15. Cookies and Him

1.7K 378 46
                                    

Aku berjinjit-jinjit berupaya meraih tepung di lemari kabinet dapur yang terlalu tinggi untuk tubuhku. Di luar sedang hujan dan aku tiba-tiba ingin mencari kesibukan di dapur.

Tadinya kukira aku sedang sendirian, namun tiba-tiba aku mendengar suara Mark tertawa pelan di belakangku. Ternyata ia sudah kembali dari Bank. Rautnya tampak geli. Ia mengulurkan tangannya dan meraih tepung dengan begitu mudahnya dari lemari yang tak dapat kujangkau.

"Sedang membuat apa?" tanya Mark antusias seraya menyerahkan sebungkus tepung dalam kemasan kantong kertas. Ia melirik dua butir telur di konter dan balok-balok mentega tawar.

"Trims." Bantuan Mark sangat berarti untukku. "Aku berencana membuat kue muffin. Kau punya kertas dan cetakannya, tidak?"

Mark menggeleng. "Aku tidak pernah membuat kue. Jadi aku tidak punya peralatan semacam itu. Kenapa tidak minta kubelikan saat aku keluar tadi? Aku akan dengan senang hati membelikannya," ujarnya. "Aku hanya punya mixer dan pengocok manual. Itu pun peninggalan dari penghuni rumah sebelumnya."

"Ini sebenarnya sesuatu yang sangat impulsif. Aku baru memikirkannya beberapa menit lalu," terangku. "Tiba-tiba aku merasa bosan dan ingin membuat kue." Aku berpikir sejenak sembari memandangi bahan-bahan di konter. "Kalau begitu kukis coklat saja. Bahan-bahannya lengkap di sini."

"Aku ikut bergabung. Boleh, ya." Mark meminta izin.

Aku menatap Mark sejurus, mencari tahu apakah ia memang bersungguh-sungguh. "Baiklah, jika kau memang menginginkannya."

"Ngomong-ngomong." Mark merogoh sesuatu dari kantongnya dan menyerahkan sebuah benda berbentuk lempengan persegi panjang kepadaku. Sebuah kartu kredit. "Milikmu."

Aku tertegun melihat Mark tiba-tiba menyerahkan sebuah kartu kredit baru.

"Sesekali kau juga harus berbelanja untuk dirimu sendiri," jelas Mark. "Aku tidak selalu tahu apa yang sedang kauinginkan, jadi kuserahkan padamu saja. Mana tahu kau ingin membeli makeup, pakaian, atau semacamnya. Gunakan saja ini."

Mark menyodorkan kartu kredit itu lagi, memaksaku menerimanya. Selama beberapa saat aku memandangi benda itu dengan keraguan.

Jemariku menyusuri nama yang tercetak timbul di permukaan kartu. Clavina Rose.

"Mark, apakah menurutmu ini tidak berlebihan?" tanyaku rikuh. Selama ini apa yang diberikan Mark sudah lebih dari cukup.

Mark melemparkan tatapan geli. "Ayolah, Clavina. Memenuhi kebutuhan istriku sendiri tentunya bukan sesuatu yang berlebihan."

Lagi-lagi aku tercenung.

Istriku.

Kata itu berdengung aneh di dalam kepalaku.

Maksudku, tentu saja aku istrinya. Secara hukum. Namun pada praktiknya, aku tidak benar-benar merasa sudah sepenuhnya menjalankan 'peranku' sebagai seorang istri. Kami sudah lebih dari seminggu menikah sekarang, dan sampai detik ini, kami masih bersikap seperti dua orang teman. Aku paham, dalam pernikahan, ini sangatlah tidak benar. Namun aku masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan ikatan yang terjalin dengan begitu mendadak ini.

Mark menghormati pilihanku. Ia tidak pernah mendesak atau menuntutku melakukan sesuatu yang aku belum siap secara fisik maupun psikis. Terkadang, aku menganggap diriku egois, namun Mark memahami situasiku. Ia juga tidak ingin tergesa-gesa dalam menjalani pernikahan ini, ia ingin kami merasa nyaman terhadap satu sama lain terlebih dahulu.

Namun di saat yang bersamaan, Mark memenuhi perannya sebagai suami. Ia membiayai seluruh kebutuhanku, menjagaku, dan melakukan segala hal terbaik yang dapat dilakukannya untuk membuat hari-hari pertama pernikahan kami berjalan dengan baik.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang