Kuletakkan novel karangan Victor Hugo ke samping lalu meregangkan punggungku yang mulai terasa pegal karena sedari tadi bersandar di sofa ruang perapian. Kulirik jam dinding, hatiku mencelus. Mark belum juga pulang padahal di luar sana sedang hujan deras sekali disertai angin kencang. Sesekali, terdengar suara petir saling bersahutan. Suhu bulan Oktober terasa semakin dingin, ditambah lagi dengan cuaca muram seperti ini.
Aku sudah meminta Mark untuk beristirahat di rumah saja karena kemarin ia baru saja cedera, ditambah lagi dengan langit yang terlihat gelap sekali sebelum ia pergi tadi. Mark tetap bersikeras untuk keluar rumah karena ada kiriman paket yang tidak sampai dan ia terpaksa harus mengambilnya di kantor ekspedisi. Ia sekalian ingin membeli bohlam kamar mandi studio yang mati. Ia bilang tidak akan lama.
Tapi ini sudah sore sekali dan ia belum kembali.
Sekitar sepuluh menit kemudian, deru hujan semakin menggila dan berubah menjadi badai. Kini bukan hanya disertai bunyi gemuruh petir, namun juga kilatan-kilatan yang terasa begitu dekat. Cuaca menjadi sangat gelap. Pepohonan di sekitar rumah menari-nari liar. Tiba-tiba, aku teringat jendela kamar yang tadi kubiarkan terbuka.
Kencangnya badai pertengahan musim gugur membuatku harus mengerahkan usaha keras untuk menutup jendela kamar. Wajahku basah diterpa hujan. Pohon ek di depanku meliuk-liuk dengan bunyi siulan bercampur gemuruh menyeramkan. Setelah mengunci jendela dengan benar, aku langsung mengeringkan tubuhku yang kini menggigil kedinginan. Aku sangat mengkhawatirkan Mark, cepat-cepat kusambar ponselku untuk menghubunginya.
Nomornya sibuk.
Aku mencoba sekali lagi.
Nomornya masih sibuk.
Kuembuskan napas cemas sembari menelusupkan jemariku ke rambut. Barangkali, Mark juga sedang berusaha menghubungiku. Aku duduk di tepi ranjang memegang erat ponselku dengan perasaan tidak karuan.
Semoga Mark baik-baik saja di luar sana.
Deringan telepon membuatku berjingkat. Nama Mark tertera di layar. Aku langsung menjawab panggilan saat itu juga.
"Halo? Mark? Kau di mana?" Aku langsung menyambar.
"Halo?" Yang bisa kudengar hanyalah suara gemeresak tidak jelas. "Clavina, apakah kau bisa mendengarku?" Mark meninggikan suaranya untuk mengalahkan deru hujan badai.
"Ya, aku bisa mendengarmu." Suara Mark seketika menenangkanku.
"Apa kau baik-baik saja di sana? Mobilku mogok di tengah jalan."
Oh, tidak. Sepertinya aku harus menghadapi badai ini seorang diri. Secara harfiah. Tapi setidaknya, saat ini aku berada di dalam rumah, sedangkan Mark... ia terjebak badai di luar sana.
"Ya, aku baik-baik saja. Seharusnya aku yang bertanya. Jadi, kau tidak bisa pulang?"
"Tetaplah berada di dalam kamar, tutup jendelanya dan pastikan dirimu tetap hangat. Mungkin aku akan pulang terlambat, namun aku akan mencari cara agar bisa sampai di rumah secepatnya. Jaga dirimu."
"Oke. Kau juga. Cari tempat berteduh yang⸺" Listrik tiba-tiba padam sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Kini aku berdiri dalam ruang temaram. Kilatan petir sesekali muncul seperti sinar blitz dan meninggalkan bayangan-bayangan aneh di lantai kayu kamar, disusul bunyi keras menggelegar. Sinyal telepon mendadak hilang dan aku tidak lagi bisa mendengar suara Mark.
Hatiku mencelus.
Aku menutup tirai rapat-rapat karena amukan hujan yang menghantam jendela meninggalkan jejak air dan lapisan buram yang entah mengapa benar-benar terlihat mengganggu. Pepohonan yang meliuk-liuk di luar sana terlihat semakin menyeramkan jika dilihat dari kaca jendela yang seolah dilapisi kabut seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
Roman d'amourSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...