Aku menggeliat di atas tempat tidur. Sejak semalam, suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya meski Mark sudah menyalakan penghangat ruangan. Hidungku agak tersumbat. Kaus kaki yang kupakai tidak cukup untuk menghalau gelitikan hawa sejuk.
Perlahan, kubuka mataku. Sudah pagi.
Aku menoleh ke sisi lain tempat tidur, Mark sedang duduk bersandar membaca buku entah apa. Seusai menunaikan shalat subuh ia tidak tidur lagi. Ia tidak payah sepertiku.
Mark menoleh ke arahku. "Sudah bangun?" Ia tampak heran karena biasanya aku baru akan bangun setengah jam lagi setelah rasa mualku benar-benar sudah berkurang.
Aku mengucek mataku dengan punggung tangan. "Pagi ini agak dingin, ya," gumamku, suaraku terdengar masih sangat mengantuk. Dengan agak malas-malasan, kuubah posisiku menjadi duduk.
Mark tersenyum misterius. "Coba buka tirai jendelanya."
Aku mengerutkan dahi. Di luar sudah lumayan terang tapi Mark membiarkan tirai jendela tetap tertutup rapat.
Kuturunkan kakiku dari tempat tidur dan aku pun bergerak menghampiri jendela. Setelah kubuka tirainya, sesuatu di luar sana membuatku terpukau. Salju sedang turun dan hamparan es putih bersih menutupi pekarangan.
"Salju!" pekikku girang.
"Yep, ucapkan selamat datang kepada musim dingin pertamamu." Mark bergumam hangat.
Hanya perlu waktu sekitar tiga detik hingga seluruh pembuluh darahku dialiri semangat. Rasa mualku kian menguap. Segera saja, aku berlari meninggalkan kamar untuk melihat ke luar setelah melepas kaus kakiku.
"Hey, kau mau ke mana?" Seru Mark bingung. Ia melemparkan bukunya ke tempat tidur dan bergerak menyusulku yang sudah berlari menuruni tangga menuju ruang depan.
Kubuka pintu depan, suhu dingin dari luar langsung memelukku. Aku tidak peduli, aku berjalan ke teras dengan tatapan terpukau.
"Clavina, pakai baju hangat terlebih dahulu," ujar Mark di belakangku. "Kenapa malah kau lepas kaus kakimu?"
Aku tidak menggubris ucapan Mark. Aku memilih berancang-ancang melompat menghampiri hamparan permadani putih di halaman depan namun Mark bergerak lebih cepat. Ia menangkap pinggangku dan menahan gerakanku seketika.
"Hey, apa yang kau pikir akan kau lakukan?" Mark memprotes.
Aku menoleh ke belakang, Mark tampak sangat tidak menyetujui rencanaku. "Lompat ke salju, apa lagi?"
"Kau tidak memakai sendal, baju yang cukup hangat, sarung tangan juga tidak, dan tentu saja kau tidak bisa sembarangan meluncur begitu saja, Sayang." Mark mencerocos.
"Mark... ayolah, aku hanya ingin merasakannya di bawah kakiku. Aku belum pernah menyentuh salju. Memangnya kau tidak merasa kasihan padaku?" Aku memasang raut mengiba.
Mark menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapanku yang terkesan berlebihan. "Ya sudah, ayo."
Dengan tanpa permisi, Mark tiba-tiba membopong tubuhku yang sontak membuatku terkesiap. Ia membawaku menapaki undakan tangga teras dan menurunkanku perlahan, membiarkan kedua kakiku menyentuh permukaan salju.
Aku meringis merasakan sensasi dingin di telapak kakiku. Ternyata salju tidak selembut yang kubayangkan. Kedua tanganku kutadahkan pada salju-salju yang turun dari langit, merasakan setiap bulir mungilnya mendarat di permukaan tanganku. Sementara itu, Mark berdiri di hadapanku, menunduk sembari tersenyum memandangi apa yang tengah kulakukan.
Tapi kesenanganku tidak bertahan lama. Kakiku mulai kedinginan. Aku berjinjit-jinjit untuk mengurangi rasa dinginnya yang menusuk. Kedua tanganku berpegangan pada dada Mark untuk menyeimbangkan tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...