Tubuhku seperti baru saja disengat arus listrik bertegangan tinggi. Ucapan Mark berputar-putar di dalam kepalaku. Selama beberapa saat, sekelilingku seolah memuai menjadi wujud-wujud pudar.
"Menikahlah denganku."
Dua kata itu berdenging di telingaku seperti efek yang ditinggalkan sebuah ledakan.
"Kau pasti tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang baru saja kaukatakan." Aku berupaya menyangkal apa yang kudengar lima detik lalu. Suaraku bergetar hebat. Jantungku berdentum-dentum hingga dadaku terasa sakit.
"Aku tidak akan membicarakan pernikahan tanpa kesungguhan," tegas Mark. Tatapan tajamnya membekukanku. Posisi duduknya menghadapku sekarang, semakin membuatku tegang.
Aku menggelengkan kepalaku. Mataku mengerjap-ngerjap untuk mempertahankan kewarasan. "Kita tidak mungkin menikah. Kau nyaris tidak mengenalku sama sekali."
"Aku mengenalmu lebih dari yang kau tahu, Clavina Rose."
Perutku menegang. Aku hampir tersedak udara dari paru-paruku sendiri. Sekarang Mark benar-benar menakutiku.
Aku menyerah pada jeda yang panjang. Jantungku mengerang, menggapai-gapai udara kosong untuk mencari pegangan agar tidak terjatuh ke dalam lubang gelap berbatu berisi kegusaran, kepanikan, kengerian, dan segala yang dapat menghabisinya saat ini juga.
Kupejamkan mataku selama sedetik dan menarik napas. "Tapi tidak denganku. Aku tidak tahu apa-apa tentangmu selain dari apa yang kauingin aku tahu. Dan..." aku berhenti sejenak, menyadari suaraku semakin bergetar. "Kita tidak saling mencintai."
Kalimat terakhirku seperti memberi pengaruh kecil pada Mark. Tatapannya meredup. Ia seperti mengakui kebenaran dalam ucapanku.
"Aku mengerti, Clavina. Tapi aku bisa mengesampingkan perasaanku. Aku hanya ingin membantumu. Meski perasaanmu tentunya adalah sesuatu yang tak dapat kukendalikan." Mark bersikap setenang permukaan danau. "Membiarkanmu mengetahui masa laluku sudah pasti membuatmu kesulitan menerimaku sebagai teman. Apalagi sebagai seorang suami. Namun aku lebih memilih menunjukkan kebenaran. Aku tidak menyesali itu. Satu hal yang aku ingin kau tahu; aku tidak akan pernah menyakitimu, Clavina. Tidak peduli sesuram apa citraku di dalam pikiranmu."
Aku hanya membisu. Aliran darah terasa menyusut dari wajahku.
"Jika konsep tentang suami terlalu membebanimu, kau boleh menganggapku sebagai seorang teman. Kita akan membuat pernikahan ini mudah. Kau tidak perlu melakukan apa pun yang tidak kauinginkan. Tinggalah bersamaku. Biarkan aku menjagamu. Dan aku yang akan mengurus sisanya."
"Mengapa kau melakukan ini, Mark?" Suaraku sarat sekali dengan kerisauan. "Aku bukan siapa-siapa bagimu."
"Kau salah." Mark menyangkal ucapanku. "Kau adalah putri dari pahlawanku. Itu berarti besar."
"Tapi bukan berarti kau harus menyerahkan kebebasanmu dengan menikah denganku. Aku tidak seharusnya menjadi bebanmu." Suaraku kian parau sekarang. Dadaku bergemuruh.
Ya Tuhan... laki-laki asing ini mengajakku menikah padahal kami baru dua kali bertemu.
"Aku sama sekali tidak merasa kehilangan apa pun dengan memilih menikahimu. Kau bukan beban, Clavina. Kau tujuan baruku." Kedua mata Mark seperti mengikatku ketika tiga kalimat itu terucap.
