Aku merasa lega karena akhirnya diperbolehkan meninggalkan rumah sakit pada hari ketiga. Meskipun aku masih diwajibkan untuk beristirahat total guna mengembalikan staminaku. Yang terpenting, aku tidak harus terjebak di ruang rawat serba putih itu lagi. Rasanya sudah cukup untuk selama ini.
Namun, tampaknya aku tetap tidak dapat menyaingi kelegaan Mark. Aku bisa melihat itu dari raut wajahnya. Saat dalam perjalanan pulang, ia berulang kali melirikku dengan tatapan berbinar sembari mengemudi. Aku berpura-pura tidak menyadari itu.
Sesampainya di rumah, Mark langsung dengan sigap menumpuk bantal-bantal agar aku bisa bersandar dengan nyaman di tempat tidur. Senyum sumringah terulas di bibirnya.
"Senang bisa membawamu kembali pulang." Mark menyelimuti kakiku dengan selimut tebal. Ia lalu duduk di hadapanku. "Rumah ini tidak akan terasa sama lagi tanpa dirimu."
Kukerjapkan mataku, rasanya sulit sekali memercayai apa yang baru saja dikatakan Mark. "Aku baru di sini sebentar sekali. Tidak mungkin ada perbedaan."
Mark menatapku lurus. "Kau tidak tahu saja, Clavina."
Aku terdiam, terkejut sekaligus berharap Mark memberiku sedikit penjelasan.
"Aku bahagia dengan adanya dirimu di sini." Mark berujar pelan. Terdengar bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Sulit menjelaskan bagaimana rasanya mengetahui akhirnya aku memiliki seseorang bersamaku di rumah ini, setelah sekian lama."
Kata-kata itu membuatku tertegun. "Aku berharap bisa menjadi teman yang lebih baik," gumamku lirih, menyadari bahwa aku jauh dari itu. Aku mengacaukan banyak hal.
"Kau teman terbaik yang dapat kuminta, Clavina." Mark menegaskan.
Satu-satunya hal yang dapat kulakukan hanyalah menatap Mark sendu. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Cepat sembuh, Clavina." Mark bergumam lembut. Ia menatapku hangat sekali. "Aku tidak suka melihatmu sakit. Banyak hal yang harus kita coba bersama. Banyak hal yang harus kutunjukkan kepadamu."
"Aku baik-baik saja." Aku berupaya meyakinkan Mark.
"Kau sebaiknya tidur siang sekarang."
Aku menggeleng. "Aku sudah tidur lelap sekali sebelum kita berangkat tadi. Pil yang diberikan suster setelah sarapan membuatku sangat mengantuk. Sekarang, aku sudah kehilangan minat untuk tidur."
"Jadi sekarang kau ingin melakukan apa?" Mark bertanya.
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Hanya bersantai saja di sini mungkin."
"Ingin kutemani?" tawar Mark, alis kirinya terangkat.
Aku menunduk, merasakan hawa hangat menjalari pipiku. Aku tidak ingin Mark melihat semburat rona kemerahan di sana. "Jika sekarang kau sedang sibuk, tak apa. Biar aku di sini sendirian saja."
Mark tersenyum tipis. "Aku tidak sibuk, kok."
Aku tidak tahu harus merasa lega atau justru merasa gugup karena itu.
"Terserah kau saja," kataku, terlalu pelan hingga aku sendiri tidak yakin apakah Mark mendengarnya.
Kami sempat terjebak hening sebelum akhirnya Mark mengalihkan pandangannya ke jariku yang masih dibalut perban. "Jika aku bisa menemukan tarantula itu, aku akan langsung menghabisinya." Ia tiba-tiba berujar aneh. "Berani-beraninya makhluk itu melukai Clavinaku."
Aku tercenung. Entah Mark sedang bercanda atau tidak, tapi kata 'Clavinaku' sontak membuatku sepenuhnya terpaku. Rasanya aneh mendengar Mark membubuhkan kata ganti kepemilikan pada namaku. Seolah-olah, ia mengklaim bahwa aku adalah miliknya dengan cara tertentu.
KAMU SEDANG MEMBACA
In a Rainy Autumn [END]
RomanceSebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma berbulan-bulan lamanya. Kondisinya yang memprihatinkan membuat para dokter yang menangani gadis itu merasa putus asa dan nyaris memilih untuk...