Aku mengeratkan gigiku menahan nyeri seperti ditusuk-tusuk pada bagian tengkuk. Napasku terasa berat. Kedua telapak tanganku basah oleh keringat. Dari kursi penumpang, mataku menatap nanar benda kecil yang sedang melambung membelah langit mendung dengan bunyi gemuruh rendah.
Sebuah pesawat sedang melintas di atas wilayah Woodstock yang asri dan berbukit-bukit. Rasa traumaku mendesak keluar ke permukaan. Ingatan dalam bentuk potongan-potongan kasar mulai bergantian mengisi kepalaku; benturan, rasa sakit, asap, darah, kegelapan total.
Tatapan kosong kematian.
Aku mengepalkan kedua tanganku yang gemetaran. Rongga dadaku seolah menyempit dan kerongkonganku merasakan cairan asam.
Kumohon, jangan sekarang.
Mark yang sedang fokus mengemudi ikut melihat ke arah pesawat, ia kemudian menoleh hati-hati untuk melihat reaksiku. Tatapannya digenangi kecemasan mengetahui wajahku mendadak berubah pucat pasi.
"Clavina, apa kau baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk lemah. Berbohong.
Tapi Mark tidak memercayaiku tentunya."Jika kau ingin pulang saja, tidak apa. Kita akan putar balik."
Kupeluk erat seikat bunga lily putih di atas pangkuanku. Aku berusaha menghirup dalam-dalam aroma lembut dari kelopak-kelopaknya agar merasa lebih tenang. "Tidak usah, kita terus saja."
Meski sekarang aku sedang menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah, aku merasakan Mark masih menatapku. Untuk sesaat, ia seperti tidak yakin. Namun pada akhirnya ia menyetujui keinginanku. Ia kembali memandang ke depan dan fokus mengemudi.
"Baiklah kalau begitu," gumam Mark.
Aku dan Mark sedang dalam perjalanan menuju area pemakaman ayahku. Ini akan menjadi ziarah pertamaku, aku tidak ingin melewatkannya dengan berputar balik meski saat ini tubuh dan pikiranku rasanya sangat tidak karuan.
Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil melambat dan Mark membelokkan roda kemudi untuk berhenti di bawah naungan pohon sycamore besar di dekat pintu masuk pemakaman. Mark mematikan mesin mobil dan menatapku lekat-lekat.
"Kau yakin, Clavina? Kau terlihat sangat pucat." Mark Kembali bertanya.
"Aku baik-baik saja. Sungguh." Aku memalsukan sebuah senyuman kaku.
Wilayah pemakaman sangat lengang, seperti yang semestinya. Mark membawaku ke titik di mana jasad ayahku disemayamkan yang letaknya ternyata tidak terlalu jauh. Hawa dingin merambati tulang belakangku saat aku melihat batu nisan milik ayahku yang terlihat masih baru, dengan tulisan berbunyi Farhan Harris dalam huruf-huruf keperakan di atas granit hitam halus.
Kueratkan genggamanku pada tangkai-tangkai lily putih. Aku tidak pernah cukup dekat dengan ayahku, namun berdiri di sisi makamnya membuatku tiba-tiba merasakan kerinduan yang sangat. Hal yang paling ingin kulakukan saat ini adalah memeluknya, namun kini dua raga kami dipisahkan oleh gundukan tanah.
Selama beberapa saat, aku hanya mematung di tempatku. Riak kesedihan mulai memenuhi dadaku hingga ke langit-langitnya.
"Apakah kau butuh waktu sendirian?" tanya Mark lembut. Penuh kehati-hatian. Sikapnya terhadapku sudah melunak sekarang.
Aku mengangguk. Bulir bening menetes dari mataku. "Ya, terima kasih."
"Baiklah, aku akan menunggumu di mobil." Mark melangkah meninggalkanku meski air mukanya menunjukkan ketidaktegaan.
Kuletakkan seikat lily yang kubawa di depan batu nisan setelah merasa sepenuhnya sendirian. Aku duduk di atas rerumputan bersama semilir angin dingin yang memeluk. Tiba-tiba, aku merasa sangat kesepian. Aku ingin ayahku duduk di sini bersamaku. Ada begitu banyak yang ingin kuceritakan kepadanya. Begitu banyak yang ingin kubagi dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...