Meski sempat ragu, akhirnya kuputar juga kenop pintu studio foto setelah ketukanku tidak mendapat tanggapan. Kulangkahkan kakiku masuk lalu memandang berkeliling. Aku hanya bisa merasakan kesenyapan. Mark tidak ada di ruangan. Aneh sekali, padahal ia sendiri tadi yang memintaku datang kemari seusai makan malam.
Aku berjalan mengelilingi meja di tengah ruangan, laptop Mark masih menyala dan dalam mode locked screen. Ruangan ini seperti belum lama ditinggalkan.
"Mark?" panggilku sambil celingukan.
"Aku di dark room, Clavina." Mark menyahut dari dalam ruangan misterius yang sempat kuperhatikan saat pertama kali berkunjung ke studio waktu itu . Pintunya lagi-lagi tertutup rapat. "Masuk saja, pintu tidak dikunci."
Kuhampiri pintu itu dengan secuil rasa tidak yakin mengiringiku. Kuputar kenopnya dengan gerakan penuh antisipasi. Pintu perlahan mengayun terbuka, menampakkan ruangan gelap yang hanya disinari cahaya redup berwarna merah darah yang menciptakan kesan mencekam. Mark tampak seperti sosok kelabu, tengah membungkuk fokus dengan sesuatu yang sedang digerak-gerakkannya di dalam sebuah nampan persegi menggunakan penjepit. Lengan kemejanya digulung hingga sebatas siku, seperti biasa. Gaya khasnya.
Mark menoleh ke arahku yang masih berdiri kaku di ambang pintu. "Apa yang kau lakukan di situ?" tanyanya dengan nada heran. "Masuklah. Jangan takut, aku tidak akan menggigit." Ia berseloroh karena melihatku diam saja seperti anak kucing yang sedang gusar.
Mark sepertinya sedang senang menggangguku dengan kalimat terakhirnya itu. Di bawah cahaya temaram kemerahan ini, aku berani bertaruh ia pasti sedang menyeringai.
Kututup pintu di belakangku dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Aroma cairan pencuci foto membuat hidungku mengernyit tidak nyaman. "Kau sepertinya sedang sibuk sekali," komentarku sambil memandangi foto-foto hitam putih yang digantung pada seutas tali.
"Aku hanya bersenang-senang," sahut Mark sambil mencelupkan kertas foto pada sebuah nampan dengan menggunakan penjepit logam. Kedua tangannya dibalut sarung tangan karet. Ia mengerlingku, sebuah senyuman samar terlengkung di bibirnya. "Kemarilah dan bergabung denganku. Kau masih ingin mengetahui banyak hal tentangku, bukan?"
Aku masih belum merasa nyaman dengan suasana ruangan, namun aku menganggukkan kepala juga. "Ya, tentu."
Mark tersenyum mendengar itu. Ia mencuci fotonya di dalam wadah besar berisi air jernih dan menggantungkan foto yang baru selesai dicetaknya pada seutas tali yang sedari tadi menarik perhatianku. Foto itu menampakkan wujud jalanan panjang yang diapit padang ilalang di kedua sisi.
Indah.
Mark menyerahkan sepasang sarung tangan karet kepadaku. Aku memakainya sembari melirik tiga jenis cairan berbau aneh dalam tiga nampan berbeda di atas meja. Ada masing-masing satu penjepit di depan setiap nampan.
"Apakah cairan-cairan itu berbahaya?" tanyaku polos sekali.
"Ya, tidak boleh kontak langsung dengan kulit. Kau harus berhati-hati, oke?" jelas Mark lembut.
Aku mengangguk. Selain pergi ke tempat-tempat beresiko, ternyata Mark juga berkutat dengan benda-benda semacam ini.
Aku menarik napas, merasakan gelitikan kekhawatiran seperti saat aku mengetahui Mark memburu foto-foto badai.
Kuamati Mark yang sedang meletakkan selembar kertas di bawah benda aneh yang menimpakan cahaya tepat ke atas permukaan kertas. Mark melakukannya hanya selama dua detik lalu kembali kepadaku. Sepertinya, itu yang disebut dengan enlarger.
"Kau siap untuk mulai?" Mark menyerahkan secarik kertas foto yang sudah melewati proses pencahayaan. "Celupkan ke larutan developer selama 60 sampai 120 detik. Kau bisa mengangkatnya setelah imaji mulai muncul." Mark membimbingku ke nampan yang paling dekat denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
DragosteSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...