Aku tertegun lama. Tujuan barunya?
"Clavina, dengar," Mark mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Ia menatapku dalam. "Aku tahu ini terdengar gila bagimu. Gagasan tentang pernikahan ini seperti sesuatu yang sangat gegabah dan tergesa-gesa, tapi aku sangat yakin dengan apa yang kulakukan. Ini demi kebaikanmu sendiri. Kau sudah menanggung terlalu banyak." Tangan Mark mengepal, seperti hendak meraih tanganku namun ia menahan diri. "Kau kehilangan orang-orang yang kaucintai. Kau mengalami tragedi mengerikan yang hampir merenggut nyawamu. Dari ayahmu, aku tahu kau adalah gadis kuat yang dapat berdiri di bawah kedua kakimu. Kau sudah lama berjuang sendirian demi ibumu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi menghadapi kerasnya hidup di luar sana, Clavina. Tidak setelah semua yang terjadi kepadamu. Karena aku sendiri tahu bagaimana rasanya sendirian."
Mark mengambil jeda sejenak karena melihat selaksa bening kembali menggenang di pelupuk mataku. "Aku berutang budi kepada ayahmu. Aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikannya. Kepergiannya menghancurkanku, karena aku juga menemukan sosok seorang ayah pada dirinya. Namun dengan adanya dirimu di sini, aku seperti menemukan cahaya kecil di tengah kegelapan yang menyelubungiku sejak kematian ayahmu. Aku punya tujuan baru, Clavina; menjagamu. Mendampingimu menghadapi segalanya."
Ada gelenyar aneh menjalari tulang belakangku, lalu perlahan mengisi rongga dadaku. Sesuatu yang lain. Bukan lagi kerisauan yang seolah tak memiliki ujung, melainkan rasa tenang.
"Kumohon pertimbangkan ini, Clavina. Aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Aku akan kembali menemui lusa."
Dan rasa tenang itu mendadak saja digantikan oleh luapan rasa gugup yang begitu intens hingga membuatku mual.
Lusa.
*****
Pukul setengah dua pagi.
Aku terus menggeliat di atas ranjang rawatku. Kepalaku berdenyut nyeri karena berupaya terlalu keras untuk terlelap. Obat tidur hanya membantuku tetap tidur hingga pukul sebelas, namun pengaruhnya luntur tanpa sisa setelah aku terjaga.
Kuubah posisi tidurku menjadi meringkuk. Kedua mataku menangkap wujud dream catcher berwarna cokelat yang menggantung di kepala ranjang. Bukannya memberi rasa tenang, benda mungil itu justru mengirimkan sensasi mirip kepanikan ke inti jantungku.
Lamaran Mark dan tenggat waktuku.
Baiklah, secara teknis, itu tidak terdengar seperti lamaran. Lebih seperti tawaran. Dengan alasan-alasan yang hampir bisa dikatakan terlalu masuk akal. Terlalu meyakinkan.
Tetap saja, bukan berarti aku tidak memiliki keraguan. Membayangkan tiba-tiba menikah dengan seseorang yang baru kutemui membuat perutku terasa dipelintir. Berpacaran saja aku tidak punya cukup pengalaman.
Dan Mark... laki-laki itu memiliki aura yang selalu membuatku gugup luar biasa ketika berada di dekatnya. Kesan misterius selalu membersamainya, seperti udara yang selalu menggantung di sekeliling sosok itu. Memikirkan kami menikah membuatku ketakutan setengah mati.
Namun di saat yang bersamaan, ada sesuatu pada diri Mark yang membuatku ingin meletakkan segenggam kepercayaan padanya. Terlepas dari masa lalunya yang begitu gelap, aku tahu ia adalah laki-laki yang baik.
Ia mengajakku menikah karena ia berniat baik.
Dan malam ini adalah terakhir kalinya aku bisa melarikan diri. Tenggat waktuku sudah habis.
Besok aku sudah harus memberinya jawaban.
[Bersambung]
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...