bahwa Mark punya senyum yang sangat... memesona.
"Kau memang sebegitunya menyukai jamur parasol?" tanyaku, masih terheran-heran.
"Ya. Tapi aku tidak sesering itu makan jamur goreng. Aku ingin, tapi selalu merasa terlalu malas untuk mengolahnya. Well, selagi kau sedang penasaran juga, maka hari ini aku petik beberapa."
"Baiklah, biar kugorengkan. Kau sebaiknya sekarang naik dan keringkan rambutmu. Nanti kupanggil jika sudah matang."
Mark memasang raut enggan. "Nanti saja lah."
Mark ingin tetap berada di dapur. Aku bisa apa?
Aku mulai mencuci jamur-jamur di bawah guyuran keran. Mark malah berdiri di sampingku, agak bersandar membelakangi konter dengan kaki menyilang dan kedua tangan bersidekap di depan dada. Wajahnya dipalingkan ke samping, memperhatikanku yang sedang menggosok lembut setiap sisi jamur.
Mark... tolonglah. Bisa tidak jika kau sekali saja tidak membuatku gugup?
"Batangnya dibuang, kan?" tanyaku, karena ini memang baru kali pertama aku mengolah jamur parasol.
"Yep." Mark menyahut santai. "Aku akan membantumu menyiapkan tepung dan telur." Mark akhirnya beranjak.
Syukurlah.
"Ngomong-ngomong kita masih punya susu cair tidak, ya?" Mark kembali bersuara.
"Ada sekotak lagi di lemari pendingin," jawabku sembari mencuci jamur yang ukuran payungnya paling besar. Ukuran telapak tanganku tidak ada apa-apanya.
"Sudah waktunya ke kota dan berbelanja bulanan, kurasa." Mark bergumam sendiri. Ia mulai mencampurkan telur, sejumput garam, dan sedikit susu cair ke dalam wadah.
Kukeringkan jamur-jamur dengan tisu untuk menghilangkan kandungan airnya lalu kubawa ke samping Mark. Ia mulai menuangkan tepung panir dan terigu ke dalam dua piring terpisah.
"Tempat berbelanjanya jauh?" tanyaku berbasa-basi sambil menggunting jamur yang ukurannya terlalu besar menjadi potongan-potongan yang lebih kecil.
"Lumayan." Mark menyahut. "Kau boleh ikut jika kau mau. Sekalian jalan-jalan agar kau tidak bosan berada di rumah saja."
"Tentu aku mau." Karena aku memang penasaran. Meski tidak sebosan itu. Sama sekali belum bosan sebenarnya.
"Ngomong-ngomong," Mark menuangkan sedikit lada dan garam ke jamur-jamur yang sudah bersih. "Nanti sore aku akan pergi sebentar. Ada beberapa hal yang harus dibahas bersama redaksi The Woodstock Chronicle. Kau mau ikut? Aku mungkin baru akan kembali saat makan malam, jadi mungkin sebaiknya kau tidak kutinggalkan sendirian saja di rumah."
Tentu saja itu bukan gagasan yang bagus. Aku tidak tahu apa-apa tentang dunia fotografi dan majalah, untuk apa aku ikut Mark? Aku hanya akan menjadi seperti makhluk aneh yang tiba-tiba muncul di tengah rapat mereka.
"Aku tidak berkepentingan, jadi aku di rumah saja. Asalkan kau tidak pulang terlalu malam." Jujur saja, aku masih agak takut dengan suasana rumah di malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...