23. Stormy Heart

1.5K 315 43
                                    

Aku memasukkan satu demi satu pakaian ke dalam mesin cuci sembari menyortir. Terus-terusan beristirahat di kamar membuatku bosan luar biasa. Jadi, pagi ini aku ingin melakukan sesuatu; dan tiba-tiba saja mencuci adalah hal yang paling ingin kulakukan. Lagi pula energiku sudah kembali, aku tidak akan menghabiskannya hanya dengan berbaring. Itu justru akan membuat kepalaku sakit.

Jaket Mark menjadi yang terakhir dalam keranjang. Kurogoh setiap kantongnya untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Dahiku mengernyit saat tanganku menemukan sesuatu di saku kiri bawah; selembar foto polaroid yang kuambil di hutan. Agak kusut di bagian tepi, namun secara keseluruhan, potret di dalamnya masih sangat baik.

Tanpa sadar, kedua sudut bibirku tertarik naik menyadari aku masih bisa mendapatkan foto yang sempat direbut Mark secara curang dariku.

Kupandangi foto di tanganku, diam-diam mengagumi potret Mark yang kujepret dari sudut samping. Tulang hidungnya tampak tegas. Jaket hitam berleher tingginya membuat kulitnya semakin terlihat pucat.

Ia tampak damai bersandar punggung pada batang pohon maple dengan satu kaki ditekuk sembari memangku kameranya.

"Clavina?" Terdengar suara Mark memanggil-manggilku. Langkah kakinya terdengar tidak jauh. "Kau di mana?"

"Aku di sini." Suaraku menyahut.

Mark tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia melirik baju-baju yang sudah tersortir untuk mulai kucuci. "Memangnya siapa yang mengizinkanmu mencuci?" tanyanya gemas. Ia mulai berjalan menghampiriku.

Aku mengkeret. Tanganku menyembunyikan foto yang baru kutemukan dari Mark.

"Kau ini baru sembuh, Clavina." Mark mengingatkan. Ia sudah berdiri menjulang tepat di hadapanku, kedua lengannya menyilang di depan dada.

"Aku tidak apa-apa," kilahku. "Aku sudah sehat dan aku ingin membantumu sedikit."

"Mengapa kau berpikir aku perlu dibantu? Biar aku yang membereskan semuanya nanti."

"Rasanya sangat tidak benar jika aku di sini tapi kau masih harus mengerjakan semuanya sendirian." Jemariku meremas ujung lengan sweterku yang terlalu panjang.

Mark tersenyum. "Selama ini aku memang sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian. Jadi, kau tidak perlu tiba-tiba merasa berkewajiban untuk meringankan pekerjaanku."

"Tapi aku ingin." Aku berusaha membuat Mark berubah pikiran. Sedetik kemudian, aku malah dibuat terkesiap karena tiba-tiba Mark meraih pinggangku dan mengangkat tubuhku menjauhi mesin cuci. Begitu mudahnya, hingga terkesan bahwa berat badanku tidak berarti apa-apa bagi Mark.

"Baik, tapi tidak sekarang, Clavina." Mark bergumam setelah memindahkanku ke tengah ruangan seperti manekin mungil. Tangannya lalu terulur untuk mengambil selembar foto dari tanganku sebelum aku sempat mengantisipasinya. "Dan kau harus mengembalikan ini kepadaku."

"Kau lupa bahwa itu milikku?" Aku memprotes. "Kau tidak bisa mengambilnya lagi begitu saja."

Mark mengangkat sebelah alisnya dengan dramatis. Ia memasang senyuman jahil.

"Mark..." erangku dengan wajah memohon.

"Aku senang mendengarnya setiap kali kau menyebut namaku dengan nada putus asa seperti itu." Mark bersidekap, memegang erat selembar foto di tangannya.

Aku melesat maju untuk merebut foto itu, namun Mark lebih gesit. Ia mengangkatnya ke udara hingga aku tidak dapat meraihnya.

"Itu foto pertamaku. Kau tidak mungkin sejahat ini." Aku berusaha memojokkan Mark.

"Bukan, Clavina. Foto pertamamu adalah elang terbang. Kaupikir aku tidak ingat itu?" Mark sepertinya masih ingin menggodaku. "Dan, apa? Menurutmu aku jahat?" Ia tersenyum menyebalkan.

In a Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang