Kususurkan jemariku pada deretan judul buku yang ditata rapi memenuhi rak perpustakaan rumah. Aku baru sekali masuk ke ruangan ini. Buku-buku di sini kebanyakan fiksi lama; Dickens, Brontë, Hugo, Stoker, hingga Shakespeare. Mark ternyata tipikal penyuka bacaan-bacaan klasik. Aku juga bisa dikatakan demikian. Austen dan Brontë selalu menjadi penulis favoritku. Meski beberapa tahun belakangan aku lebih sering membaca puisi, khususnya karya-karya Plath dan Dickinson.
Ruangan perpustakaan ini kecil, namun ada dua rak kayu mahoni hampir tiga kali tinggi badanku yang diisi penuh dengan buku-buku. Letaknya persis bersebelahan dengan studio foto Mark di lantai dua. Malam ini Mark memutuskan untuk menunjukkan perpustakaan kepadaku karena menurutnya aku butuh sedikit hiburan. Tapi sekarang ia sedang kembali ke studio karena baru saja menerima sebuah panggilan telepon yang membicarakan proyek fotografinya.
Adanya ruang perpustakaan ini membuatku senang karena aku bisa menyendiri di sini. Aku bisa sejenak menjauh dari pemiliknya.
Sungguh, aku sama sekali tidak menyangka bahwa terikat pernikahan dengan laki-laki yang tidak kucintai ternyata sesulit ini. Awalnya kukira menganggap Mark sebagai seorang 'teman' akan mudah, namun tinggal seatap dengannya dan menyandang status sebagai istri ternyata membuatku cukup tertekan.
Rasanya masih sulit untuk memahami Mark sepenuhnya. Laki-laki itu hangat dan bersahabat, namun ternyata sikapnya bisa berubah menjadi keras ketika marah⸺seperti saat mengetahui aku lari ke hutan beberapa hari lalu. Ia sebisa mungkin berusaha membuatku merasa nyaman di dekatnya, tapi ia juga agak mengekang karena aku tidak boleh pergi kemana pun tanpa seizinnya.
Namun, terlepas dari segenap perasaan tidak nyaman yang kualami dalam menjalani pernikahan ini, ada satu hal yang teramat kusyukuri; aku dan Mark baru menikah selama tiga hari, Mark paham bahwa aku masih dalam masa penyesuaian⸺ditambah dengan kenyataan aku baru mengenalnya pula. Mark tidak menuntutku untuk memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri jika aku memang belum siap dan tidak menginginkannya. Kami memang tidur seranjang, tapi hingga hari ini, kami belum pernah melakukan apa-apa.
Aku sangat berterima kasih kepada Mark atas pengertiannya.
Aku mengembuskan napas lelah, terlalu bingung memilih buku yang mana untuk kubaca. Lebih tepatnya, aku mungkin memang sama sekali sedang tidak ingin membaca. Ruangan perpustakaan ini seharusnya sempurna bagiku, namun kejadian di pemakaman tadi terus menghantuiku seperti halnya naungan kabut hitam. Aku jadi tidak dapat berkonsentrasi dengan hal lain. Aku tidak dapat memikirkan hal lain.
Seluruh ucapan Samantha berputar-putar liar di dalam kepalaku. Dadaku masih disesaki oleh sesuatu yang pekat; rasa bersalah dan tidak berharga.
Tatapanku mulai menerawang. Judul-judul buku di hadapanku yang tercetak dengan beragam tampilan seperti mulai mengabur dan meninggalkan wujud tak berarti.
Aku merasa kosong.
Aku seperti benda rusak yang tidak dapat diperbaiki lagi dan tidak punya nilai. Aku tidak tahu untuk apa sebenarnya aku di sini.
Untuk apa takdir membiarkanku selamat dari kecelakaan pesawat ketika tidak ada lagi yang tersisa untukku?
Apa artinya bertahan jika duniaku hanyalah segala tentang luka dan rasa hampa?
Apa artinya eksistensiku jika pada akhirnya hanya menjadi beban bagi orang lain?
Aku ingin hancur lebur lalu menghilang. Aku tidak ingin berada di mana pun kecuali di tengah ketiadaan.
Semua akan lebih baik jika aku tidak ada.
Aku tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, aku juga tidak ingin terjebak di dalam pernikahan yang tidak kuinginkan lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...