62. Winter Fever

1.4K 233 132
                                    

Kutatap wajah Leo dengan perasaan campur aduk. Kesedihan kini memenuhi sorot matanya. Ia menunduk muram, memainkan kentang panggang dengan garpunya. Ia seperti kehilangan selera makan tiba-tiba.

Hatiku mencelus. Ini adalah kali pertama aku melihat Leo bersedih. Ia biasanya selalu heboh dan ceria. Dan sekarang, ia tampak seperti sedang kecewa terhadap dirinya sendiri.

Kulirik Teresa yang duduk tepat di samping Leo. Ia masih belum menyadari apa yang terjadi. Gadis itu tampak tenang menikmati makanannya.

Perasaanku semakin tidak karuan. Teresa sudah lama menunggu momen di mana Leo akan membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Hari ini Leo akan melakukannya, gadis itu pasti akan sangat bahagia. Namun, Leo malah kehilangan cincinnya.

Aku menarik napas panjang. Kulirik Mark yang sedang mengunyah daging panggang. Kusentuh lembut pahanya untuk menarik perhatiannya.

Mark menoleh.

Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahu Mark tanpa didengar Teresa.
Tapi kami harus melakukan sesuatu.

Sebelah alis Mark terangkat, ia menungguku mengatakan sesuatu. Di saat yang bersamaan, Leo melihat ke arah kami.

Mark semakin heran menyadari bahwa Leo tampak sama gelisahnya denganku.

"Kenapa tiba-tiba hening?" Teresa memandangi kami satu per satu.

Aku dan Leo semakin gusar. Sementara itu, Mark benar-benar bingung.

Leo kembali merogoh kantong-kantong jaketnya. "Kunci mobil," gumamnya tidak jelas. "Sepertinya aku menjatuhkannya saat bermain salju tadi." Ia menyempatkan diri untuk melempariku kode agar membantunya bersandiwara.

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Tatapan Teresa melebar. "Kau ceroboh sekali! Bagaimana kita akan pulang nanti?!"

Mark melirikku. Ia seperti curiga akan sesuatu.

Kuturunkan kedua tanganku ke bawah meja dan memutar-mutar cincin pernikahan di jari manisku untuk
menjelaskannya kepada Mark.

Sayangnya, Mark malah mengerutkan dahi, tanda tidak paham dengan apa yang kumaksud.

"Maaf, nanti akan kucari setelah selesai makan." Leo bergumam untuk menenangkan Teresa.

"Akan kubantu," timpalku. Tiba-tiba aku merasa kenyang. Aku khawatir dengan cincin Leo.

"Tidak punya kunci cadangan?" tanya Mark. "Untuk jaga-jaga, barangkali tidak bisa ditemukan. Saljunya lumayan tebal."

Leo tampak mencelus. Meski Mark belum tahu apa yang sebenarnya hilang, ucapannya membuat Leo berkecil hati. Dan kenyataannya memang begitu, saljunya tebal sedangkan halaman rumah kami bisa dikatakan cukup luas.

"Tidak ada," jawab Leo pasrah.

Teresa memutar bola matanya. "Ya sudah, nanti kita cari bersama-sama. Kecuali untuk Clavina. Kau duduk saja, jangan sampai kau kedinginan dan malah jatuh sakit."

"Teresa benar." Mark langsung menyambar.

"Aku akan ikut. Titik." Kuteguk air putih dalam gelasku banyak-banyak.

"Clavina..." tegur Mark.

"Tadi aku sudah bilang 'titik'." Aku menegaskan bahwa keputusanku tidak dapat diganggu gugat lagi.

Mark menghujaniku dengan tatapan tidak setuju, namun aku mengabaikannya.

Seusai makan siang, kami berempat langsung turun ke halaman dan mulai menyapu area. Sebelum Mark bergerak untuk bergabung bersama Leo dan Teresa yang sudah lebih dulu menyaruk-nyaruk salju, aku menahan tangannya.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang