Kakiku menapak melintasi dermaga kayu kecil yang mengarah ke sebuah danau dengan permukaan berkabut. Mark berada selangkah di depanku, ia menggandeng tanganku agar aku berjalan santai mengikutinya.
Kedua netraku menatap lurus pemandangan di seberang danau; wilayah pegunungan asri dengan rumah-rumah penduduk yang dibangun dengan susuan batu berwarna gelap dan cerobong asap, khas cottage-cottage wilayah pedesaan Inggris.
Mark berdiri menghadapku saat kami tiba di ujung dermaga. Bibirnya tersenyum tipis, ia menunduk dan mengeratkan syal yang melingkari leherku agar aku tetap merasa hangat.
Setelah menempuh perjalanan selama empat jam menggunakan kereta api dari London ke Ambleside, kami makan siang dan beristirahat di penginapan selama dua jam. Kami baru keluar untuk berjalan-jalan setelah Mark memastikan aku sudah tidak lelah lagi.
Ini adalah kunjungan pertamaku ke wilayah Lake District, dan sepertinya Ambleside akan menjadi desa favoritku di Inggris.
"Kau tahu kenapa aku memilih desa kecil ini?" tanya Mark seraya memandangiku lekat-lekat.
Aku menunggu Mark memberi penjelasannya.
"Karena di sinilah tempat di mana kedua orang tuaku pertama kali bertemu." Mark mengulum senyum. "Dan jatuh cinta."
Hatiku menghangat seketika. "Kau membawaku ke tempat dengan kenangan seindah itu?" tanyaku tidak percaya.
Aku merasa... istimewa.
Mark hanya mengangguk. Kali ini ia tidak mengatakan apa-apa. Ia ingin aku yang menerjemahkan sendiri alasan ia membawaku kemari.
Hembusan angin sore membelai rambut Mark dengan gerakan-gerakan halus. Selama beberapa detik, aku hanya diam mengagumi sosok yang sedang berdiri di hadapanku itu. Terkadang aku masih sulit mempercayai bahwa ia adalah suamiku. Kami datang dari latar belakang yang sepenuhnya berbeda, dari dua sisi dunia dengan jarak yang terbentang jauh, dan entah bagaimana, tragedi menjadi benang yang menaut dan menyatukan kami.
Mark merogoh kantong mantelnya dan mengeluarkan sebuah liontin klasik. Warnanya keemasan, berbentuk oval dengan belasan batu permata mungil mengelilingi tepiannya. "Aku sengaja menunggu sampai kita berada di danau ini untuk menunjukannya kepadamu."
Aku terkesiap saat Mark membuka liontin di tangannya. Di dalamnya terdapat sebuah foto kecil warna sepia yang menampilkan potret William dan Helena Evano. Mereka sepertinya pasangan yang menggemari gaya busana era Edwardian karena seperti di foto yang pernah ditunjukkan Mark sebelumnya, dalam potret ini mereka juga berpenampilan serupa. William Evano mengenakan jas rapi berlapis dengan dasi kupu-kupu, sedangkan istrinya terlihat anggun dengan gaun kerah tinggi berenda dan rambut ikal bersanggul. Lehernya dihiasi liontin ini.
William dan Helena Evano memangku sesosok bocah berpipi bulat yang mungkin baru berusia sekitar delapan bulan. Mark.
Aku terdiam lama, takjub dengan potret keluarga Mark yang mengisi jantung liontin. Kukira foto usang yang disimpan Mark di laci kamar adalah satu-satunya foto keluarga yang dimilikinya, namun ternyata masih ada yang lain di dalam liontin ini. Dan di foto yang satu ini ada Mark kecil.
Mark mengalungkan rantai liontin milik ibunya ke leherku. Bandulnya menggantung tepat di dadaku dengan anggun. "Sekarang liontin ini milik Nyonya Evano yang baru."
Mataku berkaca-kaca. Aku memegangi liontin di dadaku dengan agak gemetar. "Mark... tapi ini milik keluargamu," gumamku lirih. Aku merasa tidak pantas menerima benda 'sakral' ini.
Mark beringsut maju dan mengusap lembut kedua bahuku. "Dan kau adalah keluargaku." Ia menatapku lekat. Senyuman tulus menghiasi bibirnya. "Nyonya Evano."
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
Roman d'amourSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...