6. The First Day

2.1K 386 24
                                    

Mark mengemudikan mobil Jeep hitamnya dengan kecepatan sedang. Menit-menit berlalu dalam keheningan yang canggung karena kami sama-sama lebih banyak diam. Dream catcher dalam genggamanku terus kupandangi dengan perasaan campur aduk. Tapi bukan benda itu yang sebenarnya mengusikku sedari tadi, melainkan cincin mungil yang melingkar di jari manisku.

Cincin pernikahan.

Aku dan Mark sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

Ya. Setelah mengalami pertarungan batin yang panjang dan sengit, aku akhirnya memutuskan untuk menyetujui ajakan Mark untuk menikah. Semuanya terjadi begitu cepat hingga duniaku seperti mengabur dan berubah wujud menjadi kegamangan mutlak.

Setelah menerima persetujuanku, Mark langsung bergegas mengurus segala yang kami perlukan; rangkaian tes kesehatan, dokumen-dokumen pernikahan (untungnya, seluruh dokumenku seperti akta kelahiran, paspor, visa, dan lain-lainnya; juga selamat dari kecelakaan pesawat), perwalianku, hingga penghulu di Islamic Center.

Kami sudah menikah secara legal. Hukum negara kini sudah menetapkanku menjadi istri sah Mark Evano.

Kualihkan pandanganku ke luar jendela mobil. Aku diserang rasa mual akibat kegugupan yang teramat. Selama mengurus seluruh keperluan pernikahan, aku tetap tinggal di rumah sakit karena aku masih memiliki jadwal terapi-terapi terakhirku. Hari ini aku resmi meninggalkan satu-satunya tempat di Woodstock yang kutahu itu karena kondisi tubuhku sudah sangat baik.

Itu juga berarti bahwa ini akan jadi hari pertamaku tinggal bersama Mark Evano.

Suamiku.

Rumah-rumah pertanian bernuansa kemerahan dengan cerobong-cerobong asap berdiri di kaki perbukitan rendah yang diselimuti hutan maple berdaun hijau kekuningan. Beberapa ekor sapi terlihat tengah bersemangat merumput di balik pagar kayu sederhana yang dibangun memanjang di kedua sisi jalan. Kolam-kolam kecil berair jernih di beberapa titik menambah keindahan pemukiman penduduk Woodstock Village. Sayangnya, untuk saat ini, aku masih merasa kesulitan untuk menikmati keindahan dalam bentuk apa pun. Aku justru digelayuti rasa resah yang sulit dijelaskan.

Pengantin-pengantin seharusnya kasmaran. Setidaknya, itulah yang kutahu mengenai gagasan pernikahan. Tapi aku sama sekali tidak merasakan itu. Tidak ada gaun putih. Tidak ada bunga-bunga. Tidak ada sahabat dan keluarga yang hadir penuh sukacita.

Tidak ada cinta.

Aku menarik napas-dalam seraya memejamkan mata. Semakin pendek sisa jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke tujuan kami, semakin aku harus berjuang melawan desakan untuk muntah.

Apakah aku bisa menghadapi ini?

Apa yang harus kulakukan saat kami tiba di rumah nanti?

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan Mark membuatku terperanjat. Reaksiku itu pasti terlihat konyol sekali.

"Eh? Ya. Tentu." Aku menjawab dengan setengah gelagapan.

Sedetik kemudian, aku menyadari bahwa suara Mark agak parau. Mungkin karena sedari tadi ia juga tidak banyak bicara.

"Kau tampak lelah." Mark mengerlingku singkat. "Jangan khawatir, kita akan segera sampai."

Oh, ya ampun.

Tanpa sadar, genggamanku pada dream catcher mengerat. Aku merasa seperti seorang balita yang memeluk erat bonekanya untuk menenangkan diri karena sedang dalam perjalanan menemui dokter gigi.

"Rumahku memang agak terpencil," gumam Mark pelan. Hampir terdengar seperti tengah berbicara kepada dirinya sendiri.

Mark membelokkan mobil meninggalkan jalan utama, memasuki jalur yang lebih sempit. Hamparan hutan mengapit di kedua sisi. Hanya Tuhan dan Mark yang tahu seberapa jauh lagi sisa perjalanan kami. Sudah lebih dari 45 menit lamanya kami berkendara, dan kini kami malah semakin jauh dari keramaian.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang