36. Unhealed

1.5K 305 32
                                    

Kulangkahkan kakiku masuk ke studio dengan membawa dua cangkir teh lemon serai hangat. Mark yang sedang menunduk sembari memijit keningnya langsung mengangkat wajah dari laptop saat aku datang.

"Hari yang sibuk tampaknya," komentarku, kuulurkan cangkir teh lemon serai yang kubuat untuk Mark. Aku tidak terlalu suka dengan rasanya, tapi minuman ini lumayan cocok diminum untuk menjaga kesehatan di musim penghujan seperti ini. "Semoga membuatmu lebih rileks."

"Terima kasih." Mark mengulas senyum. Ia mengerling laptopnya yang menunjukkan foto sesuatu yang mirip burung rajawali, sedang dalam proses editing kompleks. "Aku harus segera menyerahkannya ke The Woodstock Chronicle paling telat besok pagi. Tiga artikel sekaligus."

"Kau sudah berkerja sedari tadi. Sebaiknya beristirahat dulu." Aku meNyarankan, khawatir dengan Mark yang hampir seharian berada di studionya.

Mark memandangiku yang masih berdiri di dekatnya sembari memegangi cangkirku sendiri. Ia mengangguk sembari tersenyum tipis. "Baiklah." Ia menyesap tehnya. "Mau nonton film?"

"Memangnya kau tidak bosan setiap hari mengajakku menonton?" tanyaku geli.

"Satu, aku suka film. Dua, menonton film bersamamu membuat momennya terasa lebih menyenangkan. Kau tahulah, hal remeh bisa menjadi istimewa jika dilakukan bersama orang yang tepat."

Aku menahan diri untuk tidak geleng-geleng kepala. Dasar Mark. "Ya sudah, ayo. Tapi perapiannya belum dinyalakan."

"Di kamar saja agar bisa bersandar nyaman. Sudah malam lagipula." Mark punya ide lain.

Aku mengangguk setuju.

Mark membawa laptopnya ke kamar bersama dengan minuman hangatnya. Aku menyusul di belakangnya. Setelah aku naik ke tempat tidur dan menata bantal-bantal menjadi sandaran nyaman, aku langsung menarik selimut dan menyesap teh lemon seraiku yang baru berkurang sedikit sekali. Laptop Mark sudah siap.

"Kita masih punya nugget atau tidak?" Mark tiba-tiba bertanya.

"Masih ada di lemari pendingin," sahutku. "Kau sedang ingin makan nugget?" Dahiku mengernyit. Kami baru saja makan malam. Aku tidak paham sebenarnya perut Mark terbuat dari apa.

Mark mengangguk. "Aku goreng sebentar. Kau bisa menonton tanpa perlu menungguku. Atau mengakses Youtube, terserah kau."

"Mark, aku memintamu beristirahat. Biar aku saja." Aku melemparkan tatapan protes.

"Tidak usah. Tidak akan lama, kok." Mark menghambur keluar kamar sebelum aku sempat beranjak mendahuluinya, atau mengatakan apa-apa. "Kau mau, 'kan?" tanyanya saat meraih kenop pintu.

Aku menyerah.

"Boleh."

Sembari menunggu Mark kembali, aku membuka laman Youtube dan mengetik "Funny cat fails".

Aku menghabiskan beberapa menit dengan menonton sambil cekikikan. Memang tidak ada yang bisa menandingi video kucing-kucing lucu ceroboh. Tidak terasa aku sudah menonton empat video dan perutku mulai terasa agak kaku karena terlalu banyak terkikik.

Bosan dengan video kucing-kucing konyol, aku membuka menu 'trending'. Tidak ada yang cukup menarik hingga aku menemukan sesuatu di Trending No 11.

Sebuah rekaman suara black box sebelum terjadinya kecelakaan pesawat.

Aku membeku sesaat. Jantungku berdegup tidak teratur. Tanganku agak gemetar saat kuarahkan kursor pada judul video tersebut. Aku sempat ragu untuk meng-klik namun akhirnya kuabaikan ketakutanku.

Video mulai diputar. Hanya ada layar hitam dengan suara agak bergemeresak. Terdengar percakapan antara pilot dan co-pilot yang sedang membicarakan strategi menyelamatkan pesawat.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang