Aku menunduk memandangi ujung sepatuku yang basah, berusaha mengendalikan rasa kikuk. Lengan Mark masih merangkulku agar aku tidak kedinginan. Sudah sekitaran lima menit kami berteduh di bawah gazebo dan hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.
"Bagaimana jika hujannya tidak berhenti?" tanyaku cemas, tanpa menatap lawan bicaraku.
"Berarti kita akan berada di sini semalaman."
Akhirnya aku menoleh menatap Mark juga. "Apa?" Aku tidak dapat menyembunyikan nada kepanikan dalam suaraku. Terjebak di dalam hutan semalaman adalah mimpi buruk.
Mark menaikkan sebelah alisnya. Ia seperti menahan senyuman. "Memangnya kenapa? Toh kau terjebak di sini bersamaku."
Aku terdiam. Kegugupanku pasti begitu jelas terpatri di wajah.
"Kenapa kau malah menatapku horor seperti itu?" Mark menatap lurus ekspresiku. Ada kilat geli pada sorot matanya. "Aku tidak menggigit, Clavina."
Pipiku terasa memanas lagi. Aku segera memalingkan wajahku dari Mark.
Kupandangi sisi hutan yang jauh, tampak samar di bawah guyuran hujan yang menyerupai selaksa putih buram. Aneh. Aku seperti tenggelam dalam sesuatu yang ganjil; ketenangan dan kegugupan pada waktu yang bersamaan, dengan intensitas yang sama besarnya. Sulit memahami diriku sendiri saat bersama Mark. Seperti ada yang tidak berfungsi dengan benar dalam kepalaku.
"Kemari." Mark tiba-tiba meraih kedua bahuku, lalu dengan lembut memalingkan tubuhku menghadapnya.
Jantungku berdentum seperti ingin melompat keluar dari tempatnya.
Oh, ayolah.
"Biar kubenahi syalmu." Mark mencondongkan tubuh ke depan dan tangannya bergerak membenarkan syalku yang kendur. Ia kemudian menatapku lama. Sebuah senyuman terkulum di bibirnya.
Bernapas, Clavina. Bernapaslah.
Aku berharap Mark mengatakan sesuatu. Apa saja. Paling tidak, jangan hanya diam menatapku intens begitu. Entah apa yang sedang dipandanginya dariku dengan senyuman misteriusnya. Yang dilakukan Mark benar-benar membuat keheningan hutan dan gazebo terasa mencekik. Kegugupan seperti memelukku hingga ke tulang-tulang.
"Clavina..." Mark melafalkan namaku lamat-lamat. Kedua matanya masih menatapku dalam.
"Ya..?" sahutku lirih. Begitu kikuk.
Mark hanya tersenyum. Ia kemudian terlihat seperti berubah pikiran. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin menyebut namamu."
Aku hanya membeku di tempatku dengan perasaan terbingung-bingung. Mark memang begitu sulit untuk ditebak. Dan itu membuatku frustrasi.
Mark berpaling ketika hujan mulai reda, lalu guyurannya berhenti secepat kedatangannya.
Mark langsung menggandeng tanganku. "Saatnya kita pulang."
Aku menurut. Masih dengan perasaan aneh yang saling tumpang tindih dalam diriku.
Kami mulai berjalan melewati jalur setapak lagi. Dedaunan basah yang berserakan menguarkan aroma khas setelah diguyur hujan. Dari kejauhan, aku mendengar suara nyanyian parau katak pohon.
Kami berjalan pulang tanpa banyak bicara, sama-sama mengagumi ketenangan hutan seusai hujan. Mark menggandengku dekat sekali dengannya karena kini semilir angin terasa lebih dingin dan membawa sisa-sisa air hujan yang menempel pada pepohonan. Wajahku terasa lembab sekali. Aku jadi agak mengantuk.
"Aku lapar." Mark tiba-tiba berujar. "Kau mau makan apa?"
"Entahlah." Aku merasa tidak yakin. "Aku malah lebih merasa mengantuk daripada lapar."
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
Roman d'amourSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...