Jika saja aku tahu bahwa kematian akan terasa sepedih ini, aku pasti memilih untuk tidak pernah dilahirkan ke dunia.
Kegelapan menyelubungiku dengan begitu pekatnya. Rasa terbakar pada tenggorokanku begitu menyengat hingga hampir merenggut kewarasanku. Aku tidak tahu di mana aku berada. Dadaku luar biasa sesak seolah ditindih tumpukan balok baja berbobot ratusan pound. Aku ingin menjerit, namun tak mampu mengeluarkan suara. Sekelilingku hening total. Aku tidak dapat berpikir mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Aku berusaha menggerakkan jemariku, namun pada detik itu juga aku dikejutkan oleh rasa perih teramat sangat, disusul dengan nyeri yang membabi buta area pinggang hingga betis kiriku. Sensasi terbakar menyengat telapak kakiku, kulitku terasa melepuh.
Detik berikutnya, leherku menjadi semakin tercekat akibat dahaga luar biasa. Rasanya seolah terdapat kuku-kuku besi mencakari kerongkonganku yang kering kerontang dengan brutal.
Napasku terputus-putus. Aku berusaha meronta namun sekujur tubuhku lumpuh. Aku hanya bisa merintih dalam diam memohon seluruh penderitaanku dihentikan.
Jika memang inilah jalan kematian, maka tak ada yang lebih kuharapkan selain mempercepat prosesnya.Aku tidak sanggup lagi menahan semua ini.
Kegelapan memudar, digantikan oleh potongan-potongan gambar ganjil yang perlahan membentuk adegan yang terlalu abstrak untuk kucerna; sosok ibuku muncul dengan senyuman di bibirnya. Kedua tangan kurusnya melambai-lambai ke arahku dengan gerakan lambat. Dua denyut nadi kemudian, wujud ibuku menghilang, digantikan oleh sosok pemuda bermata teduh di tengah padang ilalang berkabut yang entah bagaimana memiliki kesan akrab.
Selanjutnya, gambaran-gambaran dalam kepalaku bergantian muncul dengan berkelebat, menciptakan sesuatu yang mirip seperti ilusi yang saling tumpang tindih.
Seluruh kenanganku berputar-putar dalam bentuk gelombang aneh yang mengingatkanku pada kebahagiaan sekaligus kepedihan.
Hari-hari di toko bunga.
Percakapan hangat di sebuah beranda rumah.
Hari kematian ibuku.
Guncangan.
Benturan.
Api.
Darah.
Rasa sakit.
Jantungku berdentum liar. Kelopak mataku tersentak terbuka. Cahaya menyilaukan menusuk tepat ke retinaku yang belum siap dengan rangsangan apa pun. Perlahan semuanya menjadi terlihat lebih jelas. Di atasku terbentang sesuatu berwarna kelabu dengan bola raksasa bersinar redup.
Langit terbuka.
Telingaku samar-samar mendengar kicau burung saling bersahutan. Pandanganku menyapu liar dan aku terkejut menyadari bahwa aku sedang terbaring di tengah padang rumput yang dikelilingi hutan. Entah bagaimana aku bisa berada di tempat seperti ini.
Aku mengedarkan pandangan lebih jauh lagi, sambil terus menahan rasa sakit yang tak hentinya menyiksa setiap jengkal tubuhku. Beberapa puluh meter dari tempatku berada, teronggok benda raksasa yang sudah ringsek dengan kepulan asap hitam membumbung tinggi di atasnya. Puing-puingnya bertebaran di segala arah. Butuh beberapa saat bagiku untuk mengenali bahwa benda yang sudah hancur itu adalah sebuah pesawat.
Kepalaku berdenyut karena berusaha terlalu keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Kulirik jemari tangan kiriku yang terasa perih bercampur nyeri. Aku sontak terkesiap melihat keadaannya. Tiga jariku patah, tulang-tulangnya yang lancip dan berwarna pucat mencuat keluar merobek kulit di atasnya. Aku refleks menjerit, namun bukannya suara yang keluar, aku malah terbatuk hebat hingga mulutku menyemburkan darah. Seketika dadaku terasa panas bukan kepalang. Air mataku mengucur tak terbendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
Storie d'amoreSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...