Aku berdiri kaku di depan cermin kamar mandi. Mataku menatap horor pantulan diriku yang tampak luar biasa pucat. Seperti yang selalu terjadi di setiap pagi, aku baru selesai muntah-muntah.
Jika sudah begini, mempertahankan kelopak mataku untuk terbuka saja rasanya sulit. Aku hanya ingin berbaring meringkuk sambilan memeluk boneka anjing besarku.
Mark berdiri di dekatku. Tadi ia membantu memijit tengkukku dan ia belum beranjak sampai sekarang. Ada kerut-kerutan samar di keningnya. Ia tampak dibebani sesuatu; kecemasan teramat. Kondisiku menurun sehari setelah datang ke persidangan. Aku benar-benar tidak sanggup untuk bangun, semua makanan yang kutelan tidak bisa bertahan lama. Alhasil, aku diinfus di tempat tidur selama sehari semalam.
Hari ini hujan digantikan dengan sinar matahari yang tampak hangat. Ingin sekali rasanya aku keluar untuk menghirup udara segar. Namun jika keadaanku seperti ini, Mark tidak mungkin membiarkanku melakukannya.
Setelah mengaplikasikan pelembab wajah, aku langsung menyisir rambut. Aku menarik napas dalam, pantulan di cermin membuatku mencemaskan diriku sendiri. Kulitku memiliki tingkat kepucatan yang tidak wajar sekarang, dan wajahku mulai terlihat sedikit lebih tirus.
"Mark... bolehkah aku pergi ke luar?" Aku melirik Mark melalui cermin. Ia tampak menjulang dengan kaos tebal lengan panjang hitam yang dipakainya untuk tidur semalam. Sementara di sampingnya, aku tampak seperti bocah SMP. Tinggiku hanya sampai sebatas lengan atasnya, dan setelan piyama beludru lembut warna peach yang kukenakan membuatku tampak semakin kekanakan.
"Apa? Jangan bergurau," sahut Mark cepat. "Kau bahkan tidak bisa berdiri tegap."
"Hanya duduk bersantai di halaman belakang." Aku masih belum menyerah.
"Sebaiknya kau kembali ke tempat tidur, aku akan membuatkan teh mint untukmu." Mark bergumam tegas.
"Minum tehnya di halaman belakang. Boleh, kan? Hari ini cuaca lumayan hangat." Aku terus menyisir rambutku yang sebenarnya sudah rapi.
"Tidak." Mark menyilangkan tangan di depan dada.
"Mark... jangan memperlakukanku seolah aku ini sedang sekarat." Aku merengek.
Mark melempariku tatapan menegur karena aku berbicara sembarangan. "Kubilang tidak, Clavina," tegas Mark dengan nada selembut mungkin.
Aku mendengus panjang dan meletakkan sisirku kembali ke dalam laci.
"Lihat, tanganmu bahkan gemetaran hanya untuk memegang sisir," sindir Mark sambil memperhatikan tangan kananku yang masih dihiasi plester bekas infus. Aku hanya bisa memberengut karena apa yang dikatakan Mark memanglah benar adanya. "Beristirahatlah, aku akan menyiapkan sarapan." Ia membelai kepalaku singkat lalu melangkah menuju dapur.
Aku menyusul Mark beberapa menit kemudian setelah mencepol rambutku. Ia sedang memanaskan air dengan teko, cangkir kopinya berdiri persis di samping kompor. Ia sontak menoleh menyadari kehadiranku di sampingnya. Sebelah alisnya terangkat, menunjukkan keheranannya-dan ketidaksetujuan pastinya.
"Bukankah sudah kukatakan kau sebaiknya beristirahat, Clavina?" Mark mengingatkan.
"Kurasa tidak untuk pagi ini," ujarku, menegaskan bahwa aku tidak menyetujui gagasan Mark. Meskipun sebenarnya kepalaku terasa pusing sekali. Toh dengan berbaring seharian pun tidak akan ada bedanya. "Aku akan membantumu membuat sarapan."
Mark melempariku tatapan menegur. "Ingin melanggar perjanjian?"
"Tapi aku ingin membantu sedikit saja." Sebenarnya aku agak mencelus karena Mark menatapku galak begitu. Kulirik teko yang mulai berbunyi karena air sudah sepenuhnya mendidih. Tanganku terulur untuk mematikan kompor namun Mark meraih tanganku sebelum aku sempat melakukannya, ia lalu mematikan kompor dengan tangannya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...