2. Hospital Room

3.2K 585 59
                                    

Aku adalah bukti keajaiban; itulah yang mereka semua katakan.

Tragedi kecelakaan pesawat empat bulan lalu telah merenggut ratusan nyawa dan aku menjadi satu-satunya penumpang yang selamat. Tubuhku kini sudah kembali berfungsi normal setelah menjalani serangkaian operasi dan terapi yang dibiayai perusahaan penerbangan. Padahal jika mengingat kondisiku saat pertama kali tiba di rumah sakit, sangat mustahil bagiku untuk bertahan hidup.

Dua rusukku patah dan ujungnya menusuk jantung, sementara tulang pinggang dan betis kiriku mengalami keretakan parah. Belum lagi dengan luka sobekan di sedikitnya delapan bagian tubuhku. Telapak kaki kananku mengalami luka bakar 20%. Para dokter sudah hampir menyerah menyaksikanku mengalami komplikasi dan akhirnya jatuh koma hampir tiga bulan lamanya. Memang sulit mempercayai bahwa saat ini aku berhasil pulih total.

Tapi sekali lagi, inilah yang mereka sebut sebagai keajaiban.

Aku terbangun dari tidur panjangku baru sekitar lima minggu yang lalu. Aku sendiri merasa ngeri mengetahui bahwa aku sudah berada dalam keadaan koma begitu lama. Tubuhku memang agak kaku karena lama tidak difungsikan, namun sekarang aku sudah bisa kembali berjalan berkat terapi yang kulalui.

Melihat kondisiku yang sudah pulih, sepertinya tidak lama lagi aku akan diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Hanya saja, aku tidak tahu ke mana harus pergi. Kedua orang tuaku bercerai sejak aku baru berusia tiga tahun. Selama ini aku tinggal hanya bersama ibuku dan ia meninggal akibat TBC tepat satu bulan sebelum kecelakaan pesawat terjadi. Aku sudah menjual segala yang kupunya untuk membiayai pemakamannya.

Aku tidak punya tempat pulang.

Kedua orang tuaku murni berdarah Indonesia, namun aku lahir dan dibesarkan di Singapura. Kemampuan berbahasa Indonesiaku sangat payah karena sejak kecil orang tuaku mengajarkanku Bahasa Inggris dan menjadikannya sebagai bahasa keseharian kami di Singapura.

Orang tuaku juga tidak pernah mengajakku berkunjung ke Indonesia karena mereka merasa tidak diterima oleh keluarganya di sana. Itu terjadi karena ayah dan ibuku menikah tanpa persetujuan dari kedua pihak keluarga dan lebih memilih untuk lari ke Singapura dan memulai hidup baru di sana. Kisah cinta yang terlalu dramatis sekaligus tragis memang, bersama-sama memilih untuk meninggalkan keluarga mereka demi menyatukan cinta. Namun pada akhirnya, pernikahan mereka tidak mampu dipertahankan juga.

Sebagai seorang anak yang dibesarkan di tengah keluarga tak utuh, aku sudah terbiasa hidup tanpa kehadiran sosok ayah. Namun, meski tidak dapat memberikan kehadirannya di sisiku, ayahku tetap berupaya menjaga dan memupuk komunikasi dengan cara mengirimiku surel setiap beberapa bulan, tidak peduli dengan kenyataan bahwa surel-surel itu jarang sekali mendapatkan balasan. Lebih tepatnya, aku tidak pernah tertarik untuk memberikan balasan. Aku membencinya. Aku juga benci ibuku. Aku benci dengan keluargaku yang berantakan.

Perceraian kedua orang tuaku membuatku tumbuh menjadi gadis berhati keras dan pemberontak. Semasa remaja, aku cenderung bersikap masa bodoh terhadap segala hal. Bukan hanya dengan ayahku, hubunganku dengan ibuku juga tidak bisa dikatakan baik. Kami nyaris tidak pernah sependapat. Aku selalu memandang ibuku sebagai sosok orang tua yang gagal. Menurutku, selama ini ia tidak pernah bisa mengerti diriku sehingga aku nyaris mengacuhkannya setiap waktu.

Seluruh hidupku dijungkirbalikkan takdir ketika mengetahui bahwa ibuku divonis mengidap TBC akut. Aku berusia 19 tahun saat itu.

Ketika kondisi kesehatan ibuku terus menurun, aku baru sadar bahwa selama ini ia telah mengusahakan yang terbaik yang dapat dilakukannya hanya demi diriku. Ia bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Dengan gajinya yang tak seberapa, ia berjuang untuk memenuhi kebutuhan kami dan mencoba memberikan apa yang kuinginkan. Di balik sifat kerasnya, ibuku sebenarnya menyayangiku. Hanya saja kami sama-sama tidak pandai menunjukkan kasih.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang