52. His Homeland

1.4K 260 216
                                    

Aku terjaga dari tidurku karena tiba-tiba merasa seperti kehabisan napas. Mataku mengerjap-ngerjap, sebagian besar lilin-lilin sudah padam. Di tengah ruangan yang semakin temaram, aku menyipit untuk melihat jam di nakas.

Hampir pukul dua pagi.

Aku mengerang pelan lalu menggeliat. Lengan Mark melingkari pinggangku, lama-lama terasa berat. Kutolehkan kepalaku ke belakang dan menemukan Mark sedang tertidur pulas. Ia memelukku erat sekali, pantas saja napasku sampai terasa sesak.

Mungkin ia lupa bahwa aku kecil.

Dengan teramat perlahan, kupindahkan lengan Mark dari pinggangku dan bergeser sedikit untuk mendapatkan ruang. Tiba-tiba, kelopak mata Mark bergerak terbuka. Ia menatapku dengan mata mengantuknya selama beberapa detik.

"Mau ke mana?" tanya Mark dengan suara agak parau karena kantuk.

Rasa bersalah langsung menyerangku menyadari aku malah membuat Mark ikut terbangun. Aku beringsut duduk bersandar pada kepala ranjang yang tinggi sembari mengucek pelan mata kiriku. Kesadaranku belum sepenuhnya terkumpul. "Haus," gumamku dengan nada sama mengantuknya. Badanku masih terasa agak letih karena 'aktivitas' beberapa jam yang lalu.

"Hmm?" Mark ikut bangkit dan duduk di sisiku. "Kau mau minum? Biar kuambilkan."

Aku menggeleng dan memasang senyum samar sembari melemparkan kerlingan pada sosok yang telah mengguncang duniaku itu. "Kau tidur lagi saja," timpalku lembut. "Aku bisa ambil sendiri."

Tapi bukan Mark namanya jika tidak berusaha memanfaatkan kesempatan sekecil apapun untuk membantuku. Tanpa menggubris ucapanku tadi, ia bergerak turun dari ranjang, mengikat jubah tidurnya, kemudian menuangkan air putih di meja dekat smart TV ke dalam sebuah gelas berleher tinggi.

Kutegakkan posisi duduk saat Mark kembali naik ke ranjang dan mengulurkan segelas air putih dingin kepadaku.

"Terima kasih banyak," ucapku tulus.

Mark tersenyum tipis. "Itu hanya air, Sayang." Ia menyahut geli karena aku begitu mengapresiasi hal kecil yang dilakukannya. Beberapa detik kemudian, alisnya terangkat melihatku meneguk air putih dalam gelas cepat sekali. "Sehaus itu?"

Aku mengangguk. Gelasku kini kosong dan kerongkonganku terasa sangat lega.

Mark mengambil gelas dari tanganku. "Mau lagi?" tawarnya.

Kugelengkan kepalaku. "Sudah cukup."

Mark meletakkan gelasku ke atas nakas, lalu beringsut mendekat dengan posisi tubuh agak miring karena salah satu lenganngya bertumpu di atas bantal. Ia menatapku lama di tengah pencahayaan temaram, seperti tengah mempelajari rautku dalam-dalam. Sembari tersenyum simpul, ia menarik lembut beberapa kelopak mawar merah dari helai-helai rambutku yang kusut masai.

Secara naluriah, tanganku bergerak merapikan rambutku. Wajahku tertunduk malu karena merasa salah tingkah. Pasti aku terlihat berantakan sekali sekarang sampai-sampai ada bebeberapa kelopak mawar terjebak di rambutku.

Senyum Mark malah semakin terurai melihat gelagatku. Ia ikut merapikan rambutku dengan lembut. "Maaf, ya. Jadi agak berantakan."

Aku tertegun. Ia menganggap ini kesalahannya?

"Ayo tidur lagi." Mark merengkuh bahuku dan dengan perlahan membaringkanku ke posisi semula. Tangannya membenarkan gaun tidurku yang melorot turun melewati bahu, menyelimutiku hingga ke leher, lalu menghadiahkan sebuah kecupan hangat di kening. "Selamat malam, Nyonya Evano."

Mark berbaring di tempatnya, menarikku lebih dekat lagi, kemudian menenggelamkanku ke dalam pelukannya.

Aku membenamkan wajahku pada dada Mark yang begitu hangat sembari tersenyum kecil.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang