Kupunguti beberapa biji pohon ek yang sudah jatuh ke tanah berselimut dedaunan gugur. Selama beberapa saat, kupandangi biji-biji cokelat mengkilap yang terlihat seperti memakai topi ala Rusia itu di atas telapak tangan pucatku. Tiba-tiba, aku teringat dengan tokoh Scrat dari film Ice Age yang selalu menjadi dalang huru-hara hanya karena biji-biji konyol ini.
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa suatu hari aku akan menyentuh biji-biji pohon ek secara langsung. Hal yang begitu remeh, tapi aku bahagia.
Kudongakkan kepalaku memandangi pohon ek yang menaungiku dengan dahan-dahan dan dedaunannya yang kekuningan rimbun. Sembari berkacak pinggang, mataku menyapu ranting-ranting untuk mencari keberadaan tupai atau chipmunk. Tapi tidak ada. Aku hanya melihat sarang burung kecil di antara dua dahan tinggi. Pantas saja sering terdengar kicau burung dari pohon ek raksasa ini.
Kepalaku menunduk, aku memainkan biji-biji pohon ek di tanganku seolah aku sedang memegang benda paling menarik di dunia. Kuabaikan hembusan angin yang menerbangkan helai-helai rambutku. Hidungku menghirup dalam-dalam aroma dedaunan gugur dan tanah lembab di bawah naungan pohon.
Aku merasa damai sekali.
"Kau sedang apa di situ?"
Suara Mark membuatku mendongak. Ia sedang berdiri di jendela kamar yang terbuka lebar dengan tangan bersidekap. Rautnya terlihat penasaran sekaligus heran.
"Sedang bersantai saja," jawabku dengan agak berseru supaya Mark bisa mendengar suaraku dari bawah sini.
Semoga saja Mark tidak sadar aku sedang norak memperhatikan pohon ek dan mengagumi biji-bijinya.
"Bukankah di luar sana dingin?" Dahi Mark berkerut. Ada sejumput nada protes dalam suaranya.
Aku mengedikkan bahu singkat. "Tidak terlalu."
Mark menggeleng-gelengkan kepala lalu beranjak meninggalkan jendela. Beberapa saat kemudian, sosoknya muncul di pekarangan. Menyusulku.
Aku berdiri di tempat, terpaku memperhatikan Mark yang berjalan menghampiriku dengan pelan namun pasti. Ia terlihat menjulang di bawah langit abu-abu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket hitamnya yang biasa. Hembusan angin menerbangkan helai-helai ujung rambutnya. Senyuman miringnya terbit saat ia tinggal beberapa langkah dari tempatku berdiri.
Mark menyentuh puncak kepalaku, memungut daun ek kering yang mendarat di sana dan menjatuhkannya ke tanah. "Apa maksudmu di luar sini tidak terlalu dingin?" tanyanya lembut seraya memperhatikan wajahku. "Hidungmu memerah."
Aku menggosok-gosok ujung hidungku dengan telunjuk. "Benarkah?"
Mark tiba-tiba memelukku erat sekali sembari mengerang pelan. "Kukira tadi kau kemana."
"Mark... aku tidak bisa bernapas." Keluhku karena kedua lengan Mark masih mendekapku gemas.
Mark terkekeh. Ia mengurai pelukannya. "Maaf."
Aku mendongak, menatap dua mata biru Mark sembari tersenyum simpul.
Suamiku itu selalu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi dengan caranya sendiri.
"Ya sudah, ayo kita masuk," ajak Mark sembari mengerling singkat ke arah rumah.
Aku membenahi rambutku yang agak berantakan. "Aku masih ingin di sini, sebentar lagi." Kujatuhkan satu demi satu biji pohon ek ke atas dedaunan yang terhampar di bawah kakiku, telingaku menikmati bunyi kresak-kresak pelannya.
"Sebenarnya aku ingin membahas sesuatu denganmu." Mark bergumam.
Kepalaku menoleh. Mark sedang menatap lurus batang besar pohon ek yang dekat dengan tanah; berwarna gelap dan diselimuti lumut kehijauan. "Membahas apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
Roman d'amourSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...