16. The Fireplace

1.6K 359 41
                                    

Ruangan perapian terasa hangat meski di luar sana hujan masih menderu. Suara retihan kayu dilalap api terasa menenangkan di telinga. Mark mengajakku duduk di atas sofa merah di tengah ruangan yang menghadap ke perapian. Tidak ada televisi di rumah ini. Jadi, ruang keluarga hanya berisi perapian batu kusam yang dihiasi satu buah foto elang dalam bingkai kecil persegi.

Sepiring kukis coklat berada di hadapan kami, masih menguarkan uap hangat. Mark juga sudah membuatkan secangkir teh untukku dan kopi hitam untuk dirinya sendiri.

Mark mengangkat piring kukis dan menyodorkannya kepadaku. "Ayo kita coba. Sepertinya sudah tidak terlalu panas."

Aku mengambil satu buah kukis yang masih hangat, namun tidak langsung menggigitnya karena aku ingin Mark yang mencicipi terlebih dahulu.

Mark juga mengambil satu. Ia langsung mencoba kukis buatanku tanpa menunggu. Aku mendengar bunyi renyah saat ia menggigit. Dua detik kemudian, wajahnya berubah sumringah. Kepalanya mengangguk-angguk.

"Hey, ini lezat, Clavina."

"Benarkah?" Aku tidak langsung percaya. Bisa saja Mark hanya sedang berusaha membuatku senang.

"Ya. Rasanya seperti kukis dari toko. Renyah dan gurih. Manisnya juga pas." Mark langsung memasukkan separuh bagian kukis ke dalam mulut, padahal ia mengambil yang ukurannya cukup besar. "Kau juga harus mencobanya."

Aku menggigit kukisku dan mengunyahnya perlahan. Bisa dikatakan berhasil, meski kukis bukanlah cemilan favoritku.

Mark mencomot satu kukis lagi dan menyesap kopi setelah menghabiskannya. Aku senang ia menikmati kukis buatanku.

"Jadi, apa yang ingin kau ketahui?" Mark mengembalikan kopinya ke atas meja.
Ia mulai merubah posisi menghadapku, mulai fokus denganku. Lengannya bertumpu pada sandaran sofa.

Aku tidak langsung menjawab. Ketika diberi kesempatan begini, aku malah bingung harus memulai dari mana.

Mark menaikkan sebelah alisnya karena aku tidak lekas menyahut.

Aku memutuskan memulai dari yang sederhana. "Apa warna kesukaanmu?"

Aku bisa melihat Mark menahan senyum geli mendengar pertanyaan remeh-temeh seperti itu.

"Hitam."

Itu sudah jelas sekali.

"Grup musik kesukaan?"

"Muse." Mark menjawab ringan.

"Penulis favorit?"

"Charles Dickens dan Walt Whitman."

"Hal yang selalu membuatmu kesal?"

"Orang-orang yang membatalkan janji secara mendadak." Mark berujar. "Dan lagu Selamat Ulang Tahun."

Kalimat terakhir Mark membuatku geli sekaligus penasaran. "Kenapa kau membenci lagi itu? Semua orang menyukainya."

Mark tampak bergidik. "Menurutku itu lagu yang mengerikan."

Aku tersenyum samar. Ada-ada saja.

Dari dokumen pernikahan, aku mengetahui bahwa Mark lahir tanggal 1 September. Ia berulang tahun yang ke 29 belum lama ini dan aku masih belum tahu akan memberinya apa karena sudah terlambat sekali.

"Tapi," lanjut Mark. "Kesal dan benci adalah dua hal yang berbeda, bukan? Jika kau menanyakan apa hal yang paling kubenci, maka jawabannya adalah kebohongan."

Aku berusaha mencerna itu baik-baik. Lalu menyimpannya dalam kepalaku. Mark tampak serius sekali saat mengucapkan itu.

Sekilas, dari jendela aku melihat kilatan petir di kejauhan diikuti dengan suara gemuruh panjang.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